Matahari Lockdown Bisa Bawa Bencana ke Bumi? Ini Penjelasan LAPAN

20 Mei 2020 2:51 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi permukaan Matahari. Foto: LoganArt via Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi permukaan Matahari. Foto: LoganArt via Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan, fenomena resesi Matahari atau dikenal dengan sebutan Matahari lockdown ramai diperbincangkan di berbagai media sosial. Bukan tanpa alasan, fenomena ini disebut-sebut bisa menimbulkan sejumlah bencana, seperti musim dingin ekstrem, gempa bumi, dan bahaya kesehatan bagi para astronaut yang tengah menjalani misi di luar angkasa.
ADVERTISEMENT
Matahari lockdown sendiri diartikan sebagai aktivitas permukaan Matahari yang saat ini berada pada periode minimumnya atau disebut solar minimum. Saat itu terjadi, sunspot atau bintik Matahari menghilang sehingga berdampak pada penurunan sinar yang amat drastis. Matahari disebut telah kehilangan 76 persen sunspot pada 2020.
Hal ini sontak memicu kekhawatiran para ilmuwan akan terjadinya penurunan suhu drastis di Bumi. Salah satu yang mengkhawatirkannya adalah seorang astronom bernama Dr. Tony Philips.
Ilmuwan NASA juga telah menyatakan keprihatinannya bahwa terjadinya solar minimum dapat mengarah pada peristiwa seperti Dalton Minimum yang terjadi pada 1790 hingga 1830. Di mana pada saat itu terjadi kehancuran besar di Bumi akibat sungai-sungai di Eropa membeku dan tanaman utama rusak. Kondisi itu disusul dengan gempa bumi.
Ilustrasi badai matahari Foto: NASA/flickr
Menanggapi hal ini, Thomas Djamaluddin, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), mengatakan fenomena Matahari lockdown memang terjadi secara periodik setiap 11 tahun sekali. Namun, ia menegaskan bahwa fenomena ini tidak bisa dikaitkan dengan bencana.
ADVERTISEMENT
“Kejadian sebenarnya fase minimum Matahari, yang merupakan kondisi periodik sekitar 11 tahunan, tidak ada dampak yang signifikan. Bahkan dipastikan hampir tidak ada dampaknya,” ujar Thomas, saat dihubungi kumparanSAINS, Selasa (19/5).
Kalaupun ada dampaknya, maka itu hanya berpengaruh pada variabilitas iklim, bukan pada potensi terjadinya bencana seperti gempa bumi.
“Variabilitas iklim bisa saja kondisinya sangat ekstrem, tapi ini juga ada faktor lain, seperti pemanasan global. Jadi, tidak bisa hanya dikaitkan dengan aktivitas Matahari,” katanya.
Menurut Thomas, respons suhu udara permukaan global terhadap variabilitas aktivitas Matahari 11 tahunan telah diteliti dengan memanfaatkan data suhu udara permukaan jangka panjang (1894 - 1993).
Dampak dari siklus 11 tahunan ini pernah terjadi pada tahun 2009 hingga 2010. Pada saat itu, musim dingin yang ekstrem terjadi di Bumi belahan utara, termasuk Eropa, Rusia, dan Amerika Utara. Hal itu terjadi diduga kuat terkait dengan aktivitas Matahari minimum yang sangat rendah.
Kondisi Sungai Yenisei yang tertutup es selama musim dingin di Krasnoyarsk, Rusia. Foto: REUTERS/Ilya Naymushin
Selain karena disebabkan oleh kondisi anomali aktivitas Matahari, kondisi iklim yang ekstrem yang terjadi di belahan Bumi utara juga karena disebabkan oleh pemanasan global. Selain itu, lingkungan antariksa juga terdampak dengan lambatnya pembersihan dari sampah antariksa di orbit rendah karena terjadi penurunan kerapatan atmosfer.
ADVERTISEMENT
Jadi, kata Thomas, tidak bisa fenomena Matahari lockdown dikaitkan dengan bencana alam. Fenomena Matahari lockdown hanya akan berpengaruh pada variabilitas iklim. Adapun cuaca ekstrem di beberapa daerah bisa saja terjadi karena ditengarai oleh faktor lain, seperti pemanasan global.
Senada dengan Thomas, Mather Owens, seorang profesor fisika luar angkasa di Reading University mengungkapkan, sejarah tidak akan terulang kembali. "Meskipun solar minimum yang terjadi 'cukup parah,' janganlah kita khawatir akan kembali memasuki zaman es mini," katanya.
Owens meyakinkan bahwa Matahari lockdown terjadi setiap 11 tahun, jadi ini adalah kejadian yang cukup teratur. Dia mencatat dampak Matahari lockdown terparah terakhir kali terjadi pada 2009-2010, dan seharusnya menjadi yang terdalam selama 100 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
****
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.