Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Awalnya bergemuruh. Lalu berguncang. Tak sampai tiga detik, mata Dadang Ratna terbelalak: Menyaksikan lantai rumahnya bergelombang bak air di lautan. Itu adalah gempa paling mengerikan yang pernah ia rasakan.
ADVERTISEMENT
"Saya susah berdiri, padahal ingin lari menyelamatkan diri," kata Dadang (42 tahun), Rabu (13/2).
Rumah Dadang terletak di Kampung Muril Rahayu, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Gempa terjadi pada 28 Agustus 2011, tiga hari menjelang Idulfitri.
Peristiwa delapan tahun lalu itu mungkin tak akan dilupakan Dadang. "Kalau waktu itu saya tak berlari, bisa-bisa saya sekarang sudah mati," ujar dia.
Kala guncangan berhenti, Dadang terpatri. Ia melihat rumahnya hancur. Atap roboh, tembok ambrol. Fondasinya bergeser hingga 5 sentimeter.
Gempa berlangsung tak lama. Sejumlah warga menyebut guncangan terasa sekitar setengah menit. Singkat tapi kuat. "Awalnya, tanah mendadak ambles. Lalu naik. Lalu terlihat bergelombang, seperti ombak," ujar Dede Mulyana (36).
Posisi Dede kala itu sedang berada di sawah, jauh dari bangunan. Dia lah yang melihat jelas hamparan tanah yang "melonjak-lonjak". "Tanah retak. Retakannya merambat dari tebing lembah, dari utara ke selatan," katanya.
Seketika, kepulan debu membubung tinggi menutupi pemandangan dan bangunan. "Saya berdiam terpaku," ujar Dede.
ADVERTISEMENT
Ketika Dede berjalan pulang, ia melihat pemandangan yang sungguh mengerikan: Banyak rumah ambruk, banyak orang jadi korban. Emih, saudaranya, terluka dan dirawat di Masjid At-Taqwa yang dijadikan tempat pengungsian darurat. Di sini ia bertemu dengan Sumarni (45) yang menyelamatkan diri tanpa sempat melepaskan mukena karena gempa terjadi saat ia sedang salat Ashar. [Kisah Sumarni ada di dalam artikel "Waspada 'Ular Panjang' Bernama Sesar Lembang ".]
Waktu malam tiba, Dadang Ratna yang menginap di tenda darurat tak bisa tidur. Badannya merasakan guncangan gempa susulan. "Goyangan terasa hingga lima kali dalam satu malam," katanya.
Menurut Dadang, yang membuat dia dan warga lain takut adalah kemungkinan datangnya gempa susulan. Atas alasan keamanan, warga tak diperbolehkan--dan memang tak ada yang berani--menginap di rumah. Setidaknya butuh waktu seminggu bagi warga untuk berani pulang dan kembali menginap di rumah.
Gempa di Bandung Barat kala itu berkekuatan 3,3 magnitudo. Jauh lebih kecil ketimbang gempa Aceh pada 26 Desember 2004, yakni 9,1 magnitudo; atau gempa Palu yang berkekuatan 7,4 magnitudo pada 28 September 2018.
ADVERTISEMENT
Tapi Kampung Muril Rahayu, yang di atas tanahnya saat ini terbangun sekitar 400 rumah, berdiri di atas Sesar Lembang --patahan lempeng bumi di Jawa Barat yang mengitari tepi utara Bandung. Itulah mengapa, pusat gempa yang dirasakan Dadang itu berada di kedalaman 1,5 kilometer, cukup dekat dengan daratan sehingga menghancurkan 384 rumah.
Sejak gempa terjadi, Dadang sudah sering didatangi peneliti yang menyarankannya pindah rumah karena gempa Sesar Lembang pasti terjadi lagi. Dadang paham tapi pasrah. "Mau dapat uang dari mana?" kata dia yang sehari-hari menggembala sapi itu.
Simak cerita konten spesial ini selengkapnya dalam topik Waspada Sesar Lembang .