Kenapa Overthinking Bikin Kita Capek?

13 Agustus 2022 15:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Overthinking. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Overthinking. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Overthinking atau berpikir keras membuat lelah tak hanya mental (burnout) tapi juga fisik. Penelitian terbaru mengungkap ini ada hubungan dengan akumulasi senyawa kimia yang dilepas di otak ketika kita berpikir keras.
ADVERTISEMENT
Tim peneliti yang dipimpin Antonous Wiehler meneliti mengumpulkan partisipan yang dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengerjakan tugas sulit yang butuh kinerja otak, sementara kelompok yang lain diberi tugas mudah. Peneliti kemudian melihat kandungan kimiawi di otak dengan citra magnetic resonance spectroscopy (MRS) setelah 6 jam mengerjakan tugas.
Melalui penemuan yang dipublikasikan di jurnal Current Biology per 11 Agustus 2022 kemarin, ilmuwan menemukan kandungan senyawa asam amino glutamat yang tinggi pada kelompok yang mengerjakan tugas berat. Tak hanya itu, mereka juga menunjukkan tanda-tanda seperti kelelahan, pupil melebar, lemah kontrol diri, hingga mengeluh capek.
Citra MRS membeberkan bahwa kandungan asam amino glutamat yang tinggi di prefrontal korteks. Asam amino glutamat sendiri merupakan protein yang melimpah di otak, dan terlibat dengan banyak macam interaksi kimiawi yang terjadi di otak. Namun jika terlalu banyak, asam amino glutamat juga bisa meracuni saraf. Peneliti berasumsi ini ada hubungannya dengan rasa lelah setelah berpikir keras.
ADVERTISEMENT
Peneliti di sini berasumsi bahwa lelah adalah sinyal otak agar terhindar dari efek destruktif dari akumulasi asam amino glutamat. Dengan kata lain, alasan otak kita membuat kita lelah mungkin karena prefrontal korteks kita benar-benar kewalahan dengan produk sampingan beracun—yakni glutamat—hasil dari berpikir keras. Semakin banyak kita overthinking, semakin banyak glutamat yang perlu didaur ulang oleh otak kita – dan semakin besar efek yang harus ditanggung prefrontal korteks .
Para ilmuwan menangkap pemindaian dari otak seorang pria lansia yang tiba-tiba meninggal dunia. Foto: Shutterstock
"Teori-teori yang berpengaruh menunjukkan bahwa kelelahan adalah semacam ilusi yang dibuat oleh otak untuk membuat kita menghentikan apa pun yang kita lakukan dan beralih ke aktivitas yang lebih memuaskan," kata Mathias Pessiglione, seorang ahli saraf dan rekan penulis studi tersebut, dalam sebuah pernyataan kepada Eureka Alert.
ADVERTISEMENT
"Tetapi temuan kami menunjukkan bahwa kerja kognitif menghasilkan perubahan fungsional yang sebenarnya - akumulasi zat berbahaya. Jadi kelelahan memang akan menjadi sinyal yang membuat kita berhenti bekerja tetapi untuk tujuan yang berbeda: untuk menjaga integritas fungsi otak."
Penelitian ini mengungkap hubungan kelelahan kognitif—capek berpikir, dengan neurometabolisme. Peneliti mencatat diperlukan riset tambahan untuk meneliti hubungan kasual antara rasa Lelah dengan perubahan metabolik di otak.
Lalu apakah kita bisa melawan rasa kelelahan ini? Pessiglione mengatakan mungkin tidak, meskipun ilmuwan merekomendasikan kerja terjadwal untuk menghindari burnout, agar tercegah dari kesalahan mengambil keputusan. Di sini, korteks prefrontal membutuhkan jeda waktu untuk mengembalikan regulasi molekul yang tepat.
Melalui penelitian ini, peneliti mengatakan bahwa glutamat berperan sebagai proksi dari kelelahan. Tim belum mengetahui secara pasti mengapa korteks prefrontal sangat rentan terhadap penumpukan glutamat, atau apa hubungannya dengan kondisi kesehatan tertentu yang diketahui menyebabkan kelelahan, seperti depresi atau kanker – itu adalah pertanyaan untuk proyek penelitian di masa depan.
ADVERTISEMENT