Penyuntikan Vaksin corona di Jerman

Memahami Cara Kerja Vaksin COVID-19 mRNA Pfizer dan Moderna

13 Januari 2021 12:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dua vaksin COVID-19 menggunakan teknologi mRNA--Pfizer dan Moderna--telah resmi mendapat izin edar di sejumlah negara terdampak virus corona. Di antaranya adalah Amerika Serikat dan Inggris yang mulai melakukan vaksinasi massal menggunakan vaksin Pfizer dan Moderna.
Kedua vaksin ini memiliki basis yang sama, yakni menggunakan messenger RNA atau mRNA, vaksin jenis baru untuk melindungi diri dari penyakit menular.
Vaksin mRNA tidak seperti vaksin lain yang memasukkan virus dilemahkan atau tidak aktif ke dalam tubuh manusia, sebaliknya vaksin ini membuat sel tubuh memproduksi protein yang memicu respons imun. Respons imun tersebut akan menghasilkan antibodi yang bisa melindungi kita dari infeksi virus ketika mereka masuk ke dalam tubuh.

Melihat lebih dekat cara kerja vaksin mRNA

Pada dasarnya baik Pfizer dan Moderna memiliki cara kerja yang sama. Dijelaskan Center for Disease Control and Prevention (CDC) vaksin mRNA COVID-19 bekerja dengan cara memberikan instruksi kepada sel untuk membuat bagian yang tidak berbahaya dari protein lonjakan. Protein lonjakan ditemukan di permukaan virus corona penyebab penyakit COVID-19.
Vaksin mRNA COVID-19 disuntikkan di otot lengan bagian atas. Setelah instruksi berada di dalam sel otot, akan digunakan untuk membuat potongan protein. Setelah potongan protein terbentuk, sel akan memecah instruksi dan membuangnya, kemudian menampilkan protein di permukaan.
Warga menerima vaksin Pfizer / BioNTech COVID-19 di panti jompo Agaplesion Bethanien Sophienhaus di Berlin, Jerman, Minggu (27/12). Foto: Kay Nietfeld/Pool via Reuters
Sistem kekebalan tubuh kita akan mengenali bahwa protein baru yang masuk dalam tubuh dan membangun respons kekebalan serta membuat antibodi, seperti infeksi alami yang disebabkan virus corona SARS-CoV-2.
Di akhir proses, tubuh bakal belajar bagaimana melindungi diri dari infeksi corona di masa depan. Manfaat dari vaksin mRNA sama seperti vaksin lainnya, yakni melindungi diri dari virus tanpa harus menimbulkan risiko serius dari penyakit COVID-19.
Teknologi vaksin mRNA di masa depan memungkinkan satu vaksin memberikan perlindungan untuk berbagai penyakit, sehingga mengurangi jumlah suntikan yang diperlukan untuk perlindungan terhadap penyakit umum yang dapat dicegah dengan vaksin.

Kelemahan vaksin mRNA

Vaksin mRNA nyatanya masih punya kelemahan. Salah satunya adalah vaksin harus disimpan di suhu yang sangat dingin. Sebab, jika ruang penyimpanan tidak stabil, vaksin dapat rusak dan menjadi tidak efektif. Suhu yang sangat dingin mampu memperlambat reaksi kimia yang memecah RNA.
Sebagai contoh vaksin Pfizer yang harus disimpan pada suhu ruangan minus 70 derajat celsius atau lebih rendah. Suhu itu sama seperti rata-rata suhu di Antartika. Akibatnya, pendistribusian vaksin Pfizer jauh lebih sulit ketimbang vaksin lain, khususnya untuk negara-negara berkembang.
Sementara vaksin mRNA Moderna memiliki keunggulan tersendiri. Moderna dapat disimpan di ruangan pendingin bersuhu 2 hingga 8 derajat celsius selama 30 hari. Vaksin ini bahkan bisa disimpan selama 6 bulan dalam suhu minus 20 derajat celsius.
Ilustrasi vaksin corona Pfizer. Foto: Dado Ruvic/REUTERS

Vaksin Pfizer

Vaksin COVID-19 Pfizer dengan nama BNT162b2 dibuat oleh perusahaan farmasi asal Amerika Serikat bernama Pfizer. Bekerja sama dengan perusahaan farmasi Jerman, BioNTech, Pfizer mulai mengembangkan vaksin corona menggunakan teknologi baru mRNA, mengandung sel yang bisa mengubah instruksi dalam DNA menjadi protein penting bagi manusia.
Dengan mRNA, tubuh tidak disuntik virus mati maupun dilemahkan, tetapi disuntik kode genetik dari virus corona sehingga tubuh akan memproduksi protein yang merangsang respons imun.
Vaksin Pfizer telah melalui uji coba fase 1 dan 2 pada Mei hingga Juni 2020. Dari 45 relawan yang diuji, tak ada efek samping serius yang dicatat peneliti meski ada relawan yang mengalami demam, kelelahan, pusing, dan nyeri otot.
Pada 27 Juli, Pfizer dan BioNTech melanjutkan uji klinis fase 2 dan 3 yang melibatkan 30 ribu relawan dari 120 negara. Hasilnya, vaksin mereka aman dan efektif, menurut laporan Live Science. Pada pertengahan November 2020, Pfizer mengumumkan hasil uji klinis tahap akhir yang menunjukkan punya tingkat efektivitas hingga 95 persen.
Hasil uji klinis juga menunjukkan tidak ada efek samping serius yang dialami para peserta penerima vaksin selama uji klinis berlangsung. Bahkan efikasi vaksin pada usia di atas 65 tahun mencapai 94 persen. Kelompok ini diketahui yang paling rentan terinfeksi virus corona SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19.
Suster panti jompo berusia 39 tahun, Sanna Elkadiri menerima vaksin Pfizer / BioNTech pertama di Belanda di Veghel, Belanda, Rabu (6/1). Foto: Piroschka van de Wouw/Pool/REUTERS
Pada Desember 2020, Pfizer akhirnya mendapat izin edar darurat dari sejumlah negara antara lain, Inggris, Amerika Serikat, Jerman, dan Italia. CDC mengatakan vaksin Pfizer direkomendasikan untuk orang berusia di atas 16 tahun. CDC juga memberi sejumlah kriteria bagi orang-orang yang tidak disarankan menerima vaksin ini.

Vaksin Moderna

Punya nama mRNA-1273, vaksin COVID-19 ini diproduksi oleh perusahaan farmasi asal Massachusetts, Amerika Serikat, Moderna. Sama seperti Pfizer, vaksin Moderna menggunakan teknologi mRNA.
Vaksin bekerja dengan menyuntikkan sebagian kecil kode genetik virus, mRNA, ke dalam tubuh manusia. Kode genetik tersebut digunakan oleh sel-sel tubuh sebagai petunjuk untuk menghasilkan protein tertentu dari virus.
Ketika protein ini memasuki aliran darah, sistem kekebalan akan diaktifkan dan mampu mempelajari bagaimana menyingkirkan virus. Ketika sistem kekebalan benar-benar dihadapkan dengan virus yang sesungguhnya, ia akan mengenali virus dan menanganinya dengan cepat.
Uji klinis fase tiga vaksin Moderna telah selesai pada awal Desember 2020 lalu. Uji klinis itu melibatkan 30.000 partisipan warga AS dengan dua dosis vaksin. Setengah dari mereka diberi dua dosis vaksin, sementara setengah lainnya diberi plasebo. Selama uji klinis, ditemukan 196 orang terkena corona. 185 di antaranya dari kelompok plasebo dan 11 lainnya dari kelompok vaksin.
Ilustrasi vaksin Moderna. Foto: Dado Ruvic/REUTERS
Ada 30 kasus dari kelompok plasebo yang mengalami gejala parah. Sementara pasien dari kelompok vaksin, tidak ada yang mengalami gejala parah. Hasil menunjukkan vaksin ini punya efektivitas mencapai 94,5 persen.
"Analisis primer yang menunjukkan hasil positif ini menegaskan kemampuan vaksin untuk mencegah penyakit COVID-19 dengan tingkat kemanjuran 94,1 persen. Yang terpenting, vaksin kami mampu mencegah penyakit COVID-19 yang parah," kata Stéphane Bancel, CEO Moderna, dalam sebuah pernyataan.
Baru-baru ini CEO Moderna, Stephane Bancel, mengeklaim vaksin besutannya mampu menjaga kekebalan tubuh terhadap corona hingga dua tahun. “Kami sudah tidak pernah melihat skenario terburuk yang dijelaskan di media pada musim semi lalu, soal vaksin hanya efektif melindungi hingga satu atau dua bulan,” kata Bancel dalam acara yang digelar oleh grup jasa keuangan Oddo BHF.
Bancel juga mengatakan, vaksin Moderna hampir bisa membuktikan bahwa vaksin bisa bekerja melawan varian virus corona baru yang muncul di Inggris dan Afrika Selatan, yang diyakini sangat cepat menular.
Di balik kemampuannya, vaksin Moderna juga tak luput dari adanya efek samping. Berdasarkan data sementara, vaksin ini dapat ditolerir dengan baik tanpa laporan efek samping yang parah. Adapun efek samping yang paling umum adalah kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, serta nyeri dan kemerahan di sekitar tempat suntikan.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten