Ilustrasi Vaksin Novavax

Cara Vaksin Rekombinan seperti AstraZeneca dan Novavax Buat Kita Kebal COVID-19

13 Januari 2021 8:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Vaksinasi menjadi salah satu strategi penting untuk menyelesaikan pandemi COVID-19. Selain dengan strategi pencegahan 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan), vaksin corona yang efektif merupakan kunci agar masyarakat mencapai kekebalan kawanan (herd immunity) guna keluar dari ancaman pagebluk.
Vaksin pada dasarnya bertujuan untuk membuat sistem kekebalan tubuh kita belajar potensi penyakit macam apa yang bakal dihadapi di masa depan. Nah, jika mereka sudah belajar, sistem kekebalan tubuh kita akan siap untuk melawan penyakit yang telah mereka pelajari kalau tiba-tiba datang suatu waktu.
Umumnya, pengembang vaksin membuat vaksin lewat virus yang sudah dimatikan (inactivated) atau dilemahkan (attenuated). Namun, perkembangan sains dan teknologi memungkinkan para ahli mencari metode lain dalam mengembangkan vaksin, yakni pengeditan gen atau apa yang dikenal sebagai vaksin rekombinan (recombinant vaccine).
Dalam kasus virus corona, setidaknya ada dua pengembang vaksin yang memakai metode ini. Keduanya adalah Novavax dan AstraZeneca. Namun, sebelum masuk ke keduanya, sebenarnya apa sih vaksin rekombinan itu?

Apa itu vaksin rekombinan dan bagaimana cara membuatnya?

Seperti namanya, "rekombinan," metode pembuatan vaksin ini diproduksi melalui rekombinasi DNA. Cara pembuatan vaksin dengan metode ini bisa dimungkinkan berkat perkembangan teknologi teknik genetika (genetic engineering) dalam beberapa tahun terakhir.
Pada dasarnya, dalam kasus corona, vaksin rekombinan sama seperti vaksin lain yang bertujuan untuk memicu antibodi yang responsif terhadap virus corona. Namun, alih-alih menyuntikkan keseluruhan virus corona asli untuk dikenali sistem kekebalan tubuh, vaksin rekombinan hanya mengandung sebagian kecil dari partikel virus corona.
Vaksin rekombinan sendiri mulai muncul di dekade 1970-an. Metode produksi vaksin ini bisa kita temui dalam vaksin Hepatitis B.
Petugas memegang botol vaksin Universitas Oxford / AstraZeneca di Princess Royal Hospital, Haywards Heath, West Sussex, Inggris. Foto: Gareth Fuller / PA Wire / Pool /REUTERS
Keuntungan utama penggunaan vaksin rekombinan adalah hilangnya reaksi pascavaksinasi yang khas dari vaksin berdasarkan patogen hidup dan reaksi lokal yang disebabkan oleh penggunaan patogen yang nonaktif.
Selain itu, vaksin rekombinan berbasis DNA seperti yang dibuat Novavax dan AstraZeneca lebih kuat daripada vaksin mRNA dari Pfizer dan Moderna. Karena DNA tidak serapuh RNA, keduanya tidak membutuhkan suhu ekstrem untuk disimpan. Mereka cuma butuh suhu kulkas, yakni 2 hingga 8 derajat celsius, untuk temperatur penyimpanannya.
Meski demikian, kebanyakan dari vaksin rekombinan menunjukkan imunogenisitas yang lemah atau buruk ketika diberikan sendiri. Oleh karena itu, vaksin rekombinan membutuhkan penggunaan adjuvan (substansi yang memperkuat respons imun) untuk memperoleh respons imun protektif dan tahan lama.

Novavax: memanen protein corona dari sel ngengat

Ilustrasi Vaksin Novavax. Foto: JUSTIN TALLIS/AFP
Vaksin Novavax adalah salah satu calon vaksin corona yang dikembangkan melalui teknik rekombinan. Vaksin Novavax bekerja dengan mengajarkan sistem kekebalan untuk membuat antibodi terhadap protein spike di permukaan virus corona yang menjadi gerbang dirinya masuk dan menginfeksi sel manusia.
Untuk membuat vaksin mereka, para peneliti Novavax mulai dengan memodifikasi gen dari spike protein corona. Mereka lalu memasukkan gen tersebut ke dalam virus yang berbeda, yang disebut baculovirus, dan membiarkannya menginfeksi sel ngengat. Nah, sel yang terinfeksi kemudian akan menghasilkan protein spike yang mirip dengan yang dimiliki virus corona.
Para peneliti kemudian memanen protein spike dari sel ngengat itu dan mengumpulkannya menjadi partikel nano. Partikel nano ini yang kemudian akan disuntikkan ke dalam tubuh orang penerima vaksin. Selain partikel nano protein spike corona, vaksin Novavax juga mengandung senyawa kulit pohon soapbark Chile (Quillaja saponaria) sebagai adjuvan-nya.
Meskipun partikel nano tersebut meniru struktur molekul virus corona, mereka tidak dapat menyebabkan COVID-19.
Senyawa kulit pohon soapbark kemudian akan menarik sel kekebalan tubuh ke tempat suntikan diberikan. Nantinya, sel kekebalan tubuh yang dikenal sebagai sel pemberi antigen, akan merespons partikel nano dari protein spike corona itu.
Partikel virus SARS-CoV-2. Foto: NIAID Integrated Research Facility (IRF) via REUTERS
Antigen sendiri merupakan kepanjangan dari antibody generator. Ia adalah protein pemicu antibodi sebagai pelindung protein yang diproduksi sistem kekebalan tubuh, untuk merespons protein tak dikenal seperti penyakit atau racun.
Antibodi ini memiliki bentuk seperti huruf Y, di mana lengannya berfungsi untuk mengikat protein yang tak dikenal tubuh manusia. Nantinya, antibodi akan mengikat spike protein virus corona, sehingga mencegah virus memasuki sel dan menginfeksi kita.
Jika benda tidak dikenal seperti protein virus corona masuk ke tubuh, sel pembawa antigen akan menariknya ke dalam dirinya. Ia juga akan menampilkan fragmen virus corona di permukaannya, serta memproduksi antibodi yang memiliki bentuk lengan yang cocok dengan protein permukaan virus corona.
Di tubuh orang yang sudah divaksinasi Novavax, sistem kekebalan tubuh akan langsung merespons, saat virus corona yang hidup masuk. Mereka telah dilatih dan belajar dari virus corona nonaktif yang ada vaksin, sehingga antibodi sudah siap menangkap virus corona hidup yang datang tiba-tiba suatu waktu.
Tubuh manusia memiliki sel pembawa antigen seperti memori sel B yang bisa menyimpan informasi virus corona selama bertahun-tahun. Sejauh ini, vaksin corona Novavax masih berada dalam tahap uji coba fase 3.

AstraZeneca: pakai virus flu simpanse buat bawa protein corona ke tubuh

Vaksin bikinan AstraZeneca juga hendak mengajarkan sistem kekebalan tubuh untuk mengenali protein spike corona.
Sama seperti Novavax, AstraZeneca dan Universitas Oxford, memasukkan gen protein di spike virus corona ke virus lain yang disebut adenovirus. Adenovirus adalah virus umum yang biasanya menyebabkan gejala flu atau pilek.
Dalam hal ini, para peneliti menggunakan versi modifikasi dari adenovirus di simpanse, yang dikenal sebagai ChAdOx1. Virus adenovirus simpanse inilah yang menjadi vector atau pembawa gen virus target (corona) ke dalam sel manusia. Meski bakal masuk sel manusia, para peneliti sudah mendesain sedemikian rupa agar adenovirus tidak bisa mereplikasi dirinya lagi.
Brian Pinker, saat disuntik vaksin Universitas Oxford / AstraZeneca di Rumah Sakit Churchill, Oxford, Inggris, Senin (4/1). Foto: Steve Parsons / Pool / AFP
Setelah vaksin disuntikkan ke orang, adenovirus akan masuk ke sel yang menariknya ke dalam. Begitu berada di dalam sel manusia, adenovirus akan bergerak ke bagian nukleus, ruang inti tempat penyimpanan DNA sel.
Ketika sudah sampai di nukleus, gen protein spike virus corona bakal dibaca oleh sel kita dan disalin ke dalam molekul yang disebut messenger RNA (mRNA). mRNA ini kemudian akan meninggalkan nukleus, di mana molekul sel akan membaca urutannya dan mulai menyusun protein spike.
Protein spike yang dihasilkan oleh sel akan terus bergerak ke permukaan dan memunculkan ujungnya. Sel-sel yang mengandung DNA protein corona juga akan memecah beberapa protein menjadi fragmen yang muncul di permukaannya. Spike dan fragmen protein ini yang kemudian akan dikenali oleh sistem kekebalan tubuh kita.
Menariknya, vaksin AstraZeneca tak memiliki adjuvan. Untuk meningkatkan respons sistem kekebalan tubuh, peneliti memanfaatkan sifat adenovirus yang bakal memprovokasi sel imun di sekitarnya.
Ketika sel yang mendapat DNA protein virus corona mati (yang mana itu merupakan hal yang wajar dalam keseharian tubuh kita) puing-puing spike dan fragmen protein akan diambil oleh sel pemberi antigen. Selebihnya, proses antigen mengenali protein corona untuk membuat antibodi yang cocok kurang lebih sama seperti yang sudah dijelaskan di bagian Novavax.
Vaksin corona AstraZeneca sendiri tercatat punya efektivitas sebesar 90 persen melindungi relawan uji coba dari COVID-19. Meski demikian, hasil tersebut ternyata menimbulkan perdebatan karena kelalaian petugas uji coba saat memberikan dosis yang diberikan. Para peneliti sedang memeriksa lebih lanjut data dalam uji coba AstraZeneca.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten