Juru Wabah Kritik Data Jokowi: Swab Test PCR Massal Masih Rendah

4 Oktober 2020 17:10 WIB
Presiden Joko Widodo saat meninjau gladi Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (13/8). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo saat meninjau gladi Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (13/8). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Pesan Presiden Jokowi untuk masyarakat menilai penanganan virus corona di Indonesia berdasarkan fakta dan data dianggap tidak jelas oleh epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono. Dia pun menganggap bahwa pesan yang disampaikan Jokowi menunjukkan dirinya sebagai “Man of Contradictions.”
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah video yang diunggah Sekretariat Presiden pada Minggu (4/10), Jokowi berpesan bahwa masyarakat perlu menilai penanganan pandemi dari pemerintah berdasarkan fakta dan data. Dia sendiri mengklaim bahwa penanganan corona di Indonesia “cukup baik.”
“Mari kita nilai berdasarkan fakta dan data, dan bukan berdasarkan kira-kira. Saya bisa mengatakan penanganan COVID-19 di Indonesia tidak buruk, bahkan cukup baik,” kata Jokowi. "Dalam jumlah kasus dan jumlah kematian, Indonesia jauh lebih baik ketimbang negara-negara lain dengan jumlah penduduk yang besar. Sebaiknya, kalau membandingkan ya seperti itu. Kalau Indonesia dibandingkan dengan negara-negara kecil yang penduduknya sedikit, tentu perbandingan seperti itu tidak bisa menggambarkan keadaan yang sebenarnya."
Meski demikian, pesan Jokowi tersebut dianggap tidak jelas dan kontradiksi oleh Pandu Riono. Dia mempertanyakan data dari mana yang dipakai Jokowi untuk membandingkan Indonesia dengan negara lain, mengingat jumlah tes dan pelacakan kasus corona yang masih minim di Indonesia.
Pandu Riono. Foto: FKM UI
Berdasarkan laporan terakhir yang disampaikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 30 September 2020, misalnya, dalam tiga pekan terakhir hanya ada empat provinsi yang telah menjalankan standar untuk menguji swab PCR 1 orang per 1.000 penduduk per pekan. Dalam catatan mereka, Indonesia masih jauh di bawah standar tes kasus corona, dengan capaian hanya 0,5 orang dites per 1.000 penduduk per pekan dalam tiga minggu terakhir.
ADVERTISEMENT
Selain itu, menurut data yang disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Indonesia baru menguji swab PCR 2.074.943 orang selama 7 bulan masa pandemi corona di Indonesia per 3 Oktober 2020. Angka tersebut terbilang minim, di mana Indonesia berarti baru memeriksa 7,6 orang per 1.000 penduduk.
“Data apa yang dipunyai Pak Presiden? Kalau data yang dimiliki Satgas banyak bolongnya. Jadi kan, testing misalnya, testingnya masih lemah kan. Pelacakan juga masih lemah. Isolasi juga masih banyak yang bolong. Klaster-klaster meningkat tuh,” kata Pandu saat dihubungi kumparanSAINS, Minggu (4/10).
Pandu juga mempertanyakan perbandingan penanganan corona di Indonesia yang disampaikan Jokowi. Jika dilihat, video Jokowi memang menampilkan perbandingan Indonesia dengan negara-negara teratas yang paling terpukul oleh virus corona.
Presiden Jokowi memimpin terbatas secara online. Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden
Menurut Pandu, Jokowi justru seharusnya membandingkan penanganan corona di Indonesia dengan negara yang berhasil menangani corona, bukan dengan negara yang gagal.
ADVERTISEMENT
“Dia harusnya membandingkan dengan negara yang berhasil menekan meskipun negaranya tidak kecil. Jadi, seolah-olah karena Indonesia negaranya besar jadi susah diatasi, gitu kan. Tapi, kan pandeminya itu cuma sebagian besar di Pulau Jawa,” kata Pandu.
Senada dengan Pandu, epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, juga menilai bahwa kapasitas testing dan tracing jadi masalah fundamental penanganan corona di Indonesia.
Dicky sepakat bahwa fakta dan data diperlukan untuk menilai penanganan corona di Indonesia. Masalahnya, apakah data dan fakta yang kita punya sudah mendekati dengan kenyataan?
“Saya sangat setuju pandemi tidak bisa dikira-kira. Oleh karena itu, sangat penting sekali pemerintah pusat dan daerah menyajikan fakta melalui data yang valid dari cakupan testing yang memadai, dari sisi kuantitas dan kualitas. Ini yang jadi PR. Ini yang harus dilakukan,” kata Dicky saat dihubungi kumparanSAINS, Minggu (4/10).
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo meninjau lahan yang akan dijadikan Food Estate atau lumbung pangan baru di Pulang Pisau, Kalteng. Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO

Jokowi: kontradiksi saat pandemi

Frasa "Man of Contradictions" (Orang Kontradiksi) bukanlah frasa pertama yang dikeluarkan Pandu untuk menggambarkan bagaimana kepemimpinan Jokowi di Indonesia. Secara orisinal, frasa tersebut berasal dari buku yang ditulis Ben Bland, direktur Program Asia Tenggara di Lowy Institute, yang berjudul “Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia.
Seperti judulnya, buku yang dirilis pada 1 September 2020 tersebut berpendapat, bahwa Jokowi merupakan perwujudan kontradiksi mendasar dari Indonesia modern. Menurut Bland, selama memimpin Indonesia Jokowi terjebak antara demokrasi dan otoritarianisme, keterbukaan dan proteksionisme, serta Islam dan pluralisme.
Kontradiksi Jokowi pun muncul tatkala menghadapi pandemi corona. Ia selalu terjebak dengan kebijakan yang mengedepankan ekonomi dan kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pengamat kebijakan publik pun tidak begitu yakin pemerintah Indonesia bisa mengendalikan wabah corona dalam waktu dekat. Menurut Trubus Rahadiansyah, misalnya, ahli kebijakan publik dari Universitas Trisakti itu ragu kalau penanganan wabah akan datang dalam waktu dekat dengan sikap pemerintah saat ini.
"Saya tidak melihat itu akan terjadi dalam jangka pendek, jangka menengah, atau bahkan jangka panjang. Saya kira kebijakan pemerintah telah bergeser dari kesehatan ke ekonomi," kata Trubus dalam wawancara dengan The Sydney Morning Herald pada awal September 2020.
Presiden Joko Widodo memberikan orasi kebangsaan untuk menyambut 9.068 mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada (UGM) secara virtual. Foto: UGM
Pada awal September 2020, Jokowi menegaskan bahwa fokus pemerintah saat ini adalah kesehatan masyarakat. “Kunci dari ekonomi kita agar baik adalah kesehatan yang baik. Kesehatan yang baik akan menjadikan ekonomi kita baik. Artinya fokus kita tetap nomor satu adalah kesehatan," begitu kata Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna untuk Penanganan Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Tahun 2021, Senin (7/9).
ADVERTISEMENT
Ironisnya, selang beberapa hari setelah pernyataan itu, Jokowi bersikukuh bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tetap berlangsung pada Desember 2020, meski para epidemiolog dan masyarakat khawatir bahwa pesta demokrasi itu bakal berujung menciptakan klaster penularan COVID-19.
Lewat video YouTube yang diunggah Sekretariat Presiden pada Minggu (4/10), Jokowi kemudian menyebut bahwa strategi pemerintah sejak awal adalah “mencari titik keseimbangan” antara kesehatan dan ekonomi. Pernyataan ini hanya berselang kurang dari satu bulan, setelah dia bilang fokus pemerintah adalah kesehatan.
"Strategi pemerintah sejak awal mencari titik keseimbangan. Sekali lagi mencari titik keseimbangan. Saya menegaskan sekali lagi, kesehatan masyarakat, kesehatan publik, tetap nomor satu, tetap yang harus diutamakan. Ini prioritas," ujar Presiden Jokowi. "Ini bukan opsi yang bisa kita ambil. Kita harus mencari titik keseimbangan yang pas.”
ADVERTISEMENT
***
Saksikan video menarik di bawah ini: