Benarkah Vitamin D Bisa Bantu Lawan COVID-19?

17 Januari 2021 13:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Vitamin D. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Vitamin D. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Sejak pandemi virus corona muncul dan menyebar ke seluruh, serangkaian klaim tentang vitamin yang mampu mencegah orang terinfeksi corona ramai diperbincangkan. Salah satunya adalah vitamin D yang diklaim mampu membantu mencegah infeksi pernapasan seperti COVID-19. Lalu benarkah begitu?
ADVERTISEMENT
Dipaparkan The Guardian, isu vitamin D mampu mencegah corona muncul pada April 2020 tahun lalu. Pertentangan pelik soal Vitamin D terjadi di Inggris, dirasakan oleh mantan sekretaris Brexit David Davis, yang telah menyabet gelar ahli molekuler.
Pada Mei 2020, dia mendesak sekretaris kesehatan, Matt Hancock, untuk meninjau bukti skema suplemen vitamin D dalam menangani pandemi corona. Davis (71) yang juga mengkonsumsi vitamin D dosis tinggi berharap skema ini dapat membantu mengurangi risiko penularan, terutama di antara mereka yang paling rentan. Ia juga memohon kepada pemerintah Inggris untuk segera mengambil tindakan dan menerapkan skema tersebut.

Penelitian manfaat vitamin D

Sebuah studi eksperimental di Prancis yang dilakukan di panti jompo menunjukkan hasil mengejutkan soal manfaat vitamin D. Mereka mengatakan hasil survei dari 66 orang lansia di sana menunjukkan bahwa konsumsi vitamin D secara teratur dapat mengurangi gejala parah COVID-19 dan meningkatkan kelangsungan hidup.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang melibatkan 200 orang di Korea Selatan juga menunjukkan hasil sama, di mana mereka menyebut kekurangan vitamin D dapat menurunkan kekebalan terhadap COVID-19 dan menyebabkan gejala yang lebih parah.
Ilustrasi Vitamin D. Foto: Shutter Stock
Sementara penelitian yang dilakukan para peneliti dari Rumah Sakit Queen Elizabeth dan University of East Angila menemukan korelasi antara negara-negara Eropa dengan kadar vitamin D yang rendah dengan tingkat infeksi virus corona. Secara umum, negara-negara yang berada di dekat khatulistiwa COVID-19 memiliki kasus corona yang lebih rendah ketimbang negara yang jauh dari khatulistiwa, kecuali India dan Brasil.
Penelitian di Spanyol, yang dilakukan pada awal September, juga membuat laporan serupa. Penelitian itu mengatakan bahwa kadar vitamin D yang rendah memiliki peran penting dalam menyebabkan peningkatan angka kematian.
ADVERTISEMENT
Di sana, 50 pasien COVID-19 diberi vitamin D dosis tinggi, sementara 26 pasien lainnya tidak menerima nutrisi. Hasilnya, setengah dari pasien yang tidak diberi vitamin D harus ditempatkan di perawatan intensif dan dua pasien dinyatakan meninggal. Hanya satu pasien penerima vitamin D yang membutuhkan perawatan di ICU, dan mereka kemudian dibebaskan tanpa komplikasi lebih lanjut.

Kemanjuran vitamin D masih diperdebatkan

Bagi Davis, semua penelitian ini menunjukkan kemanjuran akan vitamin D. "Semua studi observasi menunjukkan efek vitamin D yang kuat pada penyakit menular, morbiditas dan mortalitas," kata Davis.
“Penyakit ini ada secara serius di atas garis lintang 40 derajat, karena di sanalah sinar UV menghilang di musim dingin. Sangat jelas bahwa vitamin D memiliki efek material."
ADVERTISEMENT
Namun, baik National Institute for Health and Care Excellence (Nice) maupun Public Health England, setelah meninjau potensi kemampuan vitamin D untuk mengurangi risiko virus corona, mengatakan tidak ada cukup bukti untuk menerapkan skema pemberian vitamin D kepada masyarakat. Semua penelitian yang ada dianggap punya kualitas buruk atau tidak cukup meyakinkan.
Ilustrasi COVID-19. Foto: Dado Ruvic/Reuters
Pertentangan Davis dengan otoritas kesehatan Inggris terus bergulir. Davis tetap dengan keyakinannya bahwa vitamin D punya peran penting dalam mencegah penularan corona, begitupun pemangku kebijakan yang tetap tidak mau menerapkan skema vitamin D karena dianggap belum cukup bukti.
Bagi para ahli kesehatan masyarakat Inggris, klaim manfaat vitamin D tidak harus disikapi secara berlebihan dan harus disikapi penuh kehati-hatian. “Untuk saat ini, rekomendasi suplementasi vitamin D untuk mengurangi risiko COVID-19 tampak prematur,” tulis para peneliti.
ADVERTISEMENT
“Dan meskipun mungkin menyebabkan sedikit bahaya, mereka dapat memberikan kepastian palsu yang mengarah pada perubahan perilaku yang meningkatkan risiko infeksi.”
Pernyataan itu membuat Davis mengernyitkan dahi. Hancock dan Davis kemudian sepakat untuk bertemu dua minggu setelah penelitian di Spanyol terbit. Dalam pertemuan yang dilakukan pada 8 Oktober 2020, Hancock mengungkapkan bahwa dia menghadapi perlawanan dari dokter Departemen Kesehatan dan Perawatan Sosial (DHSC).
Namun, Hancock memutuskan untuk mengubah arah pemerintahan dengan mengatakan tidak ada "kerugian" untuk menerapkan skema suplemen vitamin D.
Pada akhir November, pemerintah Inggris akhirnya mengumumkan akan memberikan empat bulan suplemen vitamin D gratis kepada semua orang yang berada di panti jompo, total sekitar 2,7 juta orang. Mereka juga memberikan suplemen vitamin D untuk orang-orang yang ada di lembaga pemasyarakatan.
Seseorang berlari melewati poster dengan pesan harapan, ketika penyebaran penyakit virus corona (COVID-19) di Manchester, Inggris. Foto: REUTERS/Phil Noble
Hancock juga memerintahkan Nice (yang menetapkan pedoman klinis NHS) dan Kesehatan Masyarakat Inggris membuat rekomendasi tentang vitamin D untuk pengobatan dan pencegahan virus corona. Namun, Nice kembali pada pendirian dengan menegaskan tidak ada cukup bukti untuk membuktikan hubungan antara kekurangan vitamin D dan keparahan COVID-19.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, untuk pertama kalinya komite nutrisi PHE mengatakan vitamin D dapat memberikan sejumlah manfaat tambahan dalam mengurangi risiko infeksi saluran pernapasan akut, meski tidak spesifikasi menyebut penyakit COVID-19.
Pertentangan tentang manfaat vitamin D terhadap infeksi corona masih terus berlanjut. Hingga saat ini, belum ada studi yang menjabarkan secara rinci bagaimana vitamin D bisa memainkan peran penting dalam melawan pandemi COVID-19.
“Masalah kami adalah bahwa badan pendanaan utama belum mendukung uji klinis suplementasi vitamin D untuk mencegah COVID-19, terlepas dari kenyataan bahwa beberapa kelompok penelitian berbeda di Inggris mengajukan proposal,” kata Adrian Martineau, seorang profesor infeksi pernapasan dan kekebalan di Queen Mary University of London yang berencana akan meneliti hubungan antara vitamin D dan infeksi corona.
ADVERTISEMENT
"Tampaknya tidak akan menjadi masalah untuk mempromosikan vitamin D sebagai asupan nutrisi. Tidak ada ruginya dari penerapannya, dan berpotensi banyak keuntungan. Meskipun dosis vitamin D yang sangat besar dapat menyebabkan keracunan, namun sebaliknya vitamin D tidak berbahaya,” tulisnya dalam jurnal Lancet.
Dengan begitu, soal pertanyaan apakah vitamin D bisa melawan corona atau tidak, belum bisa dipastikan karena masih menjadi perdebatan di antara para ilmuwan. Yang pasti, vitamin D adalah salah nutrisi yang memang penting bagi tubuh manusia, dengan catatan tidak dikonsumsi secara berlebihan.