Mengapa Ada Pasien Virus Corona Tanpa Gejala Sakit COVID-19?

23 April 2020 16:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang siswa bermain saat jam istirahat sekolah di Escuela 30, San Jose, Uruguay, Kamis (23/4). Foto:  REUTERS/Mariana Greif
zoom-in-whitePerbesar
Seorang siswa bermain saat jam istirahat sekolah di Escuela 30, San Jose, Uruguay, Kamis (23/4). Foto: REUTERS/Mariana Greif
ADVERTISEMENT
Per tanggal 22 April 2020, virus corona telah menginfeksi lebih dari 2,5 juta orang di seluruh dunia dan merenggut 170.000 nyawa. Virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19 ini biasanya memunculkan gejala yang jelas, seperti demam, batuk, hingga sesak napas. Meskipun begitu, ada juga beberapa pasien positif virus corona justru sama sekali tidak terlihat bergejala alias asimtomatis.
ADVERTISEMENT
Sebuah riset di jurnal BMJ yang rilis pada 2 April 2020 menunjukkan, sebanyak 80 persen atau lebih dari mereka yang terinfeksi adalah "silent carriers". Ini adalah orang-orang yang positif mengidap COVID-19, tetapi tidak menunjukkan gejala (terkadang hanya bergejala sangat ringan). Mereka biasanya masih anak-anak dan remaja, yang tampak sangat sehat sehingga cenderung terlihat tidak menunjukkan gejala sakit.
Anak-anak memang memiliki sistem kekebalan yang belum matang, tetapi sistem kekebalan tubuh mereka bereaksi lebih hebat terhadap virus corona, ketimbang orang dewasa. Sebagai hasilnya, karena tubuh mereka dapat membersihkan virus secara lebih cepat, anak-anak pun mengalami penurunan viral load atau jumlah partikel virus yang bertahan di dalam tubuh.
Selain itu, variasi genetik yang sangat spesifik pada beberapa orang kemungkinan berperan dalam kemunculan gejala COVID-19. Berkat kemampuan untuk menghasilkan respons imun awal yang adaptif, tubuh beberapa orang bisa mengenali virus selama masa inkubasi dan melawannya. Orang-orang ini lazimnya berada dalam kondisi sehat sehingga dapat meningkatkan respons imun yang tepat terhadap infeksi.
Pasien virus corona atau COVID-19 melakukan olahraga senam di rumah sakit darurat pusat pameran di Wuhan, Hubei, China. Foto: AFP/STR
ADVERTISEMENT

Proses Terciptanya Gejala COVID-19

Ketika virus SARS-CoV-2 berhasil masuk ke dalam tubuh (biasanya melalui hidung dan tenggorokan), kemungkinan akan turun melalui saluran pernapasan ke paru-paru. Di dalam paru-paru, virus menempel pada reseptor ACE2, terus-menerus mereplikasi dirinya, dan memicu respons imun untuk membersihkan sel-sel yang terinfeksi.
Ketika pertempuran antara virus dan imun berlangsung, lapisan saluran pernapasan yang terinfeksi pun akan menghasilkan sejumlah besar cairan yang akan memenuhi kantung udara. Cairan ini bakal menyebabkan lebih sedikit ruang untuk mentransfer oksigen ke dalam aliran darah dan menghilangkan karbon dioksida. Sebagai hasilnya, gejala pneumonia pun muncul, seperti demam, batuk berdahak, dan sesak napas.
Sebagian orang dengan respons imun yang berlebihan dan berkepanjangan bahkan akan mengalami "badai sitokin" sebagai gejala COVID-19. Sitokin adalah sekelompok protein yang mengirimkan sinyal kepada sel-sel dalam sistem kekebalan tubuh untuk membantu mengarahkan respons. Ketika badai sitokin terjadi, sistem imun memberikan reaksi berlebihan dan menyebabkan begitu banyak bencana, seperti peradangan dan kerusakan organ, yang bisa berakibat fatal.
ADVERTISEMENT
COVID-19 juga memiliki kesamaan dengan SARS dan MERS dalam menyebabkan sindrom gangguan pernapasan akut (Acute Respiratory Distress Syndrome/ARDS). Ini terjadi ketika cairan menumpuk di paru-paru dan menjadi penyebab kematian paling umum. Korban terbanyaknya ialah para orang tua renta yang memiliki kelainan paru-paru kronis, mereka memiliki peluang lebih besar untuk mengalami ARDS dan wafat karenanya.
Secara lebih detail, kematian orang yang telah lanjut usia itu disebabkan oleh kondisi mereka yang memiliki lebih sedikit reseptor ACE2 di paru-paru mereka. Reseptor ACE2 memiliki peran penting dalam mengatur respons imun, terutama dalam mengelola tingkat peradangan.
Sebaliknya, anak-anak cenderung memiliki lebih banyak reseptor ACE2 di paru-paru mereka. Kondisi ini sangat jomplang dibandingkan para orang tua. Oleh karena itu, mereka, para anak-anak dan remaja, tidak terlihat sakit dan bergejala ketika terinfeksi SARS-CoV-2.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kasus pada orang dewasa, obat-obatan yang mendorong kinerja sistem kekebalan tubuh pun berhasil membantu pemulihan respons imun yang berlebihan, sehingga mereka tidak mengalami badai sitokin dalam gejala COVID-19. Selain itu, jumlah virus yang masuk ke paru-paru juga menjadi faktor penting yang menentukan kemunculan gejala.
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
****
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.