Kenapa Kaum Bebal Anti-Vaksin Selalu Cari-cari Alasan Tak Mau Divaksin?

5 Agustus 2021 7:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
26
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi vaksin corona AstraZeneca.
 Foto: Yves Herman/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vaksin corona AstraZeneca. Foto: Yves Herman/REUTERS
ADVERTISEMENT
Apakah kamu punya orang terdekat yang anti-vaksin? Pernahkah kamu bertanya apa yang mereka pikirkan hingga menolak vaksin corona? Pertanyaan tersebut baru-baru ini dijawab oleh para peneliti Polandia dalam sebuah riset yang terbit di jurnal Social Psychological Bulletin pada 30 Juli 2021.
ADVERTISEMENT
Dalam laporannya, para peneliti menemukan bahwa kelompok penyangkal vaksin sebagian besar didorong oleh generalisasi negatif terhadap vaksin. Generalisasi ini merupakan dampak persebaran argumen anti-vaksin seperti teori konspirasi Big Pharmacy, serta skeptisisme pada penyedia ilmu pengetahuan dan kesehatan yang sering ditemukan di media sosial.
Dalam risetnya, para peneliti menggunakan data dari 492 peserta. Para peserta kemudian dibagi menjadi dua kelompok, terdiri dari kelompok yang ragu terhadap kemanjuran vaksin dan kelompok yang menentang vaksinasi.
Para peneliti kemudian mendengarkan alasan masing-masing individu mengenai alasan mereka ragu atau sama sekali tidak percaya dengan manfaat vaksin. Hasilnya, para peneliti menemukan keanehan dalam argumen masing-masing kelompok.
Contohnya, meski para peserta sering melaporkan bahwa pendirian mereka didasarkan pada pengalaman negatif mereka sendiri atau kejadian yang menimpa orang lain, ketika ditanya tentang alasan mereka, para peserta tidak konsisten dalam menjelaskan argumennya.
ADVERTISEMENT
Banyak yang melaporkan bahwa mereka tidak mengingat sumber informasi, sementara yang lain mengaitkan autisme, alergi, atau anak-anak yang sakit karena vaksin, meskipun bukti korelasinya tidak ditemukan.
Contoh seperti itu, kata peneliti, dapat dijelaskan dengan kecenderungan orang untuk mengingat kabar negatif semata, bahkan jika itu hanya dibaca secara online. Dalam hal ini, kaum bebal penolak vaksin memiliki bias konfirmasi, di mana mereka hanya menerima bukti dari apa yang mereka anggap benar dan mengesampingkan penjelasan yang tidak sesuai dengan keyakinannya.
Petugas memperlihatkan vaksin COVID-19 Sinovac di Sentra Vaksinasi COVID-19 khusus anak di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, Sabtu (24/7/2021). Foto: kumparan
“Bias konfirmasi terdiri dari individu yang secara aktif mencari informasi yang konsisten dengan hipotesis yang sudah ada sebelumnya, dan menghindari informasi yang menunjukkan penjelasan alternatif,” kata para peneliti studi dari dari Jagiellonian University dan SWPS University of Social Sciences and Humanities.
ADVERTISEMENT
“Oleh karena itu, sikap negatif yang sudah ada sebelumnya terhadap vaksin dapat menyebabkan individu menafsirkan gejala negatif sebagai konsekuensi dari vaksin, yang semakin memperkuat sikap negatif.”
Secara keseluruhan, para peneliti menemukan bahwa penyangkal vaksin percaya bahwa vaksin menyebabkan efek samping negatif yang serius, tidak melindungi individu dan masyarakat dari penyakit menular, dan tidak cukup diuji sebelum diperkenalkan ke publik.
Lebih lanjut, peneliti menemukan bahwa kaum anti-vaksin yakin bahwa para pemimpin anti-vaksinasi memiliki informasi yang lebih baik tentang vaksin ketimbang dokter. Kaum anti-vaksin juga yakin bahwa pimpinan mereka bertindak demi kepentingan publik.
Menariknya, jika dibandingkan dengan kelompok yang masih ragu terhadap vaksin, kelompok anti-vaksin justru lebih cenderung percaya bahwa pengobatan modern mampu menangani pandemi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, sebagian besar peserta survei yang ragu pada vaksin sebenarnya masih yakin akan kemanjuran vaksin, asalkan vaksin itu diteliti dengan benar.
Namun, para peneliti mengatakan bahwa kelompok yang ragu pada kemanjuran vaksin, masih rentan ikut gerakan anti-vaksin yang menggembar-gemborkan teori konspirasi Big Pharmacy. Artinya, jika disajikan dengan argumen anti-vaksin yang disiapkan dengan baik, kelompok yang masih ragu pada vaksinasi ini akan cenderung menjadi penyangkal vaksin.
Pada akhirnya, para ilmuwan pesimis dapat mengubah sikap penentang vaksin. Namun, mereka merekomendasikan bahwa perlu adanya upaya yang difokuskan untuk meyakinkan kelompok yang meragukan vaksin, sehingga kekhawatiran mereka tentang efek negatif dapat berkurang.
Selain itu, para peneliti juga menganjurkan agar kita “menyajikan aspek prososial mengapa profesional medis merekomendasikan vaksin, dan memperkuat poin positif dari sikap mereka (yaitu, vaksin menjadi perlindungan yang efektif terhadap penyakit serius)” kepada orang yang ragu pada vaksin.
ADVERTISEMENT