Benarkah Cuaca Panas Bisa Hentikan Penyebaran Virus Corona?

3 April 2020 9:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana di Merlion Park di Singapura setelah penetapan status level oranye.
 Foto: REUTERS/Feline Lim
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Merlion Park di Singapura setelah penetapan status level oranye. Foto: REUTERS/Feline Lim
ADVERTISEMENT
Pandemi virus corona telah menyebar di 203 negara di seluruh dunia. Virus ini telah menginfeksi lebih dari 1 juta orang dan menyebabkan lebih dari 51 ribu kematian.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, data maupun penelitian mengenai virus baru ini masih relatif terbatas. Namun sejumlah penelitian telah menunjukkan beberapa asumsi mengenai perilaku virus corona SARS-CoV-2.
Dilansir BBC, sejumlah penelitian mengungkapkan virus corona mungkin bersifat musiman dan perbedaan iklim mungkin mempengaruhi perilaku virus.
Virus corona merupakan jenis virus yang memiliki selubung atau sampul (enveloped virus) yang dilindungi lapisan yang tersusun dari protein dan minyak yang dikenal dengan lipid bilayer. Lapisan protein itu berbentuk tanduk runcing yang berguna mengikat membran sel inang untuk mengaktifkan enzim furin.
Enzim furin banyak ditemukan di organ tubuh manusia seperti di paru-paru, hati, dan usus kecil. Hal itu membuat virus ini mudah menyerang organ-organ tersebut.
Ilustrasi virus corona China buatan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, CDC. Foto: Alissa Eckert, MS; Dan Higgins, MAM/CDC/via REUTERS
Studi yang dilakukan tiga peneliti, Rory Henry Macgregor Price, Catriona Graham, dan Sandeep Ramalingam yang dipublikasi di jurnal Nature menyebut perilaku kebanyakan virus berselubung (enveloped virus) cenderung bersifat musiman.
ADVERTISEMENT
Penelitian itu menyebut lapisan selubung minyak yang melindungi virus lebih rentan terhadap panas. Di suhu yang dingin, lapisan berminyak yang berfungsi untuk melindungi virus itu akan mengeras seperti karet. Oleh karena itu, virus berselubung cenderung lebih banyak menginfeksi manusia di musim dingin dengan kelembaban udara rendah.
Virus corona yang menyebabkan wabah penyakit SARS di tahun 2003 misalnya, cenderung hidup lebih lama di suhu yang dingin dengan kondisi yang kering. Virus ini mampu bertahan hidup dan menular dalam waktu lima hari di kisaran suhu 22-25 derajat celsius dengan kelembaban udara di angka 40-50 persen.
Sementara penelitian lain menyebut jenis virus corona lain seperti MERS dan SARS mampu bertahan selama 28 hari pada suhu 4 derajat celsius. Semakin tinggi suhu, semakin pendek virus mampu bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Perilaku virus corona COVID-19 terhadap suhu maupun kelembaban masih perlu diteliti lebih lanjut. Tapi sejauh ini, menurut penelitian yang diterbitkan di The New England Journal of Medicine, virus COVID-19 mampu bertahan selama 72 jam pada permukaan padat seperti plastik dan besi tahan karat pada kisaran suhu 21-23 derajat celsius dengan kelembaban udara 40 persen.
Sejumlah turis mengenakan masker berjalan di depan masjid di Kuala Lumpur, Malaysia, Senin (16/3). Foto: REUTERS/Lim Huey Teng
Namun, nyatanya virus corona SARS-CoV-2 juga tetap menyebar di wilayah tropis seperti di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Menurut tim peneliti Harvard Medical School, pandemi virus corona tidak akan terlalu sensitif terhadap iklim wilayah.
Menurut penelitian mereka, penularan virus di lokasi beriklim tropis seperti Guangxi dan Singapura menunjukkan bahwa suhu dan kelembaban udara yang tinggi tidak menyebabkan penularan virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 menurun.
ADVERTISEMENT
Ini dikarenakan virus corona SARS-CoV-2 lebih banyak disebarkan lewat kontak antar manusia. Meski demikian, perubahan perilaku manusia akibat perubahan musim juga ikut berpengaruh.
Argumen yang sama disampaikan peneliti dari French Institute of Health and Medical Research, Vittoria Colizza. Menurutnya, penyebaran virus melalui udara (airborne) membuat virus corona SARS-CoV-2 dapat menginfeksi banyak orang. Namun, virus ini lebih banyak menginfeksi lewat kontak dekat antara penderita dengan orang lain.
“Belum ada bukti yang cukup tentang perubahan perilaku virus COVID-19 terhadap cuaca,” ujarnya, seperti diberitakan BBC.
Di Indonesia yang beriklim tropis misalnya, jumlah kasus positif corona juga terus meningkat. Pada Kamis (2/4), kasus positif corona kembali meningkat menjadi 1.790 kasus dengan 170 korban meninggal dunia akibat COVID-19.
ADVERTISEMENT
Namun, Pusat Pemodelan Matematika Penyakit Infeksi (CMMID) di London menyatakan hanya sekitar 2 persen kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di Indonesia. Sementara menurut perhitungan peneliti Eijkman-Oxford Research Unit (EOCRU), kasus penularan virus corona di Indonesia bisa mencapai 71.000 kasus pada akhir April nanti.
Warga Italia berjalan sambil menggunakan masker di tengah ancaman virus corona. Foto: REUTERS/Manuel Silvestri
Studi lain dari dua pakar ilmu komputer dari Massachusetts Institute of Technology menunjukkan virus corona COVID-19 mungkin tidak dapat menyebar secara efisien di wilayah dengan suhu dan kelembaban udara tinggi.
Dilansir Live Science, penelitian yang dipublikasi di jurnal Social Science Research Network ini menyebutkan bahwa 90 persen infeksi COVID-19 berada di wilayah dengan suhu 3 sampai 17 derajat celsius. Sementara penyebaran COVID-19 di wilayah dengan suhu di atas 18 derajat celsius kurang dari 6 persen dari total kasus di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Perbedaan suhu dan kelembaban udara kemungkinan dapat memperlambat, bukan menghentikan penyebaran virus. Suhu udara yang panas mungkin menyebabkan virus kesulitan bertahan hidup dalam waktu yang lama di udara ataupun di permukaan benda. Tapi, virus SARS-CoV-2 masih tetap bisa menginfeksi dan menular dalam hitungan jam atau hari.
“Kita tetap harus melakukan pencegahan. Suhu udara yang lebih panas mungkin membuat virus ini kurang efektif menginfeksi, tapi bukan berarti virus ini tidak dapat menginfeksi,” tulis penelitian tersebut, seperti diberitakan The New York Times.
Sementara penelitian yang dilakukan tim ilmuwan Institute of Human Virology University of Maryland juga menunjukkan temuan serupa. Menurut penelitian mereka, COVID-19 mempunyai pola penyebaran yang sama dengan virus SARS dan MERS karena virus tersebut sensitif terhadap suhu udara tinggi.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian itu menyebut virus COVID-19 lebih cepat menyebar di wilayah subtropis dengan temperatur udara di kisaran 5 sampai 11 derajat celsius dan tingkat kelembaban udara yang relatif rendah. Meski demikian, studi ini juga menyatakan bahwa iklim bukanlah faktor tunggal untuk mengukur penyebaran virus.
Selain dapat mempengaruhi struktur virus, perubahan cuaca juga mempunyai peran dalam membentuk imun tubuh. Dilansir BBC, cuaca berperan dalam proses produksi vitamin D di tubuh yang berguna meningkatkan imun. Musim dingin membuat manusia cenderung menggunakan pakaian tertutup dan tebal sehingga menyebabkan jumlah vitamin D yang diproduksi tubuh berkurang.
Selain itu tingkat kelembaban udara juga mempunyai dampak pada daya imunitas tubuh. Udara kering menyebabkan jumlah lendir di paru-paru dan saluran udara berkurang. Padahal lendir tersebut berfungsi untuk melawan infeksi.
ADVERTISEMENT
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!