Disinggung Pencemaran Sungai Citarum, LIPI Bandingkan Jabar dan Bali

13 Juni 2019 9:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lansekap Sungai Citarum di kawasan Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Foto: Antara/Raisan Al Farisi
zoom-in-whitePerbesar
Lansekap Sungai Citarum di kawasan Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Foto: Antara/Raisan Al Farisi
ADVERTISEMENT
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membandingkan provinsi Jawa Barat dan Bali ketika disinggung mengenai penanganan Sungai Citarum yang tercemar. Peneliti LIPI, Dawam Abdullah, menilai kebijakan penanganan sampah yang diterapkan oleh pemerintah Bali jauh lebih baik.
ADVERTISEMENT
Dawam mencontohkan, di Bali tidak disediakan plastik bagi konsumen yang membeli makanan dan minuman. Adapun plastik sendiri merupakan limbah padat yang berbahaya karena tidak mudah terurai dan menyumbang sekitar 50 persen dari limbah padat.
"Sebagai komparasi, saya ke Bali itu beli minuman sebanyak apapun tidak dikasih plastik. Jadi tidak disediakan plastik sama sekali. Jadi, drastis berkurang (penggunaannya). Kebijakan Pemda-nya lebih bagus di sana. Jadi intinya kebijakannya dulu yang kuat," kata Dawam, ketika ditemui di kantornya, Rabu (12/6).
Dawam kemudian menjelaskan, penanganan Sungai Citarum yang membentang sejauh 290 kilometer dan melintasi 12 kabupaten dan kota memerlukan langkah-langkah yang tepat mulai dari pengangkatan sampah padat hingga mengolah sampah yang dibuang ke air.
Sungai Citarum tercemar Foto: ANTARA/M Agung Rajasa
ADVERTISEMENT
Selain itu, Dawam menambahkan, diperlukan pula langkah-langkah yang preventif untuk mengubah pola hidup masyarakat agar tidak terbiasa membuang sampah ke Sungai Citarum.
"Dan pola hidup masyarakat harus dibentuk karena itu Sungai Citarum kan berasal dari anak sungai dan anak sungai itu kan dari selokan yang ada di rumah-rumah. Artinya manajemen sampah ini harus diatur sedemikian rupa," jelasnya.
Faktor budaya
Namun, Dawam menyadari perubahan pola hidup masyarakat akan memakan waktu yang lama karena telah menjadi budaya mereka. Meski demikian, hal tersebut tetap mesti dimulai dari sekarang mengingat pencemaran Sungai Citarum telah begitu parah.
Selain faktor budaya, ekonomi masyarakat menjadi hambatan dalam mengubah pola hidup masyarakat. Menurut dia, pola hidup masyarakat dan perekonomian saling berkesinambungan mengenai kesadaran membuang sampah pada tempatnya.
ADVERTISEMENT
"Namun, bagaimanapun pola membangun masyarakat ini kan bertahap karena masalah budaya ini kan tidak cukup 100 tahun. Tapi ada hal yang kita lakukan itu mengurangi potensial sampah termasuk penggunaan plastik," terangnya.
Foto udara permukiman terdampak banjir di Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Terkait dengan pencemaran Sungai Citarum, Dawam mengaku begitu memprihatinkan. Sebab, sambung dia, terdapat berbagai jenis limbah mulai dari limbah industri hingga kotoran manusia yang mencemarinya. Sehingga, air Sungai Citarum tidak layak untuk digunakan untuk mandi bahkan menyiram tanaman.
"Bisa dikatakan dalam kondisi memprihatinkan. Sangat tercemar. Limbah padat masuk, limbah industri, kotoran manusia, dan lain-lain," tutur dia.
"Kota besar itu pasti yang jumlah penduduknya lebih banyak (menyumbang limbah). Tapi mau di perkampungan ataupun kota kesadarannya masih belum terlihat," imbuh Dawam.
ADVERTISEMENT
Di lokasi yang sama, Kepala Loka Penelitian Teknologi Bersih LIPI Sri Priatni mengatakan, pihaknya telah melakukan penelitian untuk menangani limbah industri yakni tahu di Sumedang yang mencemari sungai.
Sri menjelaskan, LIPI telah mencetuskan teknologi berupa reaktor pengolah limbah cair yang dikeluarkan pabrik tahu dengan memanfaatkan sekumpulan mikroba hingga air yang dikeluarkan menjadi biogas dan airnya aman untuk digunakan menyiram tanaman.
"Kita punya reaktor yang menangani limbah cair tahu dibantu mikroba sehingga diubah menjadi biogas dan bisa digunakan masyarakat dan limbah airnya bisa digunakan untuk tanaman karena sudah aman. Kebetulan ada Iptekda kita disitu memanfaatkan air itu untuk tanaman, untuk pengembangan tanaman talas dan sukses," jelas Sri.
Limbah pabrik di Sungai Citarum Foto: ANTARA/M Agung Rajasa
Selain itu, Sri menambahkan, pihaknya juga pernah melakukan hal yang sama terhadap pabrik tekstil di Cimahi. Di sana, LIPI melibatkan sekumpulan mikroba untuk mengendapkan air sehingga ketika dikeluarkan tidak berbahaya bagi lingkungan.
ADVERTISEMENT
"Tekstil itu teknologi pengolahan limbah atau pembuatan IPAL-nya (Instalasi penanggulangan air limbag) ada contohnya Trisula Tex di Cimahi," tuturnya.
"Jadi, bagaimana menurunkannya itu dengan menambahkan sekumpulan mikroba yang mengendapkan air hingga bisa mengeluarkan air yang tidak berbahaya ke sungai," ujar Sri.
Upaya pemerintah
Sementara itu, ketika dimintai tanggapan mengenai Ridwan Kamil dalam menangani Sungai Citarum, Sri mengakui sudah cukup baik apalagi telah mendapat suntikan dana dari pemerintah pusat dan Bank Dunia.
Meski demikian, Sri merasa jika LIPI belum dilibatkan sepenuhnya. Padahal, LIPI merupakan lembaga pemerintah yang bertugas meneliti dan bisa memberi rekomendasi.
Dua orang anak bermain saat banjir di Kampung Bojong Asih, Desa Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Sebelumnya, berdasarkan rilis yang diterima kumparan, Pemprov Jabar mendapat suntikan dana Rp 1,4 triliun dari Bank Dunia untuk menyelesaikan persoalan sampah Sungai Citarum yang jadi sorotan dunia.
ADVERTISEMENT
Dana tersebut akan digunakan untuk edukasi, menyiapkan infrastruktur wilayah, lokasi pemilihan sampah, serta menyiapkan teknologi terkait sampah, termasuk fasilitas daur ulang sampah menjadi bahan bakar.
"Kita dapat dana dari Bank Dunia Rp 1,4 triliun. Dalam waktu satu minggu ini, kita harus presentasi ke Pemerintah Pusat dan Bank Dunia, uang Rp 1,4 triliun buat apa saja," ucap Gubernur Jabar, Ridwan Kamil, yang akrab disapa Emil di Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (10/6).