Lama Tinggal di Luar Angkasa Bisa Ubah Otak Manusia, Begini Penjelasannya

8 September 2020 15:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi otak manusia. Foto: pixabay/TheDigitalArtist
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi otak manusia. Foto: pixabay/TheDigitalArtist
ADVERTISEMENT
Berada di luar angkasa untuk waktu yang cukup lama akan membuat tubuh kita kaku. Ketiadaan gravitasi menyebabkan perubahan pada anatomi tubuh yang memaksa kita harus beradaptasi dengan lingkungan yang 360 derajat berbeda dengan Bumi. Tulang kehilangan kalsium, ukuran dan bentuk jantung berubah, dan klaim terjadi degenerasi saraf permanen.
ADVERTISEMENT
Diterbitkan dalam jurnal Science Advances, tim peneliti internasional meneliti otak 11 kosmonot dari Badan Antariksa Rusia Roscosmos, yang menghabiskan rata-rata enam bulan di Stasiun Luar Angkasa Internasional.
Hasilnya, peneliti tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa tinggal di lingkungan gravitasi rendah selama berbulan-bulan menyebabkan kerusakan sistem saraf permanen. Penemuan ini juga memberikan informasi penting ihwal bagaimana otak mengatur ulang dirinya sendiri dalam kondisi minim gravitasi.
Dalam penelitiannya, otak kosmonot dipindai menggunakan teknik pencitraan MRI sebelum berangkat ke luar angkasa. Peneliti kemudian memindainya kembali sembilan setelah kosmonot datang ke Bumi. Delapan di antaranya dipindai untuk ketiga kalinya dalam tujuh bulan setelah kembali dari misi luar angkasa.
Ilustrasi astronaut. Foto: Shutter Stock
Hasilnya, perubahan menarik terjadi pada otak, termasuk peningkatan jumlah jaringan materi abu-abu di bagian atas otak dan penurunan materi abu-abu di wilayah yang memisahkan lobus frontal dan parietal dari lobus temporal. Perubahan ini disebabkan oleh pergeseran cairan serebrospinal.
ADVERTISEMENT
Ini terjadi karena lingkungan tanpa gravitasi yang mengakibatkan cairan tubuh terkumpul di kepala. Pergeseran cairan serebrospinal yang diamati mendukung bukti sebelumnya bahwa otak bergerak lebih dekat ke bagian atas tengkorak di lingkungan tanpa gravitasi, di mana serebrospinal juga bergeser.
Ketika delapan kosmonot diperiksa ulang setelah tujuh bulan pulang dari misi luar angkasa, terjadi perubahan lagi, di mana pemulihan lebih terasa di bagian atas otak daripada bagian bawah. Tim juga melaporkan perubahan pada penglihatan kosmonot, yang menunjukkan penurunan ketajaman setelah berada di luar angkasa, gejala yang disebabkan oleh kondisi sindrom neuro-okuler terkait penerbangan luar angkasa.
Data ini menunjukkan terkait dengan ekspansi yang lebih besar di ventrikel otak, dan ini bertentangan dengan temuan studi sebelumnya sehingga para peneliti menyarankan lebih untuk dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Kendati begitu, penelitian ini telah memberikan penjelasan kepada kita tentang efek hidup di luar angkasa terhadap tubuh manusia.
ADVERTISEMENT