Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Pemerintah RI memesan dan menyiapkan jutaan butir klorokuin dan avigan untuk pengobatan pasien COVID-19. Kedua jenis obat itu, berdasarkan uji klinis awal di sejumlah negara, efektif untuk pasien corona dengan gejala ringan, namun tak mempan untuk pasien dengan gejala lanjutan. Penggunaan yang tak hati-hati bisa berbahaya.
Uji klinis oleh Pusat Pengembangan Bioteknologi Nasional China di berbagai rumah sakit di negara itu, menurut Xinhua, menunjukkan bahwa klorokuin dapat membantu mengobati coronavirus. Obat itu disebut menampakkan “efek penyembuhan tertentu” dengan “kemanjuran yang cukup baik.”
Pasien-pasien yang diobati dengan klorokuin memperlihatkan penurunan demam yang lebih baik, perbaikan kondisi paru-paru, dan waktu pemulihan yang lebih singkat.
Dari 100 pasien lebih yang mengikuti uji klinis penggunaan klorokuin di China hingga pertengahan Februari 2020, tak ditemukan efek samping yang berbahaya. Itu sebabnya, bagi China, klorokuin adalah salah satu obat yang dipandang menjanjikan untuk melawan coronavirus .
Indonesia sendiri, menurut Jokowi, sudah menyiapkan 3 juta butir klorokuin. Nantinya, obat-obat itu akan didistribusikan melalui puskesmas-puskesmas dan rumah sakit-rumah sakit, juga paramedis yang berkeliling dari rumah ke rumah.
Kebetulan, klorokuin diproduksi di dalam negeri oleh BUMN yang bergerak di industri farmasi, yakni PT Kimia Farma. Jika klorokuin terbukti efektif, obat itu akan kembali diproduksi oleh Kimia Farma.
“Kita coba yang terbaik untuk membantu penyembuhan (pasien corona). Semua negara mencoba, tentu Indonesia juga. Sampai hari ini belum ada obat (COVID-19) yang diakui WHO,” kata Menteri BUMN Erick Thohir, Sabtu (21/3).
Seperti Indonesia, imbuh Erick, Amerika Serikat sepakat untuk menggunakan klorokuin sebagai terapi COVID-19.
Berdasarkan penelitian di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) pada 2005, klorokuin efektif melawan sel primata yang terinfeksi SARS—coronavirus generasi pertama yang menyerang manusia. Namun, penelitian itu hanya berbasis uji in vitro melalui sel makhluk hidup, dan bukan dilakukan terhadap makhluk itu sendiri.
“Sering kali ada perbedaan besar antara bagaimana kinerja suatu obat terhadap sel-sel makluk hidup, dengan cara kerjanya di dalam tubuh makhluk hidup,” ujar Jeremy Rossman, pakar virologi Universitas Kent, Inggris, dalam laporan The Scientist.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) saat ini masih menguji apakah klorokuin —yang biasa digunakan untuk pengobatan malaria, lupus, dan artritis rematoid—bisa digunakan untuk mengobati pasien corona dengan gejala ringan ke medium.
“Observasi sedang dilakukan untuk menentukan kemanjuran klorokuin dalam pengobatan COVID-19,” ujar FDA dalam keterangan tertulisnya.
Indikasi awal memang menunjukkan klorokuin cukup menjanjikan untuk melawan infeksi SARS-CoV-2—virus penyebab COVID-19. Itu tak hanya berdasarkan penelitian di China, tapi juga di Prancis dan Australia.
Uji klinis di Prancis terhadap 42 pasien corona , seperti dipublikasikan jurnal internasional Antimicrobial Agents pada 20 Maret 2020, membagi mereka ke dalam dua kelompok: 26 orang menerima pengobatan klorokuin (hidroksiklorokuin), dan 16 lainnya menerima perawatan rutin. Dari 26 pasien yang mengonsumsi klorokuin, 20 merampungkan proses pengobatan.
Dari 20 orang itu, 6 di antaranya juga menerima azitromisin—antibiotik untuk pengobatan infeksi seperti radang tenggorokan dan radang paru-paru, sedangkan 14 lainnya mendapat asupan klorokuin saja.
Keenam pasien yang menerima kombinasi pengobatan klorokuin dan azitromisin, dinyatakan bebas corona pada hari kelima usai perawatan. Sementara 14 pasien yang mengonsumsi klorokuin saja, juga dinyatakan negatif corona.
The Scientist menuliskan, uji klinis berskala besar diperlukan untuk menentukan seberapa efektif klorokuin dalam pengobatan COVID-19. Saat ini para peneliti di Universitas Minnesota AS telah memulai penelitian yang melibatkan 1.500 orang untuk mengukur efektivitas obat itu bagi pasien corona.
Walau klorokuin dipandang prospektif untuk pengobatan coronavirus, ia tak boleh sembarangan dikonsumsi. Asupan klorokuin 500 mg setiap harinya selama lebih dari seminggu, menurut Direktur Klinis GTAK Health Clinic di Lagos, Goke Akinrogunde, bisa berbahaya dan setidak-tidaknya mengakibatkan overdosis.
Bloomberg melaporkan, di Lagos, Nigeria, dua kasus keracunan klorokuin baru-baru ini terjadi seiring melonjaknya permintaan atas obat itu, usai Trump menyebutnya sebagai “one of the biggest game changers in the history of medicine” bersama azitromisin.
Hal tersebut membuat otoritas kesehatan Nigeria memperingatkan warganya untuk tidak mencoba-coba melakukan pengobatan COVID-19 sendiri.
“Klorokuin masih pada tahap uji coba kombinasi dengan obat lain, dan belum diverifikasi dalam pengobatan preventif atau penyembuhan (bagi pasien corona),” kata Oreoluwa Finnih, asisten kesehatan senior gubernur Lagos.
Organisasi Kesehatan Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, WHO, kini tengah menguji coba klinis empat jenis obat terhadap pasien COVID-19, termasuk klorokuin.
Tiga lainnya adalah obat antivirus remdesivir yang digunakan untuk perawatan pasien ebola, kombinasi lopinavir dan ritonavir yang selama ini dipakai untuk pengobatan HIV/AIDS, dan interferon beta yang biasa digunakan untuk mengobati penyakit autoimun multiple sclerosis.
Ana Maria Henao-Restrepo, Kepala Unit Penelitian dan Pengembangan di Departemen Biologis dan Imunisasi WHO, kepada situs kesehatan STATNews mengatakan bahwa uji klinis akan difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci seperti: 1) Apakah obat-obatan itu bisa mengurangi risiko kematian? 2) Apakah obat-obatan itu dapat mempercepat proses penyembuhan? 3) Apakah pasien yang menerima salah satu obat-obatan itu butuh dirawat intensif di rumah sakit?
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Faisal Yunus, mengatakan bahwa klorokuin termasuk salah satu obat yang diberikan kepada pasien COVID-19 di Indonesia bersama oseltamivir yang biasa digunakan untuk flu burung, juga antibiotik untuk pneumonia (radang paru-paru), dan vitamin C dosis tinggi.
Namun, ujar Faisal, reaksi pasien terhadap pengobatan tersebut berbeda-beda. “Ada yang baik, ada yang tidak. Tergantung kondisi pasien. Kalau (gejalanya) masih ringan ya memberikan hasil, tapi kalau sudah berat yang enggak.”
Pasien dengan gejala ringan yang lebih efektif menerima pengobatan kombinasi klorokuin ialah mereka yang tak mengalami sesak napas berat, dan kondisi paru-parunya masih baik.
“Tapi kalau flek parunya sudah luas, orangnya sudah enggak sadar, itu berat,” kata Faisal.
Jadi, ujarnya, “Semakin ringan sakitnya, semakin memberikan hasil (pengobatannya).”
Artinya: deteksi dini COVID-19 jadi amat penting karena berperan signifikan bagi kesembuhan pasien.
Artinya juga: pasien suspect atau positif COVID-19 tak boleh sembarang minum obat tanpa resep dokter.
“Penggunaan harus dalam pengawasan dokter, aplagi dalam kondisi terinfeksi. Enggak bisa misalnya pasien berpikir, ‘Ah, saya mau obat klorokuin saja lalu dirawat di rumah,’” kata Keri Lestari, Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Padjadjaran.
Selain klorokuin, pemerintah RI juga memesan 2 juta butir avigan dari Jepang. Avigan ialah obat antivirus yang biasa digunakan untuk melawan virus RNA (penyebab penyakit ebola, SARS, rabies, influenza, hepatitis C, polio, dan lain-lain).
“Obat ini (avigan ) sudah dicoba oleh satu, dua, tiga negara, dan memberikan kesembuhan. Kita telah datangkan 5.000, akan kita coba, dan dalam proses pemesanan 2 juta,” kata Jokowi, Jumat (20/3).
Avigan yang juga dikenal dengan nama favipiravir, diteliti di China sejak Februari sebagai pengobatan COVID-19. Sebulan kemudian pada pertengahan Maret, otoritas kesehatan China menyebut obat itu efektif dalam mengobati pasien corona di Wuhan dan Shenzen.
Dalam uji klinis terhadap 340 pasien di dua kota itu, pasien yang mengonsumsi avigan dinyatakan negatif corona setelah empat hari dirawat, sedangkan pasien yang tidak mengonsumsi avigan baru sembuh setelah sebelas hari dirawat.
Selain itu, hasil pemeriksaan sinar-X menunjukkan peningkatan kondisi paru-paru hingga 91 persen bagi pasien yang mengonsumsi avigan, dan hanya 62 persen pada pasien yang tak mendapat avigan.
Di Jepang, dokter-dokter menggunakan avigan untuk mengobati pasien corona dengan gejala ringan dan sedang. Namun, seperti klorokuin, avigan disebut tak efektif untuk pasien corona dengan gejala lanjutan.
“Kami telah memberi favipiravir (avigan ) pada 70-80 pasien, tapi tampaknya tak berfungsi dengan baik ketika virus sudah berlipat ganda,” kata seorang sumber di lingkaran Kementerian Kesehatan Jepang kepada surat kabar Mainchi Shimbun.
Artinya: deteksi dini COVID-19 tetap sangat penting, karena pasien dalam kondisi kronis tak punya banyak peluang sembuh dengan obat-obatan yang tersedia.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk membantu pencegahan penyebaran coronavirus COVID-19. Yuk, bantu donasi sekarang!