Gembar-gembor New Normal Bikin Warga Kurang Waspada Corona

12 Juni 2020 7:39 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta, Senin (8/6). Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta, Senin (8/6). Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jumlah kasus virus corona di Indonesia terus melonjak drastis. Dalam sepekan terakhir, pemerintah melaporkan kenaikan harian berkisar 900 hingga lebih dari 1.000 kasus baru. Rekor tertinggi tercatat pada Rabu (10/6), dengan adanya penambahan 1.240 kasus baru. Hingga Kamis (11/6), total kasus mencapai 35.295 usai penambahan 979 kasus baru.
ADVERTISEMENT
Seiring meningkatnya jumlah kasus COVID-19, wacana new normal terus bergulir. Salah satu persiapan menuju tatanan hidup baru di tengah pandemi adalah dengan penetapan masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi. Periode ini berlangsung sebelum kebijakan PSBB benar-benar dicabut total.
Serangkaian aturan PSBB dilonggarkan secara bertahap. Sejumlah bisnis mulai kembali beroperasi, termasuk moda transportasi publik dan aktivitas perkantoran.
Presiden Ahlina Institute, dr. Tifauzia Tyassuma mengatakan, promosi new normal justru menyebabkan masyarakat kurang waspada terhadap penularan virus. Wacana beraktivitas kembali di tengah pandemi yang masih berlangsung rawan dianggap sebagai isyarat bahwa penularan virus tak lagi dalam tahap membahayakan.
Kondisi hari pertama PSBB transisi di Jakarta. Foto: Pembaca kumparan/Iman Taufiq Hidayatullah
“Mau enggak mau kita harus sampaikan bahwa di Indonesia pertama kali gaung new normal itu kan dilakukan sendiri oleh pemerintah. Oleh presiden sendiri mengatakan new normal. Sementara, per definisi, new normal kan sampai dengan hari ini belum jelas apa yang dimaksud dengan new normal itu sendiri,” ujarnya saat dihubungi pada Kamis (11/6).
ADVERTISEMENT
“Dan kebijakan itu sendiri pun sampai dengan hari ini belum diberlakukan, masih wacana-wacana. Tapi, itu menyebabkan kewaspadaan dari masyarakat menjadi berkurang. Ya, karena kita tahu kan 90 persen masyarakat itu kan iliterasi. Bukan soal buta huruf ya, tapi soal bagaimana mereka punya pemahaman tentang informasi yang mereka dapatkan, terutama dari sosial media,” lanjutnya.
Banjir informasi yang ada juga sering kali terkontaminasi isu-isu hoaks. Seperti yang kerap beredar di grup-grup WhatsApp, misalnya, ada banyak rumor yang menyangsikan apakah benar virus corona berbahaya atau tidak.
Bahkan beberapa waktu lalu, muncul klaim bahwa virus corona bisa disembuhkan dengan beberapa obat yang banyak dijual di apotek seperti antibiotik, antiinflamasi, dan antikoagulan. Kemunculan kabar-kabar serupa dari waktu ke waktu membuat masyarakat bingung dalam menentukan sikap.
ADVERTISEMENT
“Kebingungan itu kemudian (membuat) mereka ambil jalan pintas: ‘Ya udah, kalau begitu corona sudah berhenti’ gitu. Dengan asumsi-asumsi yang muncul yang sama sekali tidak punya validitas,” tuturnya.
Persiapan pasar penerapan Normal Baru di Pasar Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Sabtu (6/6/2020). Foto: Harviyan Perdana Putra/ANTARA FOTO
Jika masyarakat terus terpapar informasi yang menyederhanakan bahaya pandemi ini, konsekuensi yang menyusul kemudian adalah peningkatan jumlah kasus. Seperti yang telah mulai tampak saat ini.
Padahal, penularan virus corona di seluruh dunia belum usai. Menurut data worldometers.info, 7.484.103 orang dikonfirmasi positif mengidap corona per Kamis (11/6). Sebanyak 419.518 orang di antaranya meninggal dunia dan 3.798.671 dinyatakan pulih.