Benarkah Wanita Lebih Kuat Menahan Sakit daripada Pria? Ini Kata Sains

6 Juli 2024 17:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi sakit, nyeri atau kram perut. Foto: bluedog studio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sakit, nyeri atau kram perut. Foto: bluedog studio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat orang mengalami rasa sakit, seperti patah tulang atau luka memar akibat kecelakaan, pernahkah terbesit pertanyaan tentang: Apakah pria dan wanita merasakan rasa sakit secara berbeda?
ADVERTISEMENT
Ternyata, pada tingkat tertentu, memang ada perbedaan yang melekat antara pria dan wanita dalam memproses rasa sakit. Namun pertanyaan tentang jenis kelamin mana yang punya toleransi rasa sakit lebih tinggi? Sampai saat ini belum ada jawaban yang jelas.
Rasa sakit bisa dirasakan seseorang ketika neuron sensorik yang disebut nociceptor mendeteksi rangsangan nyeri di tubuh, kemudian mengirimkan sinyal ke otak untuk ditafsirkan sebagai rasa sakit. Rangsangan nyeri ini meliputi suhu ekstrem, nyeri mekanis, dan peradangan. Orang-orang menunjukkan perbedaan dalam cara merasakan setiap rangsangan nyeri tersebut, dan perbedaan ini berasal dari berbagai faktor, termasuk jenis kelamin seseorang.
Sejumlah penelitian melaporkan bahwa wanita memiliki kepekaan rasa sakit yang lebih tinggi dan ambang rasa sakit yang lebih rendah daripada pria. Misalnya, sebuah penelitian yang terbit di German Medical Science pada 2012, meneliti bagaimana pria dan wanita merespons “tekanan fisik” yang dirasakan. Peneliti menemukan bahwa wanita lebih peka terhadap nyeri mekanis daripada pria. Nyeri mekanis terjadi saat tekanan diberikan pada tulang, cakram, atau saraf di tulang belakang.
ADVERTISEMENT
Dalam penelitian lain, pria dan wanita diminta untuk menunjukkan kapan mereka merasakan rangsangan panas dan diminta untuk menilai intensitasnya. Hasilnya menunjukkan bahwa wanita memiliki ambang rasa sakit yang lebih rendah terhadap panas daripada pria.
“Sudah diketahui secara umum bahwa wanita lebih sensitif terhadap rasa sakit daripada pria,” kata Jeffrey Mogil, profesor ilmu saraf di University of McGill yang mempelajari perbedaan jenis kelamin dalam hal rasa sakit.
“Hal ini telah ditunjukkan pada manusia dalam ratusan penelitian, tidak semuanya signifikan secara statistik, tapi pada dasarnya semuanya mengarah ke arah yang sama.”
Ilustrasi menangani luka anak. Foto: Sorapop Udomsri/Shutterstock
Kendati begitu, beberapa penelitian justru menunjukkan hasil sebaliknya. Dalam studi yang terbit di The Journal of Pain pada 2023, para ilmuwan meneliti 22 remaja terdiri dari 12 perempuan dan 10 laki-laki untuk menjalani uji kepekaan nyeri termal. Para peserta dihadapkan pada rangsangan panas dan dingin, lalu diminta untuk menilai intensitas nyeri yang dirasakan. Hasilnya, laki-laki menilai intensitas nyeri yang lebih tinggi di kedua rangsangan yang diberikan dibanding perempuan.
ADVERTISEMENT
Sementara penelitian lain menunjukkan, tidak ada perbedaan dalam cara pria dan wanita merespons panas yang menimbulkan rasa sakit. Perbedaan pendapat ini terjadi di antara para ilmuwan karena tidak ada metrik pasti untuk mengukur toleransi seseorang terhadap rasa sakit, kata Frank Porreca, profesor ilmu sarat di University of Arizona.
Ambang batas dan toleransi rasa sakit seseorang cenderung bervariasi di berbagai tes dan lingkungan, ditambah beberapa penelitian menemukan bahwa perempuan merupakan subjek tes yang lebih baik daripada pria sehingga memberikan penilaian yang lebih konsisten terhadap rasa sakit mereka.
Baru-baru ini Porreca mempelajari mekanisme yang bisa memicu rasa sakit. Bersama timnya dia menemukan, reseptor nyeri pada pria dan wanita diaktifkan oleh zat yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Agar nociceptor aktif, diperlukan rangsangan nyeri yang melampaui ambang batas. Biasanya, rangsangan dengan intensitas rendah, seperti minum air dingin, tidak akan mengaktifkan nociceptor, tapi jika kamu memiliki luka di mulut, nociceptor akan diaktifkan. Porreca bilang, dalam skenario ini, mereka mencoba menurunkan ambang batas untuk mengaktifkan nociceptor, dan timnya ingin tahu apakah sensitisasi ini bergantung pada jenis kelamin atau tidak.
Untuk menyelidikinya, mereka mengambil sampel sel nociceptor dari dorsal root ganglion, yang berada di dekat sumsum tulang belakang yang dilalui informasi sensorik menuju sistem saraf pusat. Tim mengambil sel dari tikus jantan dan betina, primata non manusia, dan manusia, lalu memaparkan sel tersebut pada berbagai zat.
Ilustrasi luka bekas operasi caesar. Foto: siam.pukkato/Shutterstock
Penelitian sebelumnya melibatkan hormon prolaktin dalam respons wanita terhadap rasa sakit dan pembawa pesan kimia yang disebut orexin dalam respons rasa sakit pria, sehingga keduanya tampak seperti agen sempurna untuk percobaan. Hasilnya menunjukkan, sel berperilaku berbeda saat terpapar salah satu zat di semua spesies yang dijadikan sampel.
ADVERTISEMENT
Prolaktin menurunkan ambang aktivasi nociceptor pada wanita tapi tidak memengaruhi pria. Sebaliknya, orexin membuat sel pria peka tapi tidak berpengaruh pada sel wanita. Kedua zat tersebut secara alami terdapat pada kedua jenis kelamin tapi dalam konsentrasi berbeda.
“Nociceptor yang kami peroleh dari hewan jantan atau betina atau donor manusia pasca-mortem sangat berbeda dalam proses yang menghasilkan penurunan ambang batas ini,” kata Porreca.
Ia menambahkan, penemuan ini dapat membantu merancang terapi nyeri yang lebih optimal untuk pria dan wanita.
“Terlepas dari jenis kelamin mana yang lebih sensitif terhadap rasa sakit, ada bukti yang semakin kuat, seperti makalah ini yang menyebut bahwa sirkuit yang bekerja di balik layar adalah sirkuit yang berbeda antara pria dan wanita. Sistem ini sebenarnya adalah sistem berbeda antara pria dan wanita, dan itu sebenarnya bagian yang lebih menarik,” kata Mogil.
ADVERTISEMENT