Ahli Ungkap Indikator Penting Hadapi New Normal di Indonesia, Apa Saja?

3 Juni 2020 11:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga mengenakan masker saat melintas di JPO Dukuh Atas, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
zoom-in-whitePerbesar
Warga mengenakan masker saat melintas di JPO Dukuh Atas, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
ADVERTISEMENT
Wacana new normal COVID-19 memerlukan kedisiplinan masyarakat dalam mengikuti protokol kesehatan. Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, kedisiplinan itu perlu diterapkan baik secara individu maupun kolektif dan kelompok.
ADVERTISEMENT
Wiku menyebut, wacana new normal tidak sama dengan herd immunity atau kekebalan kawanan. Sebabnya, herd immunity itu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat di Indonesia karena karakteristik geografis dan populasi penduduk yang besar.
"Indonesia kelompoknya besar, 270 juta. Kelompoknya dibagi-bagi dalam pulau, dalam provinsi yang terpisah laut. Ada yang terpisah daratan. Kalau kita berbicara herd immunity, seandainya sampai terjadi, mari kita berpikir logika, bagaimana caranya antarpulau saling bisa menulari kalau tidak mobilitas antar pulaunya tinggi dan interaksinya tinggi," kata Wiku, dalam sebuah diskusi di kanal YouTube BNPB, Selasa (2/6).
Wiku meminta agar masyarakat tidak panik dalam menghadapi new normal di masa corona. Menurutnya, wacana new normal perlu didasari terlebih dahulu oleh upaya preventif atau pencegahan virus corona.
Prof Wiku Adisasmito. Foto: Dok. BNPB
Upaya preventif itu, kata Wiku, bisa berarti dua hal. Yang pertama, melalui vaksinasi virus corona, yang tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat karena belum tersedia.
ADVERTISEMENT
Adapun pengertian dari upaya preventif itu juga bisa dimaknai sebagai kedisiplinan dalam menjalankan protokol kesehatan, yakni selalu pakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan sebelum menyentuh mata, hidung, dan mulut.
"Preventif yang sebenarnya ada di diri kita masing-masing adalah mencegah saja agar kita tidak berinteraksi dengan virus tersebut secara langsung," kata Wiku.
"Maka dengan cara kita melakukan protokol kesehatan, sudah sering diulang-ulang kan semua sudah sadar itu, praktekkan saja itu secara disiplin. Disiplin individu, disiplin kolektif atau kelompok," sambungnya.
Sejumlah pengendara kendaraan bermotor mengalami kemacetan lalu lintas di Tol Dalam Kota dan Jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta, Senin (18/5). Foto: ANTARA FOTO/Rifki N
Meski demikian, menurut ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, ada satu indikator penting yang terlewat oleh pemerintah dalam melihat kedisiplinan masyarakat di tengah wacana new normal corona.
ADVERTISEMENT
Menurut Pandu, pemerintah dan Gugus Tugas luput dalam melihat kedisiplinan warga saat diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Salah satu indikator penting tersebut menyoal apakah masyarakat tetap berada di rumah atau tidak selama PSBB.
"Sebenarnya ada indikator yang kami usulkan, tapi tidak dipakai oleh BNPB dan Pemda di Gugus Tugas," kata Pandu, kepada kumparan. "Kita bisa menggunakan big data, dari situ kita lihat berapa penduduk yang tinggal di rumah. Kan salah satu syarat pembatasan sosial kan stay at home. Indikator itu salah satu yang bisa kita pakai."
Berdasarkan data tersebut, kata Pandu, kita bisa melihat dampak PSBB pada jumlah laporan kasus virus corona, apakah meningkat atau justru menurun. Secara logis, jika orang disiplin berada di rumah, kasus virus corona akan menurun.
Sejumlah warga dan pengendara motor memadati kawasan Pasar Anyar, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (18/5/2020). Foto: Antara/Arif Firmansyah
Hingga Rabu (3/6) pagi, Indonesia telah memiliki 27.549 kasus virus corona. Sebanyak 7.935 orang sembuh, dengan catatan 1.663 pasien COVID-19 meninggal.
ADVERTISEMENT
Di tengah perhatian soal keakuratan data, penambahan jumlah kasus harian virus corona di Indonesia belum stabil dalam dua pekan terakhir.
Berdasarkan catatan situs covid19.go.id, Indonesia sempat memiliki penambahan jumlah kasus harian tertinggi pada 21 Mei 2020 sebanyak 973 kasus. Pada 26 Mei, Indonesia mencatat tambahan kasus sebanyak 415 orang, sebelum kemudian meningkat kembali di kisaran 600 kasus per hari dalam seminggu terakhir.
Tidak konsistennya kurva COVID-19 di Indonesia disebut oleh Pandu menyerupai "Gunung Gede".
Gunung Gede Pangrango Foto: id.wikipedia.org
"Maksud kaya Gunung Gede tuh gini. Kurvanya naik turun, sudah sampai puncak, sudah turun bagus, belum sampai turun drastis, bisa naik lagi. Bahkan mungkin puncaknya lebih tinggi dari sebelumnya," kata Pandu, sembari menambahkan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh tidak tegasnya kebijakan pemerintah dan euforia masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan di tengah wacana pelonggaran PSBB.
ADVERTISEMENT
Pandu menyebut, pemerintah sebenarnya bisa meminta data pergerakan masyarakat kepada Google. Data tersebut seputar berapa banyak orang yang mematuhi anjuran untuk tidak keluar rumah selama PSBB berlangsung.
"Minta sama Google. Kan kita sudah dipercaya sama Google, untuk kepentingan nasional," kata Pandu. "Enggak semua orang punya akses. Karena takutnya dipakai untuk komersial. Kalau kita kan untuk kepentingan penanggulangan COVID-19."
Google sendiri telah menyediakan laporan berkala yang menghimpun persentase perubahan aktivitas masyarakat selama masa pandemi corona. Meski bisa diakses secara umum, laporan itu hanya menyajikan persentase perubahan aktivitas dan tidak menyediakan estimasi jumlah penduduk yang mematuhi protokol untuk tetap berada di rumah.
Ilustrasi data center. Foto: Akela999 via Pixabay
Sementara itu menurut Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Wahyudi Djafar, pemerintah juga bisa mengetahui kepatuhan dan kedisiplinan warga selama PSBB melalui data yang dimiliki operator seluler yang mencatat lokasi pergerakan kita.
ADVERTISEMENT
Wahyudi sendiri menganggap bahwa surveillance semacam itu bisa dimaklumi selama masa pandemi, dengan catatan bahwa data pribadi yang dihimpun bersifat anonim dan informasi yang diumumkan ke publik hanya berbentuk data agregat.
"Pembacaan data lokasi kan bukan hanya based on Google location. Itu kan, misalnya, hanya untuk Android," kata Wahyudi kepada kumparan. "Kan ada basis-basis data lain, misalnya yang dikelola oleh operator dari GPS."
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
* * *
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.