Ilmuwan Modifikasi Nyamuk Penyebar DBD di Indonesia, Buat Apa?

2 September 2020 8:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nyamuk Aedes aegypti penyebar demam berdarah dengue di laboratorium Oswaldo Cruz Foundation laboratory, Rio de Janeiro,  Foto: Brasil. AFP/Mauro Pimentel
zoom-in-whitePerbesar
Nyamuk Aedes aegypti penyebar demam berdarah dengue di laboratorium Oswaldo Cruz Foundation laboratory, Rio de Janeiro, Foto: Brasil. AFP/Mauro Pimentel
ADVERTISEMENT
Demam berdarah dengue (DBD) bisa tak menjadi masalah lagi di Indonesia, atau bahkan secara global. Baru-baru ini, sebuah penelitian bertahun-tahun yang dilakukan para peneliti Australia dan Indonesia di Yogyakarta berhasil memodifikasi nyamuk agar tak menularkan virus demam berdarah ke manusia.
ADVERTISEMENT
Para peneliti yang tergabung dalam Program Nyamuk Dunia (World Mosquito Program) itu menemukan, bahwa nyamuk modifikasi mereka telah sukses mengurangi demam berdarah di wilayah penelitian hingga 77 persen. Menurut mereka, temuan ini akan menghasilkan 'dampak yang besar.'
"Dalam kesehatan masyarakat, 77 persen adalah dampak yang sangat, sangat besar," kata Cameron Simmons, yang mengepalai World Mosquito Program di Universitas Monash, Australia, kepada ABC News.
"Jika ini adalah vaksin untuk COVID-19, kami akan senang dengan dampak 77 persen. Kami sangat senang," sambungnya.

Apa maksudnya nyamuk modifikasi?

Para peneliti gabungan World Mosquito Program sendiri telah menghabiskan tiga tahun untuk memodifikasi nyamuk lokal di Yogyakarta. Selama riset, mereka mencampurkan telur nyamuk dengan bakteri yang diketahui dapat mencegah mereka menularkan virus demam berdarah ke manusia.
Nyamuk Aedes aegypti pembawa virus DBD. Foto: Shutterstock
Modifikasi itu dilakukan dengan menginfeksi nyamuk Aedes aegypti dengan bakteri Wolbachia. Bakteri Wolbachia ini berguna untuk membuat virus dengue, yang jadi biang keladi demam berdarah, menjadi kelaparan.
ADVERTISEMENT
“Dengan adanya bakteri di sana, hal itu dapat mencegah virus berkembang, dan (bakteri) dapat menimbulkan respons kekebalan pada nyamuk yang melindungi terhadap virus," kata Katie Anders, direktur penilaian dampak di World Mosquito Program, dalam sebuah wawancara dengan The Guardian.
Anders menambahkan, para peneliti sebenarnya tidak begitu paham mengapa Wolbachia dapat menghambat penularan demam berdarah. Kata dia, mungkin bakteri itu bersaing dengan virus di dalam tubuh nyamuk untuk mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan untuk bereplikasi.
Menurut laporan The Guardian, di awal riset para peneliti berhasil memodifikasi 6 juta nyamuk di Yogyakarta. Jutaan nyamuk itu kemudian disebar di 24 wilayah di Yogyakarta dengan total area 13 km persegi.
Sebagian wilayah di Yogyakarta sengaja tidak diberikan nyamuk modifikasi itu untuk kontrol riset. Wilayah yang tak kebagian nyamuk modifikasi ini hanya menggunakan metode pencegahan biasa untuk demam berdarah, seperti fogging.
Petugas Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) melakukan pengasapan (fogging) di pusat kota Foto: ANTARA FOTO/Rahmad
Lebih lanjut, peneliti menguji lebih dari 8.000 peserta dari dalam area uji coba yang mengalami demam akut. Partisipan ini terdiri dari rentang usia antara 3-45 tahun.
ADVERTISEMENT
Para ilmuwan kemudian mengukur keefektifan bakteri dalam mengurangi kejadian penyakit demam berdarah di area yang dirawat. Setelah dibandingkan, ternyata wilayah dengan nyamuk modifikasi punya tingkat virus dengue yang lebih rendah ketimbang yang tidak diberikan nyamuk modifikasi.
Para peneliti pun menemukan, keberadaan bakteri Wolbachia bisa bertahan di alam liar dengan level yang tinggi dalam waktu yang lama. Sebab, seiring dengan berkembang biaknya nyamuk yang telah terinfeksi bakteri itu di populasi liar, keturunannya juga akan memiliki bakteri Wolbachia.
Karena kesederhanaan metode itu, peneliti menyebut cara ini sebagai pendekatan yang indah.
"Keindahan dari pendekatan ini adalah metode 'sekali dan selesai'," kata Simmons. "Setelah upaya awal untuk menetapkan Wolbachia dalam populasi nyamuk, ia kemudian bertahan selama bertahun-tahun tanpa perlu lebih banyak pekerjaan."
ADVERTISEMENT

Jawaban bagi Indonesia dan dunia?

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu momok masalah kesehatan di Indonesia dan dunia.
com-Ilustrasi nyamuk Aedes aegypti, vektor demam berdarah dengue. Foto: Shutterstock
Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga Juli 2020, misalnya, terdapat kasus DBD sebanyak 71.633 di Indonesia sejak awal tahun ini. Dari jumlah tersebut, 459 pasien DBD meninggal.
Adapun menurut catatan WHO, pada 2019 lalu ada 4,2 juta kasus DBD di dunia. Masalahnya jadi pelik karena sebenarnya tak ada terapi khusus untuk pasien terinfeksi DBD.
Lalu, apakah metode nyamuk modifikasi ini bisa jadi jawaban terhadap masalah demam berdarah dengue di Indonesia?
“Saat kami memulai proyek, Yogyakarta berada di urutan kelima dalam hal kasus DBD, jadi sangat parah,” kata Adi Utarini, seorang profesor Universitas Gadjah Mada yang memimpin tim World Mosquito Program di Indonesia, dikutip dari ABC News.
ADVERTISEMENT
"Tapi sekarang mereka melihat penurunan yang luar biasa. Sebelumnya ada banyak penularan lokal demam berdarah dan penularan lokal tidak lagi ada," sambungnya.
com-Di tengah pandemi, Indonesia mengalami peningkatan kasus DBD. Hingga saat ini, telah terkonfirmasi 70.000 kasus penderita DBD. Foto: Shutterstock
Senada dengan Utarini, World Mosquito Program juga mengatakan kalau temuan tersebut adalah bukti paling kuat sejauh ini bahwa bakteri Wolbachia secara signifikan dapat mengurangi demam berdarah di lingkungan manusia yang padat penduduk.
Penelitian di Yogyakarta sendiri bukan riset pertama mengenai nyamuk yang dimodifikasi Wolbachia untuk mengurangi DBD. Menurut laporan ABC News, penelitian ini sudah dimulai pertama kali di Queensland, Australia, pada 10 tahun lalu.
Riset di Australia itu dilakukan di uji laboratorium dan studi lapangan. Pada akhirnya, negara bagian Australia itu dinyatakan bebas demam berdarah.
Adapun menurut Simmons temuan nyamuk modifikasi mereka di Yogyakarta memiliki konsekuensi besar untuk negara Asia Tenggara dan Amerika Latin, yang dikenal punya masalah kronik soal DBD. Ia menganggap, metode nyamuk modifikasi itu dapat diandalkan.
ADVERTISEMENT
"Kami dengan berani optimis bahwa pendekatan kami dapat membawa pada pemberantasan demam berdarah di tempat-tempat seperti Yogyakarta bila disebarkan pada skala seluruh kota," kata Simmons. "Jadi menurut kami metode ini dapat diukur."
Nyamuk Aedes Aegypti Foto: Getty Images
Simmons menambahkan, Yogyakarta hanya permulaan bagi tim peneliti. Setelah ini, mereka hendak menguji coba nyamuk modifikasi itu di sejumlah kota besar Asia Tenggara seperti Bangkok, Jakarta, Ho Chi Minh. Mereka juga akan menguji nyamuk modifikasi itu di sejumlah kota besar di Amerika Latin seperti Rio de Janeiro, Medellin.
Simmons mengakui, pemberantasan total demam berdarah adalah mimpi jangka panjang. Hal tersebut karena waktu yang dibutuhkan untuk membiakkan dan melepaskan nyamuk yang terinfeksi tidaklah sebentar. Selain itu, riset mereka juga bisa terganjal efektivitas biaya percobaan di lingkungan pedesaan yang lebih kecil, di mana demam berdarah justru telah menjadi endemik.
ADVERTISEMENT
Meski punya segambreng tantangan, dia optimistis bakteri Wolbachia bisa memegang kunci sukses penanganan DBD secara global. "Saya pikir akan ada saatnya kota dan beberapa wilayah nasional dapat mendeklarasikan diri mereka bebas demam berdarah," katanya.
Riset nyamuk modifikasi bakteri Wolbachia rencananya akan dipresentasikan di kongres ilmiah internasional pada November 2020 mendatang.