Ahli: Remdesivir Bukan Jawaban untuk Corona

2 Oktober 2020 9:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Obat Remdesivir. Foto: AFP/ULRICH PERREY
zoom-in-whitePerbesar
Obat Remdesivir. Foto: AFP/ULRICH PERREY
ADVERTISEMENT
Efektivitas remdesivir sebagai obat pasien virus corona dipertanyakan oleh para ahli. Mereka juga mempertanyakan siapa orang yang paling berhak mendapatkan antivirus ebola tersebut.
ADVERTISEMENT
Penggunaan darurat remdesivir sebagai obat corona sendiri telah disetujui di AS oleh badan pengawas obat dan makanan mereka (Food and Drug Administration/FDA) pada bulan Agustus 2020. Di AS, obat tersebut diberi nama Veklury dan dibanderol dengan harga 3.120 dolar AS per perawatan.
Menurut Walid Gellad, seorang dokter dan direktur Center for Pharmaceutical Policy and Prescribing di University of Pittsburgh Department of Medicine, sebagian besar orang akan mau menerima remdesivir sebagai pengobatan pasien COVID-19. Namun, dia mengatakan bahwa sebenarnya hingga saat ini tidak jelas apa manfaat yang diberikan remdesivir.
“Obat itu jelas memiliki beberapa jenis manfaat, tetapi tidak jelas seberapa besar manfaatnya. Setiap orang menunggu data kematian yang lebih baik” kata Gellad, dalam sebuah wawancara dengan Washington Post.
ADVERTISEMENT
"Penetapan harga berdasarkan obat ini yang memiliki pengaruh besar, dan ternyata tidak berdampak besar.”
Senada dengan Gellad, Mark Siedner, seorang dokter dan peneliti penyakit menular di Massachusetts General Hospital, menyebut bahwa remdesivir bukanlah jalan keluar dari pandemi virus corona. Meski demikian, ia menilai bahwa obat tersebut cukup membantu bagi beberapa pasien COVID-19.
“Remdesivir bukanlah jawaban untuk epidemi (corona). Ini akan berperan dalam membantu beberapa orang. Apakah itu akan membantu kami dalam lockdown, penutupan sekolah dan pembatalan musim sepak bola? Benar-benar tidak," kata dia.
Obat Remdesivir. Foto: AFP/ULRICH PERREY
Selain menuai kontroversi terkait efektivitas dan ketepatan penggunaannya, remdesivir juga dipatok dengan harga yang tak sedikit. Merespons hal itu, Gilead Science--perusahaan farmasi pembuat remdesivir--menganggap bahwa harga yang dipatok tersebut adalah harga yang wajar.
ADVERTISEMENT
Menurut juru bicara perusahaan, remdesivir adalah obat yang rumit dibuat, sehingga tidak mungkin dibanderol dengan harga murah.
“Intinya adalah bahwa data klinis menunjukkan bahwa pasien yang memakai Veklury (remdesivir) pulih empat hari lebih cepat daripada mereka yang memakai plasebo, dan biaya Veklury kurang dari satu hari tinggal di rumah sakit, menghasilkan penghematan langsung pada sistem perawatan kesehatan,” kata perusahaan.

Uji klinis remdesivir

Remdesivir sebenarnya menunjukkan manfaat klinis dalam uji coba terkontrol plasebo pada pasien dengan gejala COVID-19 yang berat. Namun, efeknya pada pasien dengan gejala sedang tidak diketahui.
Menurut laporan The Washington Post, sebagian besar persetujuan penggunaan remdesivir oleh FDA didasarkan pada penelitian uji klinis yang kurang ketat yang disponsori oleh Gilead. Studi tersebut, yang diterbitkan di jurnal JAMA pada 21 Agustus 2020, pada dasarnya hendak menjawab manfaat remdesivir bagi pasien COVID-19 dengan gejala sedang.
ADVERTISEMENT
Dalam studi uji kinis fase 3 yang melibatkan 584 pasien COVID-19 dengan gejala sedang, para peneliti menemukan bahwa pasien yang diberi remdesivir memiliki status klinis yang lebih baik, seperti keluar dari rumah sakit atau tidak membutuhkan ventilator, setelah lima hari pengobatan.
Namun, studi tersebut ternyata tidak membandingkan obat remdesivir dengan plasebo. Hal yang membingungkan berikutnya adalah bahwa pasien yang menerima remdesivir selama 10 hari tidak lebih baik daripada pasien yang tidak menerima remdesivir.
Seorang pasien COVID-19 berada di dalam kapsul evakuasi di ambulans udara yang memindahkannya dari Iquitos ke Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Rebagliati, di Lima, Peru. Foto: ERNESTO BENAVIDES/AFP
Studi tersebut berkesimpulan bahwa remdesivir memiliki 'kepentingan klinis yang tidak pasti' bagi pasien gejala sedang.
“Pasien rawat inap dengan COVID-19 sedang yang diacak dengan pengobatan remdesivir selama 5 hari memiliki status klinis yang secara statistik lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan mereka yang diacak dengan perawatan standar pada 11 hari setelah mulai pengobatan, tetapi perbedaannya adalah dari kepentingan klinis yang tidak pasti,” kata peneliti dalam laporan mereka.
ADVERTISEMENT

Tetap jaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan

Fakta bahwa remdesivir hanya bermanfaat bagi sebagian kecil pasien COVID-19 membuat ahli menganggap kalau protokol kesehatan seperti menjaga jarak, mencuci tangan dan memakai masker masih akan menjadi cara paling efektif untuk menyelamatkan nyawa.
“Kami belum mengidentifikasi agen pengubah permainan atau obat ajaib yang menyembuhkan banyak orang,” kata James Cutrell, spesialis penyakit menular di University of Texas Southwestern Medical Center.
Ilustrasi obat COVID-19. Foto: Shutter Stock
Cutrell menambahkan, para dokter sangat membutuhkan perawatan yang dapat diberikan dalam bentuk pil atau dengan suntikan sederhana kepada orang-orang yang belum pernah dirawat di rumah sakit. “Masih ada kebutuhan klinis yang besar untuk perawatan rawat jalan yang efektif.”
Remdesivir sendiri resmi masuk ke Indonesia pada Kamis (1/10) dengan merek Covifor. Obat yang dibuat sejak 2009 itu diimpor oleh PT Kalbe Farma dari PT Amarox Pharma Global yang merupakan anak usaha dari perusahaan farmasi asal India, Hetero India, yang mendapatkan voluntary non-exclusive license dari Gilead Sciences untuk memproduksi dan mendistribusikan Remdesivir di 127 negara, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kalbe Farma akan memasarkan remdesivir di Indonesia dengan harga Rp 3 juta per dosis. Perusahaan bilang, penjualan Remdesivir hanya dilakukan di rumah sakit karena harus sesuai prosedur kesehatan. Artinya, tidak bisa digunakan sembarangan oleh masyarakat.
"Seperti yang tadi disampaikan Amarox, saat ini dijual Rp 3 juta per dosis dan ini harganya memang sangat tergantung volume (permintaan dari Indonesia). Kalau volume meningkat, harga akan bisa ditinjau lagi," kata Vidjongtius dalam konferensi pers Kalbe Farma dan Amarox Pharma Global secara virtual, Kamis (1/10).