Benarkah Tak Ada Orang yang Meninggal Murni karena Virus Corona?

9 Juni 2020 13:05 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi obat virus corona. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi obat virus corona. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Beredar sebuah pesan berantai di WhatsApp yang memaparkan informasi seputar COVID-19, penyakit yang disebabkan oleh virus corona SARS-CoV-2. Pesan itu mengulas ihwal rapid test, Polymerase Chain Reaction (PCR), dan klaim bahwa tidak ada orang yang meninggal murni karena virus corona.
ADVERTISEMENT
Berikut isi pesan tersebut:
ADVERTISEMENT
Petugas medis menunjukkan hasil negatif pada alat diagnostik cepat (rapid test) COVID-19 usai memeriksa salah satu pedagang di Pasar Babadan, Semarang. Foto: ANTARA FOTO/Aji Styawan

Klaim

Benarkah orang yang menderita flu, hasil rapid test akan menunjukkan reaktif COVID-19?

Fakta

Tidak benar orang yang menderita flu bakal reaktif COVID-19 saat dites menggunakan rapid test. Rapid test adalah metode untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang diproduksi tubuh untuk melawan virus corona.
Di dalam rapid test terdapat enzim. Enzim adalah biomolekul berupa protein yang berfungsi sebagai katalis atau senyawa yang mempercepat proses reaksi dalam suatu proses kimia organik. Dalam rapid test, enzim berperan dalam menentukan hasil tes COVID-19 yang dilakukan seseorang.
Setiap penyakit punya antibodi sendiri. Misalnya, antibodi campak akan melindungi seseorang yang terpapar campak, tetapi tidak akan berpengaruh jika orang tersebut terkena gondong.
ADVERTISEMENT
Rapid test COVID-19 didesain untuk mendeteksi antibodi khusus melawan virus corona. Oleh karena itu, tidak benar jika dikatakan orang yang menderita flu bakal reaktif COVID-19 saat dites menggunakan rapid test.

Klaim

Benarkah tes PCR tidak bisa mendeteksi virus secara spesifik?

Fakta

Alat tes PCR adalah Golden Standard dalam diagnosis infeksi COVID-19. Tes PCR dilakukan untuk mendeteksi materi genetik spesifik yang terdapat di dalam virus corona. Caranya dengan memeriksa sampel genetika yang diambil dari rongga hidung atau mulut pasien (swab).
Mekanisme pengecekan berbasis PCR ini dilakukan melalui proses ekstraksi RNA pada materi genetik virus. Tujuannya untuk mempurifikasi RNA dari enzim lain seperti protein atau sel-sel lain. Setelah itu, molekul RNA akan dikonversi menjadi DNA lewat pencampuran enzim reverse-transcriptase.
ADVERTISEMENT
Usai diubah, materi DNA diperiksa lebih lanjut dengan memberi enzim pembentuk DNA yang disebut primer. Primer berperan dalam mendeteksi materi genetik spesifik yang terdapat di dalam virus.
Setelah berhasil terdeteksi, materi yang ditemukan dicocokkan dengan DNA yang terdapat pada virus SARS-CoV-2. Virus yang merupakan kerabat paling dekat dari virus SARS-CoV (penyebab penyakit SARS) ini memiliki hampir 30.000 materi nukleotida yang membentuk DNA dan RNA virus.
Jika temuan materi ternyata identik dengan DNA virus SARS-CoV-2, maka hasil pemeriksaan dikonfirmasi positif. Jadi, tidak benar tes PCR tidak bisa mendeteksi virus secara spesifik.

Klaim

Benarkah tidak ada orang yang meninggal murni karena virus corona?

Fakta

Faktanya, ada sebagian pasien COVID-19 yang meninggal tanpa penyakit penyerta. Dikutip dari covid19.go.id, sekitar 97,7 persen dari 1.883 pasien meninggal akibat COVID-19 tidak memiliki penyakit penyerta atau tidak memiliki data lengkap.
ADVERTISEMENT
Ini artinya, ada sebagian pasien COVID-19 yang meninggal di Indonesia tidak disertai penyakit bawaan. Di Inggris misalnya, ada anak berusia 13 tahun meninggal karena COVID-19 pada akhir Maret 2020. Menurut peneliti, ada beberapa teori menjelaskan mengapa orang berusia muda yang tampak sehat bisa meninggal karena corona.
Petugas menyolati jenazah seorang pria yang meninggal karena virus corona (COVID-19) di Dhaka, Bangladesh, Senin (6/4). Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
Yang pertama adalah jumlah paparan virus itu sendiri. Orang yang terpapar virus corona dengan jumlah yang lebih banyak akan mendapat risiko kematian lebih tinggi. Pandangan ini didukung oleh virologis, Alison Sinclair, dari Inggris dan Edwark Parker dari London School of Hygiene and Tropical Medicine.
“Berdasar laporan awal dari China, ada kecenderungan bahwa pasien yang terpapar jumlah virus yang lebih banyak akan mengalami gejala penyakit yang lebih serius. Hal ini juga terjadi pada SARS dan influenza,” ujar Parker, seperti dikutip dari The Guardian.
ADVERTISEMENT
Yang kedua adalah gen. Michael Skinner, virologis dari Imperial College London, percaya bahwa kondisi genetik tertentu bisa membuat penyakit tertentu bereaksi berbeda. Jadi ada beberapa variabel yang memengaruhi tingkat keparahan seseorang saat terjangkit virus corona.
Maka, dengan begitu klaim tidak ada orang yang meninggal murni karena virus corona tidak dapat dibenarkan. Karena sudah ada kasus pasien COVID-19 yang meninggal tanpa penyakit penyerta.
Oleh karena itu, cara terbaik saat ini adalah berusaha sama sekali tidak tertular virus corona. Terus terapkan protokol pencegahan seperti memakai masker saat keluar rumah, physical distancing, dan rajin mencuci tangan.