Diuji untuk Rawat Pasien Virus Corona, Obat Asam Lambung Kini Mulai Langka

30 April 2020 20:44 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi obat asam lambung. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi obat asam lambung. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tenaga medis yang merawat pasien COVID-19 menghadapi tantangan berat sebab obat dari penyakit menular yang dibawa virus corona SARS-CoV-2 ini belum ditemukan hingga saat ini. Setelah obat malaria klorokuin digunakan sebagai salah satu terapi pengobatan pada pasien positif virus corona, kini giliran obat asam lambung yang diuji coba.
ADVERTISEMENT
Bahan aktif yang terkandung dalam beberapa jenis obat asam lambung menjadi perhatian tenaga medis di Amerika Serikat. Mereka sedang mempelajari lebih lanjut soal kegunaan obat tersebut sehingga bisa dimasukkan sebagai salah satu terapi pengobatan virus corona.
Masalahnya, uji coba semacam ini lantas membuat obat asam lambung menjadi susah dijumpai di sejumlah apotek AS, menurut laporan Science Alert.
Famotidine, antasid dan antihistamin yang ditemukan di merek obat populer Pepcid AC, tengah diuji coba dalam menangani pasien positif virus corona di Northwell Health, New York, demikian keterangan Kevin Tracey, CEO dan presiden lembaga penelitian medis Feinstein Institute, kepada Business Insider.
Famotidine merupakan obat yang selama ini digunakan untuk mengatasi beberapa gejala penyakit seperti maag dan heartburn (rasa panas dan nyeri di ulu hati), serta penyakit refluks asam lambung (GERD).
ADVERTISEMENT
Sedangkan antasid diminum untuk mengatasi mulas, mual atau gangguan pencernaan. Cara kerjanya adalah menetralkan asam perut yang berlebihan. Mengonsumsi antasid saja atau dikombinasikan dengan simethicone dapat digunakan untuk menangani gejala maag.
Berbeda dengan famotidine dan antasid, antihistamin merupakan jenis obat yang dipakai untuk mengatasi berbagai macam jenis alergi. Misalnya, alergi pada makanan, sengatan serangga, alergi kulit, alergi mata, dan alergi lainnya. Obat ini hanya bisa mengurangi reaksi yang ditimbulkan oleh alergi.
Penggunaan obat asam lambung kemungkinan berkaitan dengan laporan Business Insider yang menyebut bahwa peneliti mengungkap masalah pencernaan seperti diare dan mual bisa menjadi gejala awal COVID-19. Sekitar satu dari 10 pasien yang terinfeksi virus corona mengalami beberapa gejala gastrointestinal, termasuk diare dan mual.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan yang terbit di jurnal The Lancet dijelaskan, hanya 3 persen pasien COVID-19 di China yang mengalami diare. Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada 5 persen pasien COVID-19 yang mengalami gejala mual.
Sementara itu penelitian baru menunjukkan, jumlah tersebut mungkin jauh lebih banyak dari yang tercatat sebelumnya. Bahkan, setengah dari pasien virus corona diperkirakan telah mengalami masalah pencernaan yang diikuti dengan gangguan pernapasan.
Tracey telah memperingatkan orang-orang agar tidak menimbun obat-obatan asam lambung. Obat Pepsid AC habis stoknya di berbagai e-commerce, seperti Amazon, dan juga perusahaan ritel farmasi CVS.
Meski begitu, masih terlalu dini untuk mengatakan apakah famotidine akan berguna dalam pengobatan apa pun untuk pasien virus corona, kata Tracey. Bahkan jika beberapa manfaat ditemukan, pasien dalam penelitian ini mengambil dosis sangat tinggi secara intravena, jauh lebih banyak daripada yang pernah seseorang ambil untuk sakit maag.
ADVERTISEMENT
"Anda seharusnya tidak pergi ke toko obat dan minum banyak obat sakit maag," katanya kepada CNN.
Kelangkaan famotidine ini mengikuti jejak obat antimalaria klorokuin yang sebelumnya juga digembar-gemborkan ampuh menyembuhkan COVID-19 oleh Presiden Donald Trump.
Dua minggu setelah Business Insider membuat laporan yang memupuskan harapan mereka karena membeberkan efek samping dari hydroxychloroquine, yang terlanjur digunakan untuk melawan virus corona, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) secara resmi mengakuinya.
Ilustrasi klorokuin. Foto: Shutter Stock
Masih belum ada data klinis peer-review yang menunjukkan bahwa obat generik lama ini, yang masih digunakan oleh beberapa orang untuk Lupus dan kondisi lainnya, ampuh melawan COVID-19.
"Ketakutan, kekacauan, dan kepanikan adalah ancaman yang jauh lebih besar bagi kemanusiaan daripada virus, terutama untuk terapi yang mungkin atau mungkin tidak berhasil," begitu ujar Michael Rea, CEO Rx Savings Solutions, yang sebelumnya juga merupakan seorang apoteker.
ADVERTISEMENT
Rea menyarankan semua petugas kesehatan untuk bertindak secara profesional di masa-masa seperti ini.
"Jangan biarkan rasa takut menentukan keputusanmu," kata Rea. "Hanya gunakan obat, resepkan obatnya, dapatkan obatnya jika kamu benar-benar membutuhkannya."
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.