Bukti Makin Kuat, Covid Bikin Otak Menyusut

21 April 2022 9:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Scan MRI dari seorang wanita yang dites positif COVID-19 mengungkapkan bukti kerusakan jaringan. Foto: Radiological Society of North America
zoom-in-whitePerbesar
Scan MRI dari seorang wanita yang dites positif COVID-19 mengungkapkan bukti kerusakan jaringan. Foto: Radiological Society of North America
ADVERTISEMENT
Pada beberapa kasus, COVID-19 meninggalkan gejala yang bertahan lama di tubuh pasien, atau disebut Long COVID. Beberapa kasus ditemukan pasien Long COVID memiliki gangguan pada otak, mulai dari brain fog, luka fisik di otak, sampai ditemukannya penyusutan volume otak pasien yang menderita COVID-19.
ADVERTISEMENT
Brain fog bukanlah istilah resmi medis. Istilah ini digunakan media dan dokter untuk kumpulan gejala penurunan kemampuan otak atau pelemahan kognitif. CDC mencatat bahwa sulit konsentrasi adalah salah satu gejala Long COVID. Satu studi membuktikan bahwa satu dari empat pasien COVID-19 menderita penurunan kemampuan otak, meski sudah berbulan-bulan sembuh.
Penelitian terpisah yang dipublikasikan di Neuroimmunology & Neuroinflammation per 7 Maret 2022 bahwa individu yang menderita gejala ringan ketika terinfeksi COVID juga mendapat gejala gangguan neurologis.
“Ada bukti cedera neurologis (setelah COVID-19) yang persisten,” ungkap Ayush Batra, ahli saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Feinberg Northwestern kepada National Geographic.

Ukuran otak pasien COVID-19 menyusut

Tidak berhenti di keluhan pasien dan perubahan bioindikator kesehatan otak, Long COVID bahkan juga terpantau mengecilkan ukuran otak pasien.
ADVERTISEMENT
Penelitian di jurnal Nature ini membandingkan gambar scan pemindaian otak orang sebelum dan sesudah terinfeksi virus corona.
Riset yang dibuat para peneliti University of Oxford ini melibatkan 785 peserta dengan rentang usia 51 hingga 81 tahun yang terdaftar di UK Biobank, gudang data medis dari sekitar 500 ribu orang di Inggris. Para peserta tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok untuk scan otak.
Kelompok pertama berisi 401 peserta. Mereka merupakan pasien positif virus corona yang terinfeksi antara Maret 2020 dan April 2021. Sedangkan 384 peserta sisanya merupakan kelompok kontrol yang tidak mengidap COVID-19.
Peneliti menemukan bahwa kelompok yang terinfeksi corona mengalami penyusutan otak antara 0,2 dan 2 persen. Mereka juga kehilangan lebih banyak volume otak secara keseluruhan dan menunjukkan lebih banyak kerusakan jaringan di area yang disebut materi abu-abu (grey matter), bagian otak terkait indra penciuman dan memori.
ADVERTISEMENT
Tidak ada perbedaan signifikan antara pasien COVID-19 gejala ringan maupun gejala berat.
"Kami cukup terkejut melihat perbedaan yang jelas di otak bahkan dengan infeksi ringan," penulis utama studi sekaligus profesor di departemen ilmu saraf klinis di University of Oxford, Gwenaëlle Douaud, kepada CNN.

Kecerdasan juga ikut turun

Masih di penelitian scan otak, peserta partisipan melakukan beberapa tes kemampuan otak atau kognitif. Tes antara lain mengukur atensi, kemampuan visual screening, dan kecepatan berpikir. Pasien COVID-19 menyelesaikan tes 8 hingga 12 persen lebih lma. Namun tidak terlalu jomplang di tes ingatan, reaksi dan tes konstruksi alasan.
ADVERTISEMENT

Apakah bisa kemampuan otak bisa kembali seperti semula?

Para penulis studi memperingatkan bahwa temuan itu hanya sesaat, tetapi mencatat bahwa mereka "meningkatkan kemungkinan bahwa konsekuensi jangka panjang dari infeksi SARS-CoV-2 mungkin pada waktunya berkontribusi pada penyakit Alzheimer atau bentuk demensia lainnya."
Peneliti lain berpendapat bahwa tidak bisa dipastikan gangguan kemampuan otak ini dapat sembuh atau tidak, bahkan dengan bantuan rehabilitasi kognitif.
"Kami tidak tahu persis apa yang terjadi di otak," kata Jacques Hugon, ahli saraf di Rumah Sakit Universitas Paris Lariboisiere. “Kami tidak tahu pasti saat ini, tetapi itu adalah risiko, dan kami harus mengikuti (pasien) dengan sangat hati-hati untuk tahun-tahun mendatang.”
Kasus Long COVID ini mengajarkan bahwa variabel korban COVID-19 bukanlah soal seberapa banyak yang sembuh dan seberapa banyak yang meninggal. Mengingat banyaknya riset yang menunjukkan parahnya gejala Long COVID, pasien pasca COVID juga harus diperhatikan karena mempengaruhi kualitas hidup tidak hanya beberapa bulan, tapi beberapa tahun di masa depan.
ADVERTISEMENT