Ini Gempa Terlama di Dunia: Berlangsung 32 Tahun di Indonesia

27 Mei 2021 15:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Gempa Bumi Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gempa Bumi Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada umumnya, gempa bumi berlangsung selama beberapa detik dan tidak sampai semenit. Namun, peneliti baru-baru ini mengungkap gempa terlama di dunia yang berlangsung hingga 32 tahun.
ADVERTISEMENT
Gempa terlama di dunia itu terjadi pada 1829 hingga 1861 di Sumatra, Indonesia. Fenomena alam ini kemudian menimbulkan gempa bumi Sumatera pada 16 Februari 1861 dengan magnitudo 8,5 yang menyebabkan tsunami dan menimbulkan korban ribuan orang.
Dalam penelitiannya, para ilmuwan Nanyang Technological University (NTU) di Singapura menjelaskan bagaimana bisa gempa di Sumatera bisa berlangsung hingga 32 tahun.
Fenomena gempa yang berlangsung lama ini disebut sebagai gempa bumi 'gerak lambat' atau 'peristiwa tergelincir lambat'. Istilah itu mengacu pada fenomena pergeseran lempeng tektonik satu sama lain secara lama dan tidak menyebabkan guncangan. Gempa bumi gerak lambat biasanya melibatkan pergerakan antara beberapa cm per tahun sampai cm per hari.
Para peneliti NTU membuat penemuan mengejutkan ini saat mempelajari sejarah permukaan laut dengan memperhatikan karang purba yang disebut 'mikroatol' di Pulau Simeulue, terletak di lepas pantai Sumatra.
Ilustrasi Gempa. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Karang mikroatol, yang tumbuh ke samping dan ke atas, merekam perubahan permukaan laut dan ketinggian daratan melalui pertumbuhannya yang terlihat pola. Data dari terumbu karang mengungkapkan bahwa Simeulue telah tenggelam selama 90 tahun dengan kecepatan tetap satu atau dua milimeter per tahun, yang konsisten dengan gerakan latar sesar.
ADVERTISEMENT
Namun, sekitar 1829, tiba-tiba pulau tersebut mulai tenggelam lima sampai tujuh kali lebih cepat, di mana dalam beberapa tahun ia bisa turun sampai satu sentimeter. Pada akhirnya, peneliti menyimpulkan bahwa data tersebut menunjukkan gempa bumi gerak lambat.
Peristiwa gempa bumi lambat ini merupakan proses bertahap yang menghilangkan stres di bagian dangkal tempat pertemuan dua lempeng tektonik, kata tim NTU. Namun, stres ini ternyata ditransfer ke segmen yang lebih dalam, yang berpuncak pada gempa bumi besar dan tsunami 1861.
Penemuan ini menandai peristiwa gempa bumi gerak lambat terpanjang yang pernah tercatat dalam sejarah. Ia juga akan mengubah perspektif global tentang rentang waktu dan mekanisme fenomena tersebut, kata tim NTU.
Para ilmuwan sebelumnya percaya bahwa peristiwa gempa bumi gerak lambat hanya terjadi selama berjam-jam atau berbulan-bulan. Namun, penelitian NTU menunjukkan bahwa gempa bumi gerak lambat sebenarnya dapat berlangsung selama beberapa dekade tanpa memicu guncangan dan tsunami.
ADVERTISEMENT
“Sungguh menarik betapa kami dapat menemukan banyak hal darinya hanya segelintir situs karang yang lokasinya ideal. Berkat rentang waktu yang lama dari karang purba, kami dapat menyelidiki dan menemukan jawaban atas rahasia masa lalu," kata Rishav Mallick, seorang mahasiswa PhD di NTU Asian School of Environment sekaligus peneliti utama studi tersebut yang dipublikasi di jurnal Nature Geoscience pada Mei 2021.
"Metode yang kami adopsi dalam makalah ini juga akan berguna untuk studi di masa depan tentang zona subduksi lainnya - tempat-tempat yang rawan gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Oleh karena itu, penelitian kami dapat berkontribusi pada penilaian risiko yang lebih baik di masa depan," sambungnya.

Kemungkinan gempa bumi gerak lambat dan tsunami di Bengkulu

Gempa bumi gerak lambat sendiri kerap tidak terdeteksi oleh alat pelacak, kata peneliti. Sebab, lokasi terjadinya gempa bumi tersebut terletak beberapa kilometer di bawah laut, di zona subduksi yang umumnya lebih tenang dan tidak banyak gempa.
Ilustrasi Tsunami. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Selain sulit dilacak, banyak ilmuwan cenderung menafsirkan 'ketenangan' dari bagian dangkal zona subduksi sebagai sesuatu yang tidak berbahaya. Peneliti NTU menjelaskan, umumnya para ahli akan mengasumsikan, jika terjadi pergeseran di zona subduksi, lempeng tektonik yang terletak di bawahnya akan terus meluncur dengan mantap dan tidak menimbulkan bahaya.
ADVERTISEMENT
Meskipun ini mungkin benar dalam beberapa kasus, studi NTU menemukan bahwa pergeseran ini tidak begitu stabil seperti yang diasumsikan para peneliti. Contohnya dapat terjadi pada peristiwa slip lambat.
"Karena peristiwa slip lambat seperti itu sangat lambat, kami mungkin telah melewatkannya karena rekaman instrumental saat ini umumnya hanya hingga sepuluh tahun," kata Rishav.
"Jika perilaku serupa diamati yang mengarah ke gempa bumi di tempat lain, proses ini pada akhirnya dapat dikenali sebagai pendahulu gempa," sambungnya.
Dengan metodologi penelitian mereka, tim NTU juga menyoroti potensi kejadian gempa bumi lambat yang berlarut-larut yang sedang berlangsung di Pulau Enggano, Bengkulu.
“Jika temuan kami benar, ini berarti bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar pulau Indonesia ini berpotensi menghadapi risiko tsunami dan gempa bumi yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa model risiko dan strategi mitigasi perlu diperbarui," kata Aron Meltzner, asisten profesor di Earth Observatory of Singapore NTU.
ADVERTISEMENT
kumparanSAINS telah meminta tanggapan BMKG atas temuan ini. Namun, mereka belum memberikan tanggapan.