Kenapa Manusia Tidak Punya Ekor?

8 Maret 2024 9:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Orang Rimba saat mempraktikkan tradisi Melangun. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Orang Rimba saat mempraktikkan tradisi Melangun. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Puluhan juta tahun yang lalu, menurut teori evolusi, nenek moyang manusia dan primata memiliki ekor. Banyak primata modern, seperti monyet dan lemur masih memiliki ekor sampai sekarang. Namun, nenek moyang manusia dan kera, seperti simpanse dan bonobo, berevolusi dengan membuang ekor mereka.
ADVERTISEMENT
Kenapa beberapa primata mempertahankan ekornya, sedangkan manusia dan kera tidak?
Hilangnya ekor dianggap sebagai bagian dari latar belakang evolusi manusia menjadi bipedal, namun tepatnya bagaimana kita kehilangan ekor masih menjadi pertanyaan yang telah lama ingin dijawab para ilmuwan.
Baru-baru ini peneliti menemukan petunjuk genetik tentang mengapa manusia tidak punya ekor. Mereka mengidentifikasi apa yang disebut “gen pelompat” terkait dengan pertumbuhan ekor yang mungkin telah melompat ke lokasi berbeda dalam genom spesies primata jutaan tahun lalu. Perubahan tersebut membuat beberapa primata kehilangan ekornya.
Faktanya, manusia tidak benar-benar kehilangan ekornya. Ekor muncul ketika kita berada dalam tahap embrio. Ekor adalah sifat yang bisa ditelusuri kembali ke vertebrata pertama di Bumi, jadi ketika embrio manusia berkembang, kita memiliki ekor–termasuk tulang belakang– pada tahap awal pertumbuhan, ini juga berlaku pada semua hewan bertulang belakang.
ADVERTISEMENT
Namun, setelah sekitar delapan minggu kita tumbuh di rahim ibu, sebagian besar ekor embrio manusia hilang sepenuhnya. Ekor hilang melalui proses yang dikenal sebagai apoptosis, jenis kematian sel yang terjadi dalam perkembangan kehidupan multiseluler, tulis peneliti dalam jurnal Nature pada 2008.
Ekor sepanjang 5,7 cm di bayi perempuan yang lahir di Nuevo Leon, Meksiko. Foto: Journal of Paediatric Surgery Case Reports
Setelah itu, sisa ekor yang hilang tersisa sekitar tiga atau empat ruas tulang belakang yang membentuk tulang ekor. Menurut penelitian yang terbit pada 2012 di Journal of Indian Association of Pediatric Sugeons, kasus bayi manusia dilahirkan dengan ekor pernah tercatat beberapa kali di seluruh dunia. Peneliti menyebut, tonjolan ekor tersebut adalah sisa embrio dan biasanya berupa ekor semu, bukan ekor sebenarnya.
Ekor semu yang tertutup kulit mengandung otot, saraf, pembuluh darah, dan jaringan ikat, tetapi tidak memiliki tulang serta tidak terhubung ke sumsum tulang belakang, seperti halnya ekor asli.
ADVERTISEMENT
Bo Xia, mantan mahasiswa pascasarjana di New York University yang kini menjadi peneliti utama di Broad Institute, melakukan penelitian tentang evolusi ekor manusia yang studinya diterbitkan di jurnal Nature pada Februari 2024.
Dalam studi mereka, nenek moyang manusia dan kera tak berekor paling awal diketahui berasal dari genus Proconsul, yang hidup di Afrika selama zaman Miosen (23 juta hingga 5,3 juta tahun lalu). Namun, hilangnya ekor diperkirakan terjadi lebih awal, sekitar 25 juta tahun lalu, ketika garis keturunan hominoid manusia dan kera berbeda dari monyet Dunia Lama.
Dari sini peneliti membangun data genetik dari enam spesies hominoid dan sembilan spesies monyet untuk mencari perbedaan yang mungkin berhubungan dengan ada atau tidaknya ekor.
ADVERTISEMENT
Salah satu kandidat yang muncul dalam potongan DNA yang disebut elemen Alu–sejenis DNA yang dapat melompat dari satu tempat ke tempat lain dalam genom spesies primata dan mempengaruhi produksi protein– tersimpan dalam gen TBXT, yang mengatur perkembangan ekor. Mutasi ini terdapat pada genom kera dan manusia, namun tidak pada genom monyet.
Vervet moyet dengan testis berwarna biru muda. Foto: Flickr
Para peneliti kemudian menggunakan teknologi penyuntingan gen CRISPR untuk mereplikasi mutasi gen TBXT pada tikus. Hasilnya, hewan hasil rekayasa genetika ini memiliki ekor yang panjangnya bervariasi, dari normal hingga tidak memiliki ekor sama sekali. Meski mutasi memengaruhi ekor mereka, namun ini tidak menjadi penentu hidup dan mati. Ini memberi tahu para ilmuwan bahwa gen lain pada primata berperan dalam hilangnya ekor kita.
ADVERTISEMENT

Ekor naik turun

Kera dan manusia purba mungkin mendapat manfaat dari hilangnya ekor mereka karena membantu bertransisi ke cara berjalan dengan dua kaki.
Bagi primata yang mempertahankan ekornya mendapat manfaat lain, karena anggota tubuh ini memiliki banyak fungsi, kata Michelle Bezanson, profesor antropologi di Fakultas Seni dan Sains Santa Clara University di California
“Ekor dapat diperpanjang saat melompat dan membantu mengarahkan tubuh di udara dan dalam persiapan untuk mendarat,” kata Bezanson sebagaimana dikutip Live Science.
Ekor primata juga memiliki fungsi sebagai alat. Capuchin berwajah putih (Cebus capucinus), misalnya, menggunakan ekor untuk menyedot air di lubang pohon, lalu meminum air tersebut dari bulunya, mirip seperti spons. Primata juga menggunakan ekornya sebagai bantal, melingkarkan ekor untuk mendapatkan kehangatan, atau menggunakannya sebagai bagian dari perilaku sosial.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, punya ekor atau tidak, keduanya punya manfaat masing-masing. Jadi jangan berpikir kamu ingin punya ekor, ya.