Kerusakan Otak Ancam Pasien Corona COVID-19, Ini Risetnya

9 Juli 2020 16:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas medis membawa pasien virus corona dari ambulans menuju rumah sakit S Thomas di London, Inggris. Foto: REUTERS/Hannah McKay
zoom-in-whitePerbesar
Petugas medis membawa pasien virus corona dari ambulans menuju rumah sakit S Thomas di London, Inggris. Foto: REUTERS/Hannah McKay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pandemi virus corona bisa jadi menyimpan potensi epidemi baru di masa depan. Para ilmuwan dari University College London (UCL) menemukan bahwa COVID-19, penyakit yang ditimbulkan oleh virus corona SARS-CoV-2, dapat mengakibatkan kerusakan otak.
ADVERTISEMENT
Temuan ini telah dipublikasi dalam jurnal Brain pada 8 Juli 2020. Dalam riset mereka, para peneliti menemukan adanya komplikasi neurologis seperti delirium (linglung), radang otak, stroke, dan kerusakan saraf pada pasien virus corona. Gangguan tersebut bisa muncul bahkan ketika pasien tidak menunjukkan mengalami gangguan pernapasan, gejala yang umumnya dialami pasien COVID-19.
"Kita harus waspada dan melihat komplikasi ini pada orang yang pernah menderita COVID-19," kata penulis senior riset tersebut, Dr. Michael Zandi, dikutip Eurekalert. Ia juga memperingatkan bahwa masih butuh waktu untuk melihat apakah bakal ada epidemi pada skala besar kerusakan otak yang terkait dengan pandemi corona.
Dalam riset mereka, para peneliti memeriksa 43 pasien yang dirawat di Rumah Sakit Universitas College London dari bulan April hingga Mei 2020. Rentang usia pasien sendiri bervariasi dari 16 sampai 85 tahun. Dalam catatan peneliti, pasien-pasien ini memiliki variasi gejala corona dari yang ringan hingga parah.
Gambar scan otak dari pasien 12, 13 dan 15. Foto: Paterson et al./Oxford University Press
Dari 43 pasien tersebut, para peneliti menemukan 10 kasus "disfungsi otak sementara" dan delirium, 12 kasus peradangan otak, 8 kasus stroke, dan 8 kasus kerusakan saraf. Para peneliti juga menyebut bahwa 9 dari 12 pasien yang mengalami peradangan otak memiliki peradangan langka yang mematikan bernama acute demyelinating encephalomyelitis (ADEM).
ADVERTISEMENT
Menurut Institut Kesehatan Nasional AS (National Institute of Health/NIH), ADEM merupakan serangan peradangan yang singkat namun meluas dengan cepat di otak dan sumsum tulang belakang yang merusak mielin, penutup pelindung serabut saraf. Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, Zandi bilang kalau beberapa pasien ADEM akan mengalami kelumpuhan jangka panjang.
Sebelum pandemi corona, tim peneliti mencatat bahwa setidaknya ada satu pasien ADEM per bulan di Rumah Sakit Universitas College London. Jumlah pasien ADEM kemudian meningkat menjadi satu pasien per minggu selama peneliti menjalankan risetnya.
Berdasarkan laporan peneliti, gangguan neurologis yang dialami pasien corona mengakibatkan mereka jadi berhalusinasi hingga kelumpuhan. Seorang pasien perempuan berumur 55 tahun, misalnya, berhalusinasi melihat singa dan monyet di rumahnya. Beberapa pasien jug melaporkan mati rasa di anggota badan atau wajah mereka, penglihatan ganda, dan disorientasi. Satu pasien yang parah bahkan hampir tidak sadarkan diri dan hanya merespons ketika kesakitan.
ADVERTISEMENT
"Kami ingin dokter di seluruh dunia waspada terhadap komplikasi virus corona ini, ”kata Zandi, kepada The Guardian.
Seorang pasien yang menderita penyakit COVID-19 di New Delhi, India, (28/5). Foto: Danish Siddiqui/REUTERS
Zandi juga meminta agar para dokter dan petugas kesehatan yang menangani pasien dengan gejala kognitif, masalah ingatan, kelelahan, mati rasa, atau kelemahan, untuk segera membahas kasus ini dengan ahli saraf.
Zandi bukanlah satu-satunya ahli yang khawatir dengan kemungkinan epidemi terselubung di balik pandemi corona. Hal senada juga diungkap oleh Adrian Owen, ahli neurologi dari Western University di Kanada.
"Kekhawatiran saya adalah bahwa kita memiliki jutaan orang dengan COVID-19 sekarang. Dan jika dalam waktu satu tahun kita memiliki 10 juta orang yang pulih, dan orang-orang itu memiliki defisit kognitif maka itu akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk bekerja dan kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari, ” kata Owen, dalam sebuah wawancara dengan Reuters.
ADVERTISEMENT
Owen menambahkan, bukti komplikasi neurologis pada pasien corona dalam skala global diperlukan untuk memeriksa seberapa banyak pasien COVID-19 yang mengalami masalah tersebut. Saat ini, dia telah meluncurkan proyek covidbrainstudy.com di mana pasien corona bisa menjalani tes kognitif untuk melihat apakah otak mereka telah terganggu setelah terinfeksi virus.
Menurut laporan Business Insider, masalah kesehatan setelah pandemi pernah terjadi sebelumnya. Hal ini dapat ditemukan pada fenomena ensefalitis lethargica atau "penyakit mengantuk" yang muncul setelah pandemi flu Spanyol 1918.
Di antara 1917 dan 1930-an, lebih dari 1 juta orang didiagnosis menderita ensefalitis lethargica. Gangguan ini disebabkan oleh pembengkakan di otak dan menyebabkan kantuk yang berlebihan serta degenerasi saraf parah yang membuat beberapa pasien cacat.
ADVERTISEMENT