Gen Manusia Purba Memperburuk Kasus Corona di Tubuh Manusia Modern?

3 Oktober 2020 11:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wujud asli virus corona SARS-CoV-2 yang terlihat melalui mikroskop. Foto: National Institute of Allergy and Infectious Diseases via flickr (CC BY 2.0)
zoom-in-whitePerbesar
Wujud asli virus corona SARS-CoV-2 yang terlihat melalui mikroskop. Foto: National Institute of Allergy and Infectious Diseases via flickr (CC BY 2.0)
ADVERTISEMENT
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan orang untuk mengalami gejala parah dari penyakit COVID-19. Beberapa di antaranya adalah usia dan keberadaan penyakit bawaan atau komorbid yang diidap pasien sebelum terinfeksi corona.
ADVERTISEMENT
Namun, ternyata faktor genetik dan DNA seseorang juga berperan untuk mengembangkan gejala parah dari COVID-19, menurut riset para ilmuwan Swedia dan Jerman dalam COVID-19 Host Genetics Initiative.
Dalam riset yang dikembangkan dalam beberapa bulan terakhir itu, ilmuwan menyadari kalau varian genetik di kromosom 3 manusia menimbulkan risiko yang lebih besar untuk mengembangkan bentuk penyakit yang parah. Kesimpulan para peneliti ini didapatkan setelah mereka mengamati DNA dari 3.199 pasien COVID-19 yang punya gejala parah.
Meski demikian, para peneliti dari COVID-19 Host Genetics Initiative tidak menjelaskan dari mana asal varian genetik kromosom 3 yang menyebabkan gejala parah COVID-19. Berdasarkan data bentangan DNA, para peneliti hanya menduga bahwa varian gen tersebut dihasilkan dari perkawinan silang antara manusia modern (Homo sapiens) dengan manusia purba seperti Neanderthal atau Denisovan.
ADVERTISEMENT

Gen dari Neanderthal memperburuk gejala COVID-19

Bertujuan untuk mencari jawaban yang lebih presisi, riset terbaru yang dipublikasi jurnal Nature pada 30 September 2020 menemukan kalau varian genetik kromosom 3 yang rentan menimbulkan gejala parah tersebut hadir berkat kawin silang antara manusia modern dan Neanderthal.
“Saya hampir jatuh dari kursi saya karena segmen DNA persis sama dengan genom Neanderthal,” kata Hugo Zeberg, penulis utama riset sekaligus asisten profesor di Karolinska Institute, kepada The Guardian.
Ilustrasi kehidupan Neanderthal. Foto: 12019 via Pixabay
Dalam laporan mereka, para peneliti menemukan kalau gen pasien dengan gejala berat COVID-19 sangat mirip dengan seorang Neanderthal yang ditemukan di Kroasia.
Homo sapiens sendiri diketahui melakukan perkawinan dengan Neanderthal pada 60 ribu tahun lalu. Perkawinan silang dua spesies manusia ini mengakibatkan sekitar 16 persen orang Eropa dan 50 persen orang Asia Selatan punya DNA turunan Neanderthal.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan peneliti di jurnal Nature, kelompok gen pada kromosom 3 paling banyak ditemukan di Bangladesh. Sebanyak 63 persen populasi di sana membawa setidaknya satu salinan urutan DNA.
Kepada The Guardian, Zeberg menyebut kalau gen Neanderthal telah bertahan pada manusia modern karena mereka bermanfaat, contohnya seperti membantu melawan infeksi lain. Namun, ternyata kelemahan gen tersebut terungkap ketika berhadapan dengan virus corona.
Ilustrasi DNA. Foto: Pixabay
"Sungguh mengejutkan bahwa warisan genetik dari Neanderthal memiliki konsekuensi yang tragis selama pandemi saat ini," kata Profesor Svante Pääbo, anggota peneliti riset dari Okinawa Institute of Science and Technology Graduate University (OIST), dikutip dari Science Daily.
Hingga saat ini, tidak jelas bagaimana gen Neanderthal dapat memperburuk gejala COVID-19 bagi pasien yang memiliki keturunan itu. Tidak jelas pula apakah kelemahan gen Neanderthal hanya berlaku bagi COVID-19 saja atau penyakit lain.
ADVERTISEMENT

Dikritik ahli

Meski riset dari jurnal Nature itu berhasil mengungkap asal usul varian gen yang memperburuk gejala COVID-19, penelitian mereka tidak lepas dari kritik.
Menurut Jeffrey Barret, ahli genetika di Sanger Institute, penemuan ini hanya menjelaskan sebagian kecil perbedaan tingkat keparahan penyakit di antara pasien virus corona.
"Sebenarnya tidak ada yang khusus secara medis atau biologis tentang fakta bahwa varian ini muncul pada Neanderthal," kata Barret, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, kepada CNN.
"Manusia memiliki banyak keragaman genetik, beberapa di antaranya muncul pada nenek moyang pra-manusia kita, beberapa di Neanderthal, beberapa pada masa ketika semua manusia purba hidup di Afrika, dan beberapa di antaranya baru-baru ini."
Mutasi Gen Foto: Pixabay
Senada dengan Barret, Mark Maslin, seorang profesor Ilmu Sistem Bumi di University College London, memperingatkan bahwa riset yang dibuat Zaberg dan Pääbo berisiko menyederhanakan penyebab dan dampak pandemi secara berlebihan.
ADVERTISEMENT
Maslin menyebut, COVID-19 adalah penyakit yang kompleks. Tingkat keparahan penyakit ini juga terkait dengan usia, jenis kelamin, etnis, obesitas, kesehatan, beban virus, dan berbagai faktor lain
“Makalah ini menghubungkan gen yang diwarisi dari Neanderthal dengan risiko lebih tinggi dari pasien COVID-19 rawat inap dan yang memiliki komplikasi parah. Tetapi ketika COVID-19 menyebar ke seluruh dunia, jelas bahwa banyak populasi berbeda yang terkena dampak parah, banyak di antaranya tidak memiliki gen Neanderthal,” kata Maslin kepada The Guardian.
“Kita harus menghindari penyederhanaan penyebab dan dampak COVID-19, karena pada akhirnya respons seseorang terhadap penyakit ini adalah tentang kontak dan kemudian respons kekebalan tubuh, yang dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan, kesehatan, dan genetik,” sambungnya.
ADVERTISEMENT