LIPI: Masyarakat Nilai PSBB Belum Berhasil, Informasi dan Aturan Tak Konsisten

19 Juni 2020 7:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wisatawan melakukan pengukuran suhu tubuh saat berlangsungnya simulasi normal baru di TMII, Jakarta, Kamis (4/6). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Wisatawan melakukan pengukuran suhu tubuh saat berlangsungnya simulasi normal baru di TMII, Jakarta, Kamis (4/6). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
Sejumlah provinsi di Indonesia sudah mulai memasuki masa transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di awal Juni 2020. Namun, partisipasi dan pengetahuan masyarakat dalam pelaksanaan PSBB selama pandemi virus corona ternyata masih rendah, menurut survei yang dibuat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
ADVERTISEMENT
Survei dari LIPI diselenggarakan di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten pada 3-12 Mei 2020. Sebanyak 919 orang menjadi responden dalam survei ini.
Berdasarkan survei LIPI, sebagian besar responden merasa pelaksanaan PSBB masih kurang berhasil. Hal ini ditandai dengan 69 persen responden berpendapat bahwa pelaksanaan PSBB belum sepenuhnya berhasil, dengan catatan 13 persen responden bahkan berpendapat pelaksanaan PSBB tidak berhasil.
Kurang berhasilnya pelaksanaan PSBB menurut 78,1 persen responden disebabkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat. Berdasarkan survei tersebut, hanya 41,8 persen responden di Jakarta, 39,8 persen responden di Banten, dan 38,7 persen di Jawa Barat yang mengaku berusaha mematuhi aturan PSBB.
Warga mengunjungi Pasar Musi di Depok, Jawa Barat, Senin (18/5/2020). Foto: Antara/Asprilla Dwi Adha
Survei LIPI mencatat, sebanyak 10,6% responden harus keluar rumah untuk bekerja. Hal tersebut menjadi fakta pendukung rendahnya partisipasi masyarakat selama PSBB berlangsung, yang sebenarnya disebabkan oleh keterpaksaan.
ADVERTISEMENT
"Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat bukannya tidak patuh atau tidak peduli akan PSBB, tapi mereka terpaksa keluar rumah,” kata tim peneliti LIPI, dalam tulisan mereka di The Conversation.
Hasil survei LIPI juga menunjukkan bahwa sebanyak 55,4 persen responden hanya memahami PSBB sebagai aturan pembatasan mobilitas penduduk. Di sisi lain, hanya 20,6 persen responden yang mengetahui adanya pembatasan kegiatan di berbagai sektor selama PSBB.
Pengetahuan masyarakat tentang aturan PSBB sendiri masih rendah. Menurut 36 persen responden, tak ada sosialisasi langsung ke masyarakat soal aturan PSBB, membuat mereka jadi tidak tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama pembatasan sosial itu berlangsung.
"Pemerintah seharusnya menyadari masalah ini dan menjadikannya sebagai bagian penting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan,” kata tim peneliti.
ADVERTISEMENT
Sosialisasi PSBB selama corona memang menjadi perhatian para pakar epidemiologi di Indonesia. Menurut para ahli, ketidakpatuhan dan kurangnya partisipasi masyarakat selama PSBB disebabkan oleh edukasi yang kurang selama pembatasan sosial berlangsung.
Menurut Presiden Ahlina Institute dan ahli epidemiologi, Tifauzia Tyassuma, promosi new normal dan hoaks yang tidak terbendung juga memperburuk minimnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat selama PSBB. Hal tersebut, kata dia, hanya akan membuat masyarakat tidak patuh dengan aturan PSBB itu sendiri.
"Kita tahu, masih ada masyarakat yang iliterasi. Bukan soal buta huruf, tapi soal bagaimana mereka punya pemahaman tentang informasi yang mereka dapatkan, terutama dari sosial media, itu sangat illiterate. Mereka berpikir 'A to A',” kata Tifauzia.
Sejumlah penumpang KRL Commuter Line antre menunggu kedatangan kereta di Stasiun Bogor, Jawa Barat, Senin (13/4). Foto: Antara/Arif Firmansyah
“Artinya, ini kasus corona, mereka juga belum tahu kasusnya itu seperti apa, sementara di sisi lain banyak sekali hoaks, banyak sekali rumor yang menyangsikan apa benar corona itu berbahaya?” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Sama seperti Tifauzia, para peneliti LIPI juga menyarankan agar pemerintah fokus meningkatkan pemahaman masyarakat. Pemerintah perlu menyediakan informasi di setiap level masyarakat, kata tim peneliti, karena setiap kalangan punya kemampuan pemahaman yang berbeda.
Para peneliti LIPI juga menyarankan agar pemerintah konsisten dalam menyampaikan informasi. Sebab, inkonsistensi tersebutlah yang justru dapat menimbulkan keengganan masyarakat dalam mematuhi aturan.
”Salah satu contoh, informasi penting yang baru-baru ini diumumkan adalah informasi tentang istilah pelonggaran. Sebagian menyebutkan sebagai masa transisi dan sebagian menyebutkan dengan istilah pelonggaran,” kata tim peneliti.
Pelanggar aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) melaksanakan sanksi kerja sosial dengan menyapu sampah di Pasar Jatinegara, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Inkonsistensi aturan di pusat dan daerah itu justru membuat celah pelanggaran terjadi. Sebanyak 52 persen responden menilai, PSBB tidak berhasil karena penegakan hukum masih kurang.
ADVERTISEMENT
Yang terakhir, menurut catatan peneliti, pemerintah perlu bekerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat selama PSBB. Dalam hal ini, pemerintah perlu menggandeng tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga selebriti dalam mengimbau protokol kesehatan.
“Hal ini sangat penting mengingat masyarakat adalah pelaku utama (subjek) dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan new normal,” kata tim peneliti.