Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Wabah corona bikin serba-salah. Tak enak badan sedikit saja, orang bisa langsung waswas. Pikiran buruk segera berkelabat, “Jangan-jangan kena corona, nih…”
Dokter spesialis paru RS Persahabatan, Erlina Burhan, dalam sebuah seminar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bercerita, pasien-pasiennya sering bertanya apakah mereka sudah terpapar virus corona atau sekadar batuk dan flu ringan.
Batuk dan flu sebetulnya biasa mendera. Namun, kini ada kekhawatiran tinggi terhadap penyakit-penyakit yang dipandang sepele sebelum corona mewabah itu. Apalagi, penyakit-penyakit ringan itu juga menjadi simtom corona.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menyebutkan, gejala corona yang biasa muncul pada masa inkubasi (2-14 hari setelah terpapar virus) adalah demam, batuk, dan sesak napas.
Penderita juga bisa sesak napas, nyeri di dada, dan kebiru-biruan pada bibir atau wajah. Pada kasus positif lain, timbul pula gejala sakit kepala, sakit tenggorokan, sakit perut, dan diare.
Dr. Martina Paglia dari The International Psychology Clinic berkata kepada metro.co.uk bahwa kecemasan berlebih terhadap virus corona dapat menyebabkan tubuh menciptakan gejala sakit tertentu. Ini membuat orang berpikir ia telah terinfeksi coronavirus.
Gejala sakit karena kekhawatiran berlebih itu, menurut psikiater Klinik Psikosomatik RS OMNI Alam Sutera dr. Andri, SpKJ, disebut sebagai reaksi psikosomatik (berhubungan dengan gangguan emosi atau mental).
Reaksi psikosomatik misalnya timbul ketika seseorang terlalu banyak mengikuti pemberitaan tentang virus corona.
“Saat kita membaca berita tentang gejala virus corona atau COVID-19, tiba-tiba kita merasa tenggorokan agak gatal, nyeri, dan agak meriang walaupun suhu tubuh normal. Itu wajar,” tulis Andri melalui utas di akun Twitter @mbahndi, Minggu (22/3). “
Dalam kondisi itu, amigdala atau pusat rasa cemas sekaligus sentra memori manusia, menjadi terlalu aktif bekerja. Akibatnya, manusia bisa terjebak dalam situasi psikologis yang disebut fight-or-flight alias tidak pernah berhenti merasa waswas.
Untuk mengenali gejala psikosomatik, dr. Andri mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, cermati apakah gejala hanya berlangsung sesaat atau terus-menerus. Kedua, perhatikan apakah keluhan yang dirasa berpindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain.
Apabila jawaban untuk poin pertama adalah “sesaat” dan poin kedua adalah “ya”, maka besar kemungkinan itu adalah reaksi psikosomatik.
Guna mengurangi gejala psikosomatik akibat kerja amigdala yang terlalu aktif, Andri mengimbau masyarakat untuk membatasi konsumsi informasi terkait COVID-19 .
“Lakukan hal selain browsing, lakukan hobi yang menyenangkan, dan sebarkan optimisme kita bahwa kita bisa lewati semua ini,” ujarnya.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
****