Citra Satelit LAPAN: Bagian Anak Krakatau yang Longsor Muncul Lagi

12 Januari 2019 10:16 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas melihat erupsi Gunung Anak Krakatau. (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
zoom-in-whitePerbesar
Petugas melihat erupsi Gunung Anak Krakatau. (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
ADVERTISEMENT
Hasil pengamatan citra satelit TerraSAR-X yang diambil pada 9 Januari 2019 menunjukkan adanya perubahan signifikan pada morfologi Gunung Anak Krakatau.
ADVERTISEMENT
Citraan satelit ini termuat dalam informasi respons tanggap darurat bencana berbasis data satelit yang dibuat oleh Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Informasi dari Pusfatja LAPAN ini menunjukkan bahwa bagian Anak Krakatau yang sempat mengalami longsor telah muncul kembali ke permukaan laut.
Dalam informasi tersebut, Pusfatja membandingkan citra setelit yang diambil pada 30 Agustus 2018 sebelum lonsornya sebagian area Anak Krakatau, lalu 29 Desember 2018 setelah longsornya sebagian area Anak Krakatau, dan perubahan terbaru pada 9 Januari 2019.
Pada citra satelit yang diambil 29 Desember 2018, terlihat jelas ada bagian Anak Krakatau yang hancur setelah mengalami erupsi pada Sabtu, 22 Desember 2019, pukul 20.56 WIB. Erupsi tersebut kemudian memicu longsor pada bagian barat - barat daya Gunung Anak Krakatau itu dan akhirnya memicu terjadinya tsunami di Selat Sunda.
ADVERTISEMENT
Total luas area Anak Krakatau yang hilang akibat erupsi dan longsor tersebut adalah sekitar 49 hektare.
Citra Satelit Gunung Anak Krakatau sebelum dan sesudah erupsi (Foto: Pusfatja LAPAN)
zoom-in-whitePerbesar
Citra Satelit Gunung Anak Krakatau sebelum dan sesudah erupsi (Foto: Pusfatja LAPAN)
Sementara itu, citra satelit tanggal 9 Januari 2019 menunjukkan adanya perubahan lagi pada wilayah Gunung Anak Krakatau yang sempat hilang itu. Wilayah yang semula mengalami kerusakan dan hilang akibat erupsi dan longsor tersebut terlihat mulai muncul lagi.
Citra Satelit Gunung Anak Krakatau pada 9 Januari 2019. (Foto: Pusfatja LAPAN)
zoom-in-whitePerbesar
Citra Satelit Gunung Anak Krakatau pada 9 Januari 2019. (Foto: Pusfatja LAPAN)
“Akumulasi erupsi setelahnya mengeluarkan material vulkanik yang terkumpul di sekitar kawah sehinggga bagian barat – barat daya Gunung Anak Krakatau kembali muncul ke atas permukaan air seperti yang terlihat pada citra tanggal 9 Januari 2019,” tulis Pusfatja LAPAN dalam keterangan resminya.
Menurut Kepala Bidang Diseminasi Pusfatja LAPAN Muhammad Priyatna, perubahan penampakan Gunung Anak Krakatau pada Januari ini memang menunjukkan kemunculan kembali bagian barat – barat daya Anak Krakatau tersebut. Namun, untuk mengetahui detailnya, saat ini timnya masih melakukan proses analisis.
ADVERTISEMENT
“Masih perlu dilakukan analisa dan pengamatan secara detail. Soal hal ini kami masih bekerja sama dengan tim lintas instansi yang dikoordinasikan oleh Kemenko Maritim,” kata Priyatna saat dihubungi oleh kumparanSAINS pada Jumat (11/1).
Perubahan morfologi Anak Krakatau. (Foto: Dok. Pusfatja LAPAN)
zoom-in-whitePerbesar
Perubahan morfologi Anak Krakatau. (Foto: Dok. Pusfatja LAPAN)
Tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018 yang menewaskan lebih dari 400 orang dan mengakibatkan lebih dari 1.000 orang luka-luka disebabkan oleh longsornya bagian barat - barat daya Anak Krakatau ini.
Hasil riset Thomas Giachetti dari University of Oregon (Amerika Serikat) yang dipublikasikan pada 2012 sebenarnya telah mewanti-wanti bagian Anak Krakatau yang rentan runtuh itu dan longsorannya bisa memicu tsunami di Selat Sunda.
Dalam riset tersebut Giachetti dan para koleganya membuat permodelan bahwa ada bagian Anak Krakatau yang rawan longsor dan bisa memicu tsunami. Bagian Anak Krakatau yang berpotensi longsor itu bervolume 0,28 kilometer kubik, lebih besar dibanding volume bagian Anak Krakatau yang longsor pada 22 Desember lalu.
ADVERTISEMENT
Ahli kelautan University of Rhode Island (Amerika Serikat), Stephan Grilli, dan rekan-rekannya menghitung volume tanah yang runtuh dari Anak Krakatau pada 22 Desember lalu adalah 0,2 kilometer kubik. Ia melakukan perhitungan tersebut dengan menggunakan permodelan.
Raphael Paris dari Université Clermont Auvergne (Prancis), salah satu peneliti yang ikut serta dalam riset Giachetti tersebut, turut memberikan pandangannya mengenai tsunami yang terjadi di Selat Sunda dalam sebuah pernyataan melalui European Geosciences Union (EGU). Ia mengatakan ke depan masih mungkin terjadi tsunami akibat dari longsornya bagian barat daya Anak Krakatau ini.
“Pada 2012, kami mempublikasikan sebuah riset mengenai kemungkinan longsor di lereng Anak Krakatau dan melakukan simulasi numerik pada kemungkinan tsunami. Volume longsor yang disimulasikan lebih besar daripada yang terjadi hari Sabtu (22/12/2018) dan skenario kami bisa dianggap sebagai kemungkinan terburuk,” kata Paris dalam pernyataannya.
ADVERTISEMENT
“Namun, masih banyak ketidakpastian mengenai stabilitas kerucut gunung berapi itu sekarang dan kemungkinan terjadinya longsor dan tsunami di masa depan tidak bisa diabaikan,” jelasnya.
Gambar udara kondisi Anak Gunung Krakatau. (Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar udara kondisi Anak Gunung Krakatau. (Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan)
Giachetti sendiri juga pernah menuliskan pandangannya di The Conversation soal tsunami di Selat Sunda dan kondisi terkini Anak Krakatau. Menurutnya, deretan letusan Anak Krakatau dalam beberapa hari terakhir telah membentuk kembali wujud Anak Krakatau yang sempat hilang.
“Sejak tanah longsor terjadi itu, telah terjadi letusan Surtseyan terus menerus. Ini melibatkan interaksi eksplosif antara magma gunung berapi dan air di sekitarnya, yang membentuk kembali Anak Krakatau karena terus perlahan meluncur ke barat daya,” tulis Giachetti di The Conversation pada 2 Januari 2019.
Menurutnya, masyarakat Indonesia harus tetap waspada karena masih ada potensi tsunami yang bisa ditimbulkan oleh Gunung Anak Krakatau.
ADVERTISEMENT