Karena Bangkai Virus Corona, Orang Bisa Positif COVID-19 Lebih Lama

30 Desember 2020 20:30 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Partikel virus SARS-CoV-2. Foto: NIAID Integrated Research Facility (IRF) via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Partikel virus SARS-CoV-2. Foto: NIAID Integrated Research Facility (IRF) via REUTERS
ADVERTISEMENT
Pasien COVID-19 bisa memiliki virus corona dalam waktu yang lama, meski tak lagi mengalami gejalanya. Fenomena ini, menurut peneliti, disebabkan oleh keberadaan 'bangkai' virus corona yang masih ada di tubuh mereka.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dipublikasi di jurnal The Lancet pada 15 April 2020 menjelaskan bagaimana bangkai virus corona masih ada di tubuh meski tak lagi menyebabkan gejala.
Menurut peneliti, kekebalan tubuh manusia itu pada dasarnya dapat menetralkan virus dengan melapisi selubungnya atau mengumpulkan partikel virus. Proses ini mencegah infeksi lanjut dari corona, tetapi tidak serta-merta menghilangkan asam nukleat dari virus.
Asam nukleat sendiri merupakan makromolekul biokimia yang tersusun atas rantai nukleotida yang mengandung informasi genetik. Umumnya, ia dikenal dengan nama DNA atau RNA.
Sebuah mikrograf elektron transmisi yang tidak bertanggal dari partikel virus SARS-CoV-2 yang diambil dari pasien yang diisolasi di Amerika Serikat. Foto: NIAID Integrated Research Facility (IRF) via REUTERS
Nah, tes swab PCR, yang sampai hari ini jadi standar emas diagnostik virus SARS-CoV-2, sebenarnya adalah cara melacak material genetik tersebut dalam tubuh kita. Jika ternyata masih ada DNA virus corona yang terdeteksi dalam sampel dari hidung dan tenggorokan kita, maka hasilnya akan disebut positif COVID-19.
ADVERTISEMENT
Asam nukleat virus memang akan menghilang seiring waktu. Masalahnya, tes PCR tak bisa membedakan mana asam nukleat virus yang masih menular dan mana yang tidak. Dengan demikian, tes PCR memiliki kemungkinan untuk mendeteksi virus corona meski ia tak lagi menginfeksi inangnya.
“PCR tidak membedakan antara virus menular dan asam nukleat non-infeksius,” jelas para peneliti dalam laporan mereka yang berjudul 'SARS-CoV-2 Shedding and Infectivity'.

Contoh kasus Anies: Positif COVID-19 dalam 28 hari

Bagi para pembaca artikel ini, mungkin pernah mendengar kasus di mana orang mengalami COVID-19 dalam waktu yang lama. Contoh tersebut baru-baru ini dialami oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Semenjak mengumumkan kalau dirinya positif corona pada 1 Desember lalu, ia menjalani isolasi selama 28 hari. Durasi ini bisa dibilang lama, sebab umumnya onset virus hanya 14 hari.
Anies di Perayaan Natal Virtual oleh Pemprov DKI. Foto: Youtube/Pemprov DKI Jakarta
Lalu, apa yang menyebabkan isolasi begitu lama?
ADVERTISEMENT
Anies mengatakan, selama menjalani isolasi, semua pengobatan dan perawatan yang disarankan dokter dijalankan dengan baik. Kondisi tubuhnya juga sehat, tapi belum bisa keluar rumah karena hasil tes masih positif.
"Alhamdulilah, secara umum, sudah lewat masa pengobatan. Insyaallah sudah sehat. Tapi kemarin-kemarin belum bisa keluar karena hasil tes swab PCR belum negatif," kata Anies kepada kumparan, Selasa (29/12).
Anies bilang, hasil tes terus menerus positif karena virus yang sudah tidak aktif masih terdeteksi di alat tes PCR. Padahal setelah 14 hari onset, harusnya virus sudah tidak aktif atau tidak infeksius.
Untuk memastikan hal itu, Anies sampai menyerahkan sampel cairan pernapasannya untuk diperiksa di 3 lab berbeda.
"Nampaknya masih ada non-viable virus (bangkai/tidak aktif) yang terdeteksi oleh alat PCR; sesudah 14 hari setelah onset, virus sudah tidak lagi viable dan infectious. Sayangnya alat tes tidak bisa membedakan antara virus aktif dengan virus yang tidak aktif," jelas Anies.
ADVERTISEMENT
"Tes pekan lalu, diambil sampel secara bersamaan, lalu sampelnya dikirim ke 3 lab yang berbeda dan semua kembali dengan hasil sama: positif," tambah dia.

Limitasi tes swab PCR

Pada akhirnya, fenomena bangkai corona yang menyebabkan orang positif COVID-19 membuktikan kalau tes swab PCR punya limitasi atau batasan, menurut ahli. Limitasi tersebut adalah, bahkan di saat tes swab PCR sangat sensitif dalam mendeteksi virus, ia tak menjelaskan apakah keberadaan virus itu masih menular atau tidak.
“PCR adalah pengujian yang sangat sensitif, yang berarti ia mendeteksi bagian terkecil dari virus yang dicari dengan memperkuat (amplifikasi) sampel jutaan kali,” kata profesor evidence-based medicine dari Univeristy of Oxford, Carl Heneghan, dan direktur Centre for Evidence-Based Medicine Univeristy of Oxford, Tom Jefferson, dalam artikel mereka di majalah The Spectator.
ADVERTISEMENT
“Namun, fragmen bukanlah virus utuh, yang mampu bereplikasi dan menginfeksi manusia lain. Ini adalah bagian kecil dari struktur virus yang dicari primer PCR, bukan keseluruhan mikroorganisme. Hanya virus utuh yang dapat menginfeksi kita.”
Warga mengikuti test swab COVID-19 menggunakan mobil tes polymerase chain reaction (PCR) atau Mobile Combat COVID-19 di RSUD Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (28/5). Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Dalam sebuah studi yang tersedia di situs pra-publikasi MedRxiv, yang belum melalui tahap peer-review, para peneliti Centre for Evidence-Based Medicine Univeristy of Oxford mengingatkan kalau pembacaan positif palsu ini memiliki risiko di mana orang yang sudah tak lagi memiliki virus corona menular tetap diminta untuk isolasi mandiri.
Tak cuma itu, dalam artikel mereka di The Spectator, Heneghan dan Jefferson mengingatkan pembacaan yang salah ini punya konsekuensi di mana kita bisa mengisolasi "seluruh komunitas".
Peneliti berargumen, masalah ini terjadi karena tes PCR cuma menyediakan pilihan biner antara "ya" atau "tidak" sebagai hasil dari mencari materi virus corona di dalam tubuh. Tes tersebut dapat bilang kalau seseorang terinfeksi, padahal sebenarnya sistem kekebalan tubuh mereka telah berhasil menjinakkan virus.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, peneliti bilang bahwa meskipun secara logistik tidak mungkin untuk memeriksa setiap tes positif untuk melihat apakah virus masih aktif, kemungkinan ada cara lain untuk mengurangi potensi pembacaan yang salah.
Setiap tes swab PCR melewati sejumlah siklus di laboratorium untuk memperbanyak (amplifikasi) DNA virus. Semakin banyak siklus yang diperlukan untuk menemukan virus, semakin sedikit kemungkinan virus itu berada di dalam tubuh.
Ilustrasi swab test. Foto: Shutter Stock
Jika para ilmuwan dapat menyetujui ambang batas yang masuk akal di mana mereka yakin virus yang terdeteksi kemungkinan besar tidak aktif, itu berarti penguji dapat mengurangi hasil positif palsu, kata Heneghan.
Di sisi lain, solusi ini punya konsekuensi di mana kemungkinan ada sebagian orang yang diberi tahu bahwa mereka tidak memiliki virus corona, padahal sebenarnya mereka memilikinya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, Heneghan dan Jefferson berharap para pemangku kepentingan bisa meningkatkan kualitas diagnostik virus corona di masa depan.
"Kami memerlukan upaya internasional untuk membakukan pengujian, kalibrasi berkala terhadap kultur atau ukuran penularan lainnya yang diakui dan protokol serta prosedur laboratorium yang ketat, mungkin dengan otoritas perizinan pusat," kata mereka.
"Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menghubungkan ambang siklus, karakteristik pasien, dan kecerdasan tentang sirkulasi virus. Kedokteran dan kesehatan masyarakat adalah tentang manusia, bukan cetakan."