Covid Terbukti Bikin Otak Menyusut, Dampaknya Masih Misterius

9 Maret 2022 16:18 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi otak manusia. Foto: pixabay/TheDigitalArtist
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi otak manusia. Foto: pixabay/TheDigitalArtist
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mantan pasien Covid terbukti mengalami penyusutan otak, menurut riset baru di jurnal Nature. Ini merupakan penyelidikan ilmiah pertama yang membandingkan scan otak orang sebelum dan sesudah terinfeksi virus corona.
ADVERTISEMENT
Riset yang dibuat para peneliti University of Oxford ini melibatkan 785 peserta dengan rentang usia 51 hingga 81 tahun yang terdaftar di UK Biobank, gudang data medis dari sekitar setengah juta orang di Inggris. Para peserta tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok untuk scan otak.
Peserta pertama, berisi 401 peserta. Mereka merupakan pasien positif virus corona yang terinfeksi antara Maret 2020 dan April 2021. Sedangkan 384 peserta sisanya merupakan kelompok kontrol yang tidak mengalami Covid.
Peneliti menemukan bahwa kelompok yang terinfeksi corona mengalami penyusutan otak antara 0,2 dan 2 persen. Mereka juga kehilangan lebih banyak volume otak secara keseluruhan dan menunjukkan lebih banyak kerusakan jaringan di area yang disebut materi abu-abu, bagian otak terkait indra penciuman dan memori.
ADVERTISEMENT
Menariknya, sebagian besar orang yang masuk ke dalam kelompok pasien Covid hanya mengalami gejala ringan, kata peneliti. Mereka tidak cukup sakit sehingga tidak perlu dirawat di rumah sakit.
"Kami cukup terkejut melihat perbedaan yang jelas di otak bahkan dengan infeksi ringan," penulis utama studi sekaligus profesor di departemen ilmu saraf klinis di University of Oxford, Gwenaëlle Douaud, kepada CNN.
Douaud mengatakan bahwa jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit dalam penelitian ini hanya berjumlah 15 orang. Otak mereka mengalami kerusakan yang lebih buruk daripada pasien dengan penyakit ringan.
Selain itu, para peserta juga diuji tes fungsi eksekutif dan kognitif menggunakan Trail Making Test, alat yang digunakan untuk membantu mendeteksi gangguan kognitif terkait dengan demensia dan menguji kecepatan dan fungsi pemrosesan otak seseorang. Para peneliti menemukan bahwa mereka yang mengalami penyusutan jaringan otak terbesar memiliki hasil tes terburuk pada ujian ini.
Ilustrasi lansia didampingi perempuan muda. Foto: Shutter Stock
Para penulis memperingatkan bahwa temuan itu hanya sesaat, tetapi mencatat bahwa mereka "meningkatkan kemungkinan bahwa konsekuensi jangka panjang dari infeksi SARS-CoV-2 mungkin pada waktunya berkontribusi pada penyakit Alzheimer atau bentuk demensia lainnya."
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, Douaud dan para ahli yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan bahwa pengujian kognitif itu belum sempurna. Artinya, penelitian ini sangat terbatas dalam menentukan apakah hilangnya materi abu-abu dan kerusakan jaringan otak yang dialami pasien Covid memengaruhi keterampilan kognitif mereka.
“Tidak satu pun dari mereka yang mendapatkan pengujian kognitif yang cukup menyeluruh untuk mengetahui apakah mereka memiliki defisit yang signifikan di banyak daerah di mana mereka menemukan perubahan volume ini,” kata Benedict Michael, profesor infeksi saraf di University of Liverpool, yang tidak terlibat dalam penelitian, kepada The New York Times.
“Kami tidak tahu bahwa itu benar-benar berarti apa pun bagi kualitas hidup atau fungsi pasien.”
Tak hanya itu, para peneliti belum mengetahui penyebab dari penyusutan dan kerusakan otak pasien corona.
ADVERTISEMENT
“Karena perubahan abnormal yang kita lihat pada otak peserta yang terinfeksi mungkin sebagian terkait dengan hilangnya penciuman mereka, ada kemungkinan bahwa pemulihannya dapat menyebabkan kelainan otak ini menjadi kurang jelas dari waktu ke waktu,” jelas Douadud.
“Demikian pula, kemungkinan efek berbahaya virus, menurun seiring waktu setelah infeksi. Cara terbaik untuk mengetahuinya adalah dengan memindai peserta ini lagi dalam waktu satu atau dua tahun," imbuhnya, sembari menambahkan bahwa para peneliti berencana melakukan scan dan pengujian ulang bagi para peserta dalam satu atau dua tahun mendatang.