news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bisakah Indonesia Identifikasi Virus Corona COVID-19?

13 Februari 2020 7:01 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi virus corona China buatan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, CDC. Foto: Alissa Eckert, MS; Dan Higgins, MAM/CDC/via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi virus corona China buatan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, CDC. Foto: Alissa Eckert, MS; Dan Higgins, MAM/CDC/via REUTERS
ADVERTISEMENT
Penyebaran virus corona asal Wuhan, China, yang kini memiliki nama resmi COVID-19 telah menyebar ke 25 negara, termasuk negara-negara yang berdekatan dengan Indonesia seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Kendati begitu, hingga saat ini belum ditemukan pasien yang positif terkena virus corona jenis baru di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Novel coronavirus telah menewaskan sekitar 1.114 pasien dan menginfeksi lebih dari 45 ribu orang. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah penyebaran COVID-19, termasuk mengisolasi 15 kota di Provinsi Hubei, China, yang menjadi pusat wabah virus.
Belum adanya laporan virus corona di Indonesia menimbulkan spekulasi dan pertanyaan di masyarakat tentang apakah Indonesia benar-benar mampu mendeteksi novel coronavirus asal Wuhan?
Ditambah, ada sebuah riset dari ilmuwan Harvard University yang menyebut bahwa COVID-19 seharusnya sudah masuk ke Indonesia, mengingat penerbangan ke dan dari Wuhan sangatlah tinggi pada awal kemunculan wabah.
Para peneliti Harvard T.H. Chan School of Public Health khawatir ketiadaan atau sedikitnya laporan pasien terpapar virus corona di Indonesia disebabkan oleh ketidakberhasilan dalam mendeteksi kasus. Hal ini dinilai bisa ciptakan masalah baru.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal itu, peneliti Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi, Frilasita Aisyah Yudhaputri menegaskan, bahwa LBM Eijkman memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengidentifikasi COVID-19 pada sampel klinis. Kapasitas LBM Eijkman untuk menguji virus corona ini didasarkan pada metode pendekatan molekuler.
“Untuk mendeteksi COVID-19 yang paling utama adalah kombinasi dari kemampuan pemaparan hasil tes yang dimiliki dan kapasitas, dan lembaga Eijkman memiliki fasilitas laboratorium tersertifikasi untuk menangani patogen risiko tinggi, yakni laboratorium Biosafety Level (BSL) -2 dan -3,” ujar Frilasita, di Auditorium Sitoplasma, Jakarta, Rabu (12/2).
Frilasita Aisyah Yudhaputri, peneliti LBM Eijkman Kemenristekdikti Foto: Habib Allbi Ferdian/kumparan
Untuk melakukan deteksi virus corona, setidaknya dibutuhkan waktu 3 hingga 5 jam penelitian. Peneliti menggunakan metode kombinasi teknik PCR (polymerase chain reaction) dan sequencing dengan gen RNA-dependent RNA Polymerase (RdRP) virus sebagai penanda identifikasi.
ADVERTISEMENT
Dalam prosesnya, ketika sampel virus sudah didapat, ilmuwan akan melakukan serangkaian penelitian di ruangan preparasi reagen. Penyiapan reagen merupakan langkah awal untuk mendeteksi suatu virus. Reagen akan disimpan di lemari pendingin dengan suhu -20 derajat Celcius.
Langkah selanjutnya adalah virus akan dimasukkan ke dalam sebuah tabung yang di dalamnya terdapat beberapa cairan khusus, mengandung bahan kimia spesifik untuk dapat mendeteksi novel coronavirus.
Setelah virus diteliti di ruangan preparasi reagen, periset berpindah tempat ke ruang ekstraksi dan amplifikasi. Di sanalah virus akan dideteksi dengan menggunakan alat bernama biosafety cabinet.
Ilustrasi virus corona. Foto: Shutter Stock
Di dalam alat tersebut akan dilakukan master mix, yakni pencampuran antara reagen dan clinical sampel dari pasien yang suspect COVID-19, berupa apusan dari tenggorokan atau saluran pernapasan.
ADVERTISEMENT
Master mix yang sudah dipersiapkan di ruangan sebelumnya kemudian dibagi-bagi ke dalam tabung terpisah yang lebih kecil. Kemudian dimasukkan sampel atau material genetik yang sudah diekstraksi.
Hasil master mix kemudian dibawa ke ruangan yang terdapat mesin kuantitatif PCR. Di mesin inilah deteksi keberadaan material genetik virus akan dibaca. Hasilnya berupa grafik yang menunjukkan perkiraan jumlah virus, termasuk menentukan apakah hasilnya negatif atau positif.
Dalam hal ini Frilasita mengatakan, LBM Eijkman berpengalaman dalam menangani penyakit infeksi yang baru muncul. Salah satunya adalah mengidentifikasi virus Flu Burung pada 2005, kasus molekuler West-Nile yang terjadi pada 2012, virus zika, serta kasus tifoid dan leptospirosis di Jeneponto pada 2019.
"Kami juga pernah mengidentifikasi mikroba pada populasi pemburu, pedagang, dan konsumen satwa liar di Tomohon Sulawesi Utara dan berhasil mendeteksi keberadaan virus corona di manusia," tambahnya.
ADVERTISEMENT