Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kaki-kaki kami yang terbiasa dengan datarnya jalanan di ibu kota gemetaran. Bagaimana tidak, hari Selasa (12/2) itu, kami "dipaksa" jadi “geolog”. Mendaki gunung, lewati lembah. Persis juga dengan kelakuan Ninja Hatori.
ADVERTISEMENT
Oleh tim geolog kawakan yang dipimpin Mudrik Rahmawan Daryono, peneliti geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kami tim geolog abal-abal dari kumparanSAINS diajak menelusuri Sungai Cimeta dan menjelajahi lembah-lembah di sekitar Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
Tujuannya cuma satu, yakni melihat "penampakan" Sesar Lembang , sesar aktif yang lokasinya tak jauh dari Kota Bandung. Tepatnya sekitar 10 kilometer di sebelah utara Kota Kembang.
Sebelum ekspedisi dimulai, kami semua berkumpul di Kantor Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI di Kota Bandung. Di sana kami bertemu dengan Mudrik beserta timnya. Setelah perkenalan singkat, kami langsung memulai perjalanan ini.
"Hari ini kita akan melakukan survei dan kunjungan penelitian lokasi Sesar Lembang di kilometer enam," tutur Mudrik sebelum berangkat.
ADVERTISEMENT
Dua mobil yang kami tumpangi bergerak pukul 8 pagi dari kantor LIPI yang tak terlalu jauh dari Jalan Dago. Dari sana, kami mulai melaju ke arah Lembang. Berbeda dengan akhir pekan, jalanan di sekitar Bandung kala itu relatif lancar. Mobil kami hanya sesekali terhenti karena beberapa angkot yang ngetem.
Satu jam berlalu, jalanan yang kami lalui perlahan-lahan semakin mengecil saat memasuki daerah Desa Pasirlangu di Cisarua. Pada akhirnya jalanan itu hanya muat untuk satu mobil saja.
Pemandangan kiri kanan kami juga mulai berubah, dari restoran serta bangunan ruko menjadi rumah khas pedesaan dan lahan bercocok tanam warga. Sesekali terdengar pula lenguhan sapi karena di sekitar sana juga terdapat banyak peternakan.
ADVERTISEMENT
"Banyak sayur-mayur di Jakarta yang asalnya dari sini," kata Mudrik ketika mobil yang kami tumpangi berpapasan dengan mobil pikap yang membawa bermacam sayuran.
Sungguh asri, tapi banyak yang tak menyangka bahwa di balik keindahan desa ini ada Sesar Lembang yang mengular sepanjang 29 kilometer dan bergeser 1,95 milimeter hingga 3,45 milimeter tiap tahunnya. Sesar tersebut, menurut hasil riset terbaru Mudrik, terdiri dari enam bagian, yakni bagian Cimeta, Cipogor, Cihideung, Gunung Batu, Cikapundung, dan Batu Lonceng.
Dalam makalah hasil risetnya yang telah terbit di jurnal internasional Tectonophysics akhir 2018 itu, Mudrik memaparkan bahwa "ulang tahun gempa" Sesar Lembang adalah sekitar 170 hingga 670 tahun sekali. Kekuatan gempa bumi yang dihasilkan bila sesar sepanjang 29 kilometer itu bergerak bersamaan bisa mencapai 6,5 magnitudo sampai 7,0 magnitudo.
ADVERTISEMENT
"Nah itu kita tidak bisa presisi kapan akan terjadinya siklus (gempa) itu. Range-nya (periode keberulangannya) masih besar. Kita perlu riset lebih dalam untuk bisa mempresisikan dia (gempa) kapan terjadinya," ujar Mudrik.
"Makanya kalau kita ditanya kapan akan terjadi gempa? Bisa 100 tahun lagi, bisa 50 tahun lagi, bisa lima tahun lagi, bisa besok. Jadi kita tidak tahu pasti (kapan) akan terjadinya itu," jelas Mudrik yang dalam risetnya mencatat bahwa gempa besar Sesar Lembang terakhir kali terjadi pada tahun 1400-an.
Bidang Patahan di Bagian Cimeta
Setelah menyusuri jalan sempit di Desa Pasirlangu selama sekitar 45 menit, mobil kami berhenti di depan rumah seorang warga. Mudrik langsung turun dan menyapa ramah warga di sana, sembari meminta izin parkir. Kami juga turun mengikutinya.
ADVERTISEMENT
"Saya lumayan akrab dengan orang-orang di sini karena dulu waktu riset sering datang," ujar Mudrik.
Setelah sejenak meluruskan badan, kami memulai perjalanan kaki menuju bidang patahan salah satu bagian Sesar Lembang. Matahari belum terlalu menyengat. Kala itu waktu masih menunjukkan sekitar pukul 10 pagi menjelang siang.
Mudrik berkata lokasi bidang patahan itu tak terlampau jauh dan mudah dijangkau dari lokasi parkir mobil. Kami yang masih terpana suasana hijau lahan pertanian, mengiyakan ucapannya tanpa banyak tanya.
Setelah 10 menit pertama kami berjalan mengikuti langkah kaki Mudrik, kami mencapai sebuah lembah. Lembah itu dipadati oleh sawah-sawah dan dialiri oleh Sungai Cimeta.
"Di sini juga lokasi yang dilewati Sesar Lembang," kata Mudrik. Tapi lokasi itu bukan garis finis ekspedisi kami. "Yang akan kita lihat masih di balik sana," jelas Mudrik sambil menunjuk sebuah tanjakan.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba kami mulai mencium bau kotoran sapi. Belakangan, kami ketahui sumbernya ada di kandang-kandang sapi di kanan-kiri jalur tanjakan tersebut.
Ucapan Mudrik soal lokasi tujuan yang ada di balik tanjakan itu disambut oleh canda salah satu anggota tim ekspedisinya, Astyka Pamumpuni. Pria yang merupakan dosen muda di Program Studi Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengatakan bahwa kami, tim kumparanSAINS, harus siap-siap "dikerjai" Mudrik.
"Siap-siap ya, ini kalian akan dikerjai Mas Mudrik," canda pria yang biasa disapa Tik ini.
Entah benar atau tidak ucapan Tik, tapi tak lama setelah melewati tanjakan tersebut, jalan yang harus kami lalui selanjutnya ternyata jalur yang sangat ekstrem.
Usai melewati tanjakan, Mudrik memimpin kami keluar dari jalan desa, lalu masuk ke rimbunan semak-semak menuju lahan-lahan ladang milik warga. Di antara ladang-ladang itu memang ada jalan setapak, tapi sangat sempit. Lebarnya hanya selebar bahu kami.
ADVERTISEMENT
Di jalan itu kami harus berjalan beriringan satu orang demi satu sambil berharap tidak jatuh ke ladang-ladang labu siam yang berada di kanan-kiri kami. Jalan tanah sempit yang kami lalui itu tingginya sekitar dua meter dari permukaan ladang.
Kami boleh berlega hati karena akhirnya berhasil melalui jalan sempit itu tanpa terperosok ke ladang. Namun tantangan selanjutnya yang harus kami arungi adalah dinginnya aliran air Sungai Cimeta.
Bagian sungai yang perlu kami seberangi itu cukup dangkal, hanya sedalam lutut. Dan bahkan dengan bebatuan di tengah sungai yang bisa kami pijak untung menyeberang, kedalaman air yang dingin ini hanya terasa semata kaki kami.
Akan tetapi, jalan menurun menuju tepi sungai itu sangat curam. Di jalan itulah salah satu anggota tim kami terpeleset dan jatuh hingga kakinya terkilir.
ADVERTISEMENT
"Siksaan" yang harus kami lalui tak berhenti di situ. Setelah berhenti sejenak karena ada anggota tim kami yang jatuh, Mudrik mengajak kami segera melanjutkan perjalanan.
Dari seberang sungai itu, ada sebuah jalan setapak di tepian yang bisa kami ikuti. Jalurnya agak menanjak, tapi perkataan Mudrik bahwa kami sudah dekat lokasi haluan kembali membakar semangat kami.
Dengan penuh kehati-hatian, kami menyusuri jalan di pinggir ladang sawi putih milik warga dan aliran Sungai Cimeta. Tak begitu lama menyusuri jalan tersebut, kami akhirnya sampai di lokasi tujuan.
Salah satu bagian rekahan tepi Sungai Cimeta memperlihatkan bukti keberadaan Sesar Lembang. "Itu bidang sesar (Sesar Lembang) ada di batuan dasar itu," kata Mudrik sambil menunjuk salah satu sisi Sungai Cimeta.
ADVERTISEMENT
"Setahu saya, ini merupakan pertama kalinya dalam publikasi bidang Sesar Lembang bisa terlihat di atas batuan dasar. Bahkan waktu itu saya pernah mengajak promotor dari Prancis ke sini dan dia kagum melihat bidang Sesar Lembang di sini," tuturnya.
Mudrik menjelaskan bahwa bidang patahan sulit ditemukan di Indonesia. Hal ini karena Indonesia berada di wilayah tropis.
"Jadi susah ditemukan karena proses erosinya itu intensif juga karena curah hujannya besar. Terus kemudian tutupan vegetasinya itu sangat intensif karena tanaman cepat sekali berkembang dan ukurannya juga besar," paparnya.
Lokasi bidang sesar yang kami datangi itu sebenarnya tidak jauh dari daerah permukiman warga. Namun karena medan perjalanan yang cukup berat, kami menghabiskan waktu nyaris tiga jam pergi-pulang dari lokasi parkir mobil ke lokasi bidang sesar di bagian Cimeta tersebut.
ADVERTISEMENT
Suara gemericik air Sungai Cimeta dan rindangnya pohon bambu di lokasi bidang patahan membuat kami betah berlama-lama di sana. Ingin rasanya kami berleha-leha menghabiskan waktu sampai sore di sana.
Tapi agenda hari itu belum selesai. Masih ada satu lokasi lagi yang harus kami datangi, yaitu jalur patahan di bagian Gunung Batu. Jalur patahan lain Sesar Lembang itu berlokasi di lain kecamatan, yakni Kecamatan Lembang, tapi masih di Kabupaten Bandung Barat.
Jalur Sesar di Bagian Gunung Batu
Kaki-kaki kami yang sudah lemas ini terasa berat untuk diajak melangkah lagi. Selain karena mendengar bahwa kami harus mendaki Gunung Batu, kami juga teringat oleh terjalnya perjalanan yang harus kami lalui untuk kembali ke lokasi parkir mobil sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Perjalanan kembali ke lokasi parkir mobil adalah inversi dari jalur sebelumnya: melewati jalan di pinggir ladang sawi putih, menyeberangi aliran Sungai Cimeta, mendaki jalan menanjak dari tepi sungai, melalui jalan sempit di antara ladang labu siam, menempuh jalan menuruni lembah, dan kembali menaiki mobil.
Hujan rintik-rintik menemani perjalanan kami ke Gunung Batu. Di tengah perjalanan, kami memutuskan berhenti sejenak untuk istirahat salat dan makan siang di sebuah restoran makanan sunda ternama di kawasan Lembang.
Sajian karedok dan gepuk yang kami santap menjadi sumber energi kami untuk menaklukkan Gunung Batu. Tapi kenapa kami perlu mendatangi Gunung Batu di Lembang seolah hendak berpelesir? Bukankah Gunung Batu adalah salah satu tempat wisata terkenal di sekitar Bandung?
ADVERTISEMENT
"Gunung Batu adalah salah satu daerah yang dilewati Sesar Lembang," kata Mudrik. "Di situ dari morfologinya kita bisa melihat jalur Sesar Lembang," tambahnya.
Tak hanya Gunung Batu, dari hasil riset Mudrik juga diketahui bahwa lokasi Sesar Lembang berdekatan dengan berbagai objek wisata lainnya macam Curug Cimanggu, Curug Cimahi, Jendela Alam Lembang, Observatorium Bosscha, Tebing Keraton, hingga The Lodge Maribaya.
Berbagai objek publik atau terkenal lainnya juga bersisian dengan Sesar Lembang, misalnya SDN 3 Lembang, SMP-SMA Pondok Pesantren Baitul Izzah, Balai Desa Pagerwangi, Kantor Desa Cihideung, Restoran The Peak Resort Dining, Condotel Boutique Village, Rumah Sakit Jiwa Cimahi, Pondok Pesantren Al-Mu’awanah, Jembatan Cimeta, Kantor Camat Ngamprah, dan Jalan Tol Padalarang.
Sore menjelang Matahari terbenam, kami sampai di Gunung Batu Lembang yang berketinggian sekitar 1.335 meter di atas permukaan laut. Karena datang di hari kerja, tak banyak orang yang kami temui di sana. Hanya ada beberapa orang yang tampaknya sedang berlatih panjat tebing.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan medan terjal menuju lokasi bidang patahan di Sungai Cimeta, pendakian singkat Gunung Batu ini tidak ada apa-apanya karena relatif amat dekat dengan tempat parkir mobil. Hanya perlu waktu setengah jam perjalanan kaki bagi kami yang sudah babak belur ini mencapai puncaknya.
Dari atas Gunung Batu, Mudrik menunjuki kami sebuah dataran yang tiba-tiba menanjak tinggi menjadi kawasan Bukit Teropong Indah. Anomali kontur pada tanjakan bukit tersebut menurutnya terbentuk akibat pergerakan Sesar Lembang. Dia menyebut sudut yang dibentuk sisi bukit dengan bidang tanah datar di sampingnya itu merupakan jalur Sesar Lembang.
Yang mengkhawatirkan kami, tepat di balik bukit itu kami bisa melihat dengan jelas wilayah Kota Bandung.
Apa yang bakal terjadi pada ibu kota Priangan yang berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa itu jika bagian-bagian Sesar Lembang bergerak serempak? Mudrik dan banyak pakar gempa lainnya telah berulang kali menyampaikan bahwa yang terpenting, masyarakat sadar bahwa kita hidup di daerah gempa dan siap serta memahami cara untuk menghadapinya.
Dari puncak Gunung Batu, dengan bantuan drone, kami kemudian mengambil beberapa gambar daerah yang dilewati Sesar Lembang berdasarkan petunjuk Mudrik. Selanjutnya, kami sama-sama menikmati Matahari terbenam sambil menyaksikan kabut yang mulai merayap naik ke atas gunung.
ADVERTISEMENT
Di puncak Gunung Batu kami bisa menikmati pemandangan indah sekaligus sadar bahwa ada Sesar Lembang di dekat kami. Di atas ketinggian itu juga diam-diam kami berharap sesar itu bisa terus “tidur tenang” selamanya, tapi diam-diam pula kami menyadari bahwa hukum alam tak mungkin mengamini harapan kami.
ADVERTISEMENT