Media Asing Soroti New Normal di Indonesia: Bakal Jadi Bencana

11 Juni 2020 12:23 WIB
Petugas menyemprotkan disinfektan di Senayan City, Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menyemprotkan disinfektan di Senayan City, Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
ADVERTISEMENT
Sudah sejak lama para menteri Presiden Joko Widodo mengidam-ngidamkan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dengan dalih membangkitkan perekonomian, sederet rencana telah disiapkan untuk membuka kembali aktivitas sosial ekonomi di tengah lonjakan kasus virus corona.
ADVERTISEMENT
Padahal, para ahli telah memperingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam mengambil keputusan. Karena jika sampai mengambil kebijakan prematur, tidak menutup kemungkinan Indonesia bakal mengalami dampak wabah yang lebih besar dan krisis ekonomi berkepanjangan.
Hal itu juga disampaikan oleh dr Corona Rintawan, seorang ahli kedaruratan medis yang sempat menjabat sebagai staf ahli Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), saat mengemukakan pandangannya dengan Asia Times.
Menurutnya, pandemi COVID-19 telah membawa dampak yang sangat buruk untuk Indonesia. Ia menggarisbawahi bagaimana kebijakan ‘new normal’ yang digagas Jokowi saat ini bisa mengundang lebih banyak infeksi dan ketidakpastian ketimbang mengeluarkan Indonesia dari jerat krisis ekonomi dan kesehatan.
“Kami memiliki kekurangan dalam pengujian dan pelacakan. Kapasitas kami untuk melakukan pengujian PCR jauh dari target 20.000 tes per hari. Tapi sekarang semua dilonggarkan, ekonomi sedang digenjot, sekolah dibuka, tempat ibadah massal diizinkan, semuanya atas nama narasi new normal,” ujar Rintawan.
dr Corona Rintawan. Foto: Facebook/@Corona Rintawan
“Tampaknya kementerian berusaha menunjukkan dukungan mereka kepada presiden dengan berlomba menerapkan konsep new normal ini dalam waktu sesingkat mungkin, terlepas dari apakah masyarakat siap atau apakah tindakan itu perlu dilakukan.”
ADVERTISEMENT
Ia melanjutkan, jika pemerintah nekat mengambil keputusan untuk kembali membuka kegiatan ekonomi, agama, dan sosial tanpa didukung langkah-langkah untuk memperkuat sistem perawatan kesehatan, kebijakan ini hanya akan menimbulkan ledakan infeksi. Tanpa peraturan dan sanksi yang jelas, kebijakan new normal hanya akan menjadi masalah besar.
Perekonomian kembali dibuka, sementara saran ahli agar tidak meremehkan pandemi dan mencegah gelombang kedua diabaikan. Padahal, pemerintah telah mengumumkan lonjakan kasus COVID-19 hingga 1.000 kasus per hari pada 6 Juni lalu.
“Ada lonjakan besar yang diumumkan baru-baru ini. Itu ditelusuri kembali ke dua minggu lalu, yang mungkin bertepatan dengan perayaan Idul Fitri. Orang-orang masih berdoa bersama, meskipun Muhammadiyah tegas dalam nasihatnya agar orang-orang tinggal di rumah,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
“Kumpulan infeksi baru ini akan menyebabkan lonjakan infeksi lebih lanjut di kemudian hari. Ketika Anda mengatakan 'new normal' orang akan menganggap bahwa sekarang semuanya bisa kembali normal."
Presiden Jokowi memberikan pengarahan kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Foto: Agus Suparto

Tes massal lambat dan laporan angka kematian kasus COVID-19 dipertanyakan

Indonesia memang belum mengalami krisis kesehatan masyarakat seperti Brasil, Inggris, Amerika Serikat, dan Italia, yang juga terdampak virus corona. Menurut data laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 per Sabtu (6/6) lalu, ada 1.801 orang meninggal karena virus corona, atau sekitar 0,0007 persen dari 275 juta penduduk Indonesia. Adapun jumlah resmi kasus corona yang terkonfirmasi sekarang telah mencapai lebih dari 34 ribu pasien.
Selain itu, ada kecurigaan bahwa pemerintah sengaja tidak melakukan tes massal dan mengurangi laporan angka kematian. Salah satu organisasi independen, Lapor COVID-19, memperkirakan bahwa jumlah kematian akibat corona yang sebenarnya bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat dari angka yang diumumkan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Menurut Rintawan, hal ini dilakukan karena pemerintah enggan mengendurkan kebijakan new normal dan takut disalahkan atas kegagalan menangani wabah.
“Ambil contoh, ketika seorang pasien yang diklasifikasikan sebagai 'di bawah pengawasan' atau PDP meninggal dan beberapa hari kemudian diketahui bahwa mereka positif COVID-19. Pemerintah daerah, saya tidak akan mengatakan mana, pada saat itu melaporkan bahwa almarhum negatif untuk COVID-19 saat hasil tes belum keluar,” kata Rintawan.
“Ini karena mereka tidak ingin mendapat masalah jika jumlah kematian kemudian meningkat. Pemimpin daerah mana yang ingin disalahkan saat 'new normal' sedang dilaksanakan?”
Wisatawan melakukan pengukuran suhu tubuh saat berlangsungnya simulasi normal baru di TMII, Jakarta, Kamis (4/6). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Tidak siap tes COVID-19 dengan cepat berpotensi picu gelombang kedua

Pada akhir Mei 2020, Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 telah melaporkan sekitar 300.545 tes spesimen yang dilakukan pada 205.165 orang. Artinya, tingkat pengujian COVID-19 di Indonesia mencapai 1.100 per 1 juta orang. Jumlah ini setara dengan Afghanistan, salah satu negara dengan tingkat pengujian virus corona terendah di dunia.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengumumkan menambah anggaran penanganan dampak COVID-19 yang jumlahnya mencapai Rp 677,2 triliun, dengan sekitar Rp 87,55 triliun di antaranya diperuntukkan layanan kesehatan. Di sisi lain, pengujian cepat dan PCR belum juga digratiskan atau tidak digelar secara besar-besaran untuk mengukur dan menganalisis jumlah infeksi di Indonesia secara akurat.
Asia Times juga menyebut bahwa Indonesia tidak siap untuk melakukan identifikasi kasus corona dengan cepat. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan Indonesia bakal menghadapi pandemi gelombang kedua.
Lebih lanjut, sekitar Rp 5,6 triliun dana stimulus disiapkan pemerintah Indonesia untuk komponen perawatan kesehatan, berupa tunjangan dan intensif untuk staf medis yang bekerja menangani COVID-19. Yang mengejutkan, reaksi para petugas kesehatan tampak biasa saja mendengar pengumuman ini. Kemungkinan telah terjadi kekecewaan di kalangan petugas kesehatan akan tunjangan khusus yang tidak pernah terwujud.
PSBB masa transisi di Jakarta. Foto: Dok. DKI
Adapun bagian terbesar dari anggaran COVID-19 adalah untuk menunjang kesejahteraan masyarakat berupa bantuan tunai, bantuan makanan, dan subsidi listrik. Di seluruh wilayah, dari tingkat menteri, gubernur, hingga wali kota kerap memamerkan seremonial dengan foto saat menerima bantuan sebagai bentuk dari publikasi.
ADVERTISEMENT
Namun nyatanya, pemberian bantuan justru mengalami salah sasaran. Akibatnya, dana bantuan COVID-19 di seluruh Indonesia ada dalam pengawasan yang ketat.
Pejabat Badan Pemeriksa Keuangan Indonesia baru-baru ini mengkritik Kementerian Sosial karena menggunakan data kemiskinan yang sudah ketinggalan zaman dari tahun 2014. Ketidakmampuan atau keengganan pemerintah daerah untuk memperbarui dan memelihara database penerima kesejahteraan, juga telah menghambat pengiriman bantuan.
Meskipun ada tanda-tanda ketidakmampuan dan kebingungan, Jokowi belum mengganti satupun anggota kabinetnya. Alih-alih memperbaiki keadaan, setiap kebijakan pemerintah saat ini justru rentan menimbulkan masalah baru dan membawa Indonesia ke krisis yang lebih buruk.