Aktivitas warga usai banjir melanda kampung Pulo

LIPI: Butuh Pendekatan Multi Dimensi untuk Tangani Banjir Jabodetabek

7 Januari 2020 16:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perumahan Pondok Timur, Bekasi Selatan terendam banjir, Rabu (1/1/2020). Foto: Feby Sabina/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Perumahan Pondok Timur, Bekasi Selatan terendam banjir, Rabu (1/1/2020). Foto: Feby Sabina/kumparan
ADVERTISEMENT
Menurut catatan sejarah, bencana banjir yang menerjang Jakarta dan sekitarnya telah terjadi sejak zaman pemerintahan Belanda, pada tahun 1918. Bermacam cara telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah banjir ini. Namun, pada kenyataannya banjir tetap terjadi ketika musim hujan tiba, terlebih saat curah hujan tinggi melanda wilayah Jabodetabek.
ADVERTISEMENT
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), posisi geografis dan topografi diiringi dengan pembangunan infrastruktur yang cukup masif menjadikan Jabodetabek rentan terhadap banjir. Ditambah perubahan iklim yang kini terjadi sehingga menyebabkan frekuensi curah hujan meningkat, sekaligus memperburuk risiko bencana banjir dan longsor dengan dampak yang lebih luas.
Dipaparkan oleh Galuh Syahbana Indrapahasta, peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI, bencana banjir ini tidak dapat hanya dilihat sebagai bencana alam. Menurutnya, perlu ada pendekatan multi dimensi yang mencakup aspek hidrologi dan ekologi manusia.
Galuh Syahbana Indrapahasta, Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI. Foto: Foto: Habib Allbi Ferdian
Penurunan kualitas ekologi Jabodetabek secara umum dapat dilihat dari beralihnya lahan-lahan hijau menjadi bangunan. Urbanisasi yang cepat dan tidak terkendali karena godaan ekonomi di Ibu Kota membuat lahan-lahan hijau ini semakin sedikit.
ADVERTISEMENT
“Ruang terbuka hijau di Jakarta sangat sedikit, bahkan saya katakan kurang dari 15 persen, mungkin hanya 9 persen saja,” ujar Galuh, dalam jumpa pers di Gedung Widya Graha LIPI, Jakarta Selatan, Selasa (7/1).
Selain itu, beban bangunan terhadap tanah dan ekstraksi air tanah yang berlebihan telah menyebabkan penurunan permukaan tanah Jakarta. Ditambah deforestasi hutan yang terjadi di hulu menyebabkan kiriman air ke hilir semakin meningkat. Tercatat, dari tahun 2000 hingga 2016, setidaknya 5.000 hektare hutan di daerah Puncak, Bogor, lenyap.
“Sedangkan aspek sosial dapat meliputi peningkatan resiliensi masyarakat serta upaya perubahan perilaku masyarakat sehingga menghasilkan perilaku yang lebih ramah lingkungan,” ujarnya.
Menyinggung aspek sosial, Gusti Ayu Surtiari, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, menyebut bahwa adaptasi transformatif perlu dilakukan untuk menghadapi banjir. Adaptasi yang dimaksud adalah mengatasi dampak yang dapat dilakukan dengan mengurangi kerentanan dan paparan terhadap dampak buruk dan bahkan mencari manfaat dari tindakan tersebut.
Gusti Ayu Surtiari, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Foto: Foto: Habib Allbi Ferdian
Dalam hal ini, semua stakeholder diminta harus mulai menyadari bahwa banjir bukan lagi sebagai kejadian rutin melainkan sebagai risiko bencana. Masyarakat dan pemerintah juga harus mulai menyadari bahwa penyebab banjir di Jakarta bukan hanya akibat dari urbanisasi, kondisi topografi dan geografi, serta penurunan muka tanah, melainkan ada faktor perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Adaptasi transformatif ini harus dilakukan di semua level masyarakat, mulai dari individu, regional, hingga nasional. Ini bisa dilakukan dengan mempertimbangkan mekanisme kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat. Seperti misalnya memberikan informasi dan berdialog untuk program pengendalian banjir yang dilakukan pemerintah.
Lalu, pemerintah harus memastikan program tersebut tidak menghambat adaptasi yang dilakukan di tingkat komunitas dan individu. Namun sebaliknya, mereka harus memastikan adanya peluang memberikan keuntungan bagi penduduk yang terpapar bahaya banjir.
“Contohnya dalam pembuatan tanggul, apa iya harus membangun tanggul tanpa mempertimbangkan masyarakat sekitar? Karena kalau tanggul sampai jebol, maka dampaknya akan seperti tsunami, lebih parah dari curah hujan atau limpahan air dari sungai, makanya betul-betul harus dipertimbangkan adaptasi yang bersifat tidak ada resisten atau keretakan, tapi sudah melewati pembangunan ketahanan dan bersifat transformatif,” papar Ayu.
ADVERTISEMENT
Dia menambahkan, masing-masing level memiliki rasionalitas untuk mengambil keputusan atas tindakan yang akan dilakukan. Seluruh level tersebut harus sinergis dan tidak saling menghambat satu dengan yang lain. Misalnya, adaptasi di tingkat pemerintah tidak menghambat adaptasi oleh individu atau rumah tangga.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten