Jokowi Minta Kabupaten/Kota Jangan Buru-buru Tutup, Juru Wabah: Tidak Jelas

14 September 2020 16:36 WIB
Presiden Joko Widodo mengenakan masker di Acara Aksi Nasional Pencegahan Korupsi. Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo mengenakan masker di Acara Aksi Nasional Pencegahan Korupsi. Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Pesan Presiden Jokowi agar kabupaten dan kota jangan buru-buru menutup wilayah mereka menuai kritik dari para juru wabah. Menurut ahli epidemiologi, argumen yang disampaikan Jokowi 'tidak valid' dan 'tidak jelas'.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah rapat virtual dari Istana Merdeka, Senin (14/9), Presiden Jokowi meminta agar intervensi penanganan wabah virus corona di setiap provinsi, kabupaten, dan kota harus berbasis pada data. Ia pun meminta agar pemerintah kabupaten atau kota agar menerapkan strategi pembatasan berskala lokal.
"Strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan. Baik itu manajemen intervensi dalam skala lokal maupun dalam skala komunitas," kata Jokowi.
"Sehingga sekali lagi jangan buru-buru menutup sebuah wilayah, sebuah kota, sebuah kabupaten. Dan kalau kita bekerja berbasiskan data ya langkah-langkah intervensinya itu akan berjalan lebih efektif dan bisa segera menyelesaikan masalah-masalah di lapangan," sambungnya.
Jokowi mengingatkan agar sebuah provinsi, kabupaten, atau kota jangan terburu-buru dalam menutup wilayah mereka. Sebab, dalam sebuah wilayah, tak semua lokasi adalah zona merah, kata dia.
ADVERTISEMENT
"Sehingga, penanganannya tentu saja jangan digeneralisir," kata Jokowi. "Di sebuah kota atau di sebuah kabupaten juga sama, tidak semua kelurahan, tidak semua desa, tidak semua kecamatan juga mengalami hal yang sama merah semuanya. Ada yang hijau, ada yang kuning."
Meski demikian, argumen yang disampaikan Jokowi tersebut dianggap tidak valid oleh ahli epidemiologi dari Universitas Griffith, Dicky Budiman.
Menurut Dicky, data memang penting dalam mengambil kebijakan atau intervensi penanganan wabah di suatu wilayah. Namun, saat ini umumnya daerah di Indonesia tak memiliki kapasitas tes polymerase chain reaction (PCR) yang mencukupi sesuai batas minimum Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Batas minimum itu adalah menguji 1 orang per 1.000 penduduk per pekan.
"Testing itu adalah jendela kita melihat situasi yang terjadi sesungguhnya pandemi di suatu wilayah. Ini yang sayangnya masih sangat minim untuk kaitan dengan data ini," kata Dicky kepada kumparanSAINS, Senin (14/9).
ADVERTISEMENT
"Karena minim, tentu saja untuk membuat kebijakan satu daerah itu akan tidak valid argumentasinya. Atau kebijakan berbasis datanya itu akan tidak kuat," sambung dia.
Presiden Joko Widodo memimpin pengukuhan anggota Paskibraka di Istana Negara. Foto: Youtube Sekretariat Presiden RI
Berdasarkan laporan terakhir WHO, hanya ada tiga wilayah di Indonesia yang telah memenuhi standar jumlah tes PCR per pekan. Ketiga wilayah tersebut adalah DKI Jakarta, Sumatera Barat, dan Yogyakarta.
Sejak awal pandemi corona, Indonesia memang punya rapor merah terkait jumlah tes swab PCR. Hingga 14 September 2020, setelah lebih dari 6 bulan wabah COVID-19 hadir di Tanah Air, kita baru memeriksa 1.549.352 orang. Dengan catatan itu, Indonesia baru memeriksa 5.738 orang per satu juta penduduk.
Tak cuma soal tingkat tes yang minim, persebaran tes swab PCR juga tak merata. Dari total 1.549.352 orang yang dites tersebut, sebanyak 756.672 di antaranya (48,83 persen dari total nasional) hanya disumbang oleh DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Minimnya jumlah dan distribusi tes swab PCR ini membuat data yang ada kurang bisa diandalkan, menurut Dicky. Dia pun meminta agar setiap wilayah di Indonesia memperbaiki kapasitas tes swab PCR mereka.
"Hal pertama yang harus dilakukan saat ini adalah setiap daerah, setiap wilayah di Indonesia, itu menjadikan testingnya sebagai target utama perbaikan saat ini," kata Dicky. "Supaya mereka mendapat gambaran utuh situasi mendekati sesungguhnya di wilayahnya."
Warga mengikuti test swab COVID-19 menggunakan mobil tes polymerase chain reaction (PCR) atau Mobile Combat COVID-19 di RSUD Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (28/5). Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Tak cuma tidak valid menurut Dicky, pesan yang disampaikan Jokowi juga dianggap tidak jelas oleh epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono.
Pandu menyoroti soal pertimbangan zona warna risiko corona yang disampaikan Jokowi. Menurut Pandu, hal tersebut sudah lagi tak relevan dalam melihat persebaran wabah di Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
"Jokowi itu ngomong apa? Nggak jelas kok yang diomongin," kata Pandu kepada kumparanSAINS, Senin (14/9). "Jangan gunakan istilah zonasi. Zonasi itu nggak bisa dipercaya, masih aja dipakai juga."
Warna zonasi sendiri bertujuan untuk memetakan risiko corona di sebuah wilayah. Satgas Penanganan COVID-19 membagi warna ini dari hijau, kuning, oranye, dan merah untuk menunjukkan wilayah yang punya risiko paling rendah hingga tinggi.
Namun, seperti yang sudah diberitakan kumparanSAINS sejak Juli dan Agustus 2020, zonasi warna ini sudah tidak relevan lagi dalam melihat persebaran risiko di Indonesia, menurut Tim FKM UI.
Hal ini menyebabkan zonasi hijau tak menjamin risiko penularan corona yang lebih rendah ketimbang zona corona warna lain. Dalam artian ini, zonasi warna risiko corona bisa menghadirkan 'rasa aman palsu.'
ADVERTISEMENT
***
Saksikan video menarik di bawah ini.