Mengenal Challenge Trial, Metode Penemuan Vaksin Virus Corona yang Kontroversial

1 Mei 2020 20:10 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga New York, Amerika Serikat berjalan tanpa masker saat kota tersebut sedang lockdown. Foto: REUTERS / Eduardo Munoz
zoom-in-whitePerbesar
Warga New York, Amerika Serikat berjalan tanpa masker saat kota tersebut sedang lockdown. Foto: REUTERS / Eduardo Munoz
ADVERTISEMENT
Vaksin COVID-19 merupakan jalan keluar manusia dari pandemi virus corona. Namun, sejumlah ilmuwan memprediksi bahwa vaksin tersebut tak bakal hadir dalam waktu dekat, dengan minimal waktu penemuan sekitar 18 bulan.
ADVERTISEMENT
Lamanya penemuan vaksin COVID-19 pun membuat sejumlah pakar kesehatan di AS memutar otak untuk memangkas waktu tersebut. Salah satu opsi yang mereka tawarkan adalah Challenge Trial, yakni uji coba vaksin dengan cara menginfeksi langsung relawan dengan virus corona.
Challenge Trial untuk vaksin COVID-19 sebenarnya punya ide yang sederhana. Melalui metode penemuan vaksin ini, ratusan relawan berusia muda dan sehat dikumpulkan untuk diinfeksi virus corona.
Nantinya, relawan tersebut akan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama bakal diberikan calon vaksin COVID-19 yang potensial. Sedangkan yang lain bakal diberi pil plasebo, atau obat yang kandungannya tak memberikan dampak apa pun ke tubuh. Hal ini ditujukan untuk mengetahui efektivitas vaksin yang diberikan.
Seorang pekerja medis yang memakai pakaian pelindung melakukan uji asam nukleat kepada seorang pekerja di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Foto: China Daily via REUTERS
Sebagai catatan, metode ini mengharuskan relawan untuk sadar dan memiliki niat sendiri diinfeksi virus corona.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan The Hill, Challenge Trial dianggap bisa memangkas waktu penemuan vaksin COVID-19 lebih cepat dari metode tradisional. Sebabnya, metode tradisional mengharuskan peneliti menunggu partisipan relawan untuk terinfeksi virus corona secara alamiah dalam aktivitas keseharian mereka.
Di AS, ide Challenge Trial pertama kali disampaikan oleh 35 anggota kongres AS yang dipimpin oleh dua politikus partai Demokrat, yakni Donna Shalala dan Bill Foster. Pada pekan kemarin, mereka menyampaikan ide tersebut ke lembaga BPOM di AS, Food and Drugs Administration (FDA).
"Situasi kita dalam pandemi ini mirip dengan perang, di mana ada tradisi panjang sukarelawan yang mempertaruhkan kesehatan mereka dan hidup dalam misi berbahaya yang mereka pahami risikonya dan bersedia melakukannya untuk membantu menyelamatkan nyawa orang lain," tulis mereka, Senin (20/4).
ADVERTISEMENT
Tak hanya para politikus, ahli kesehatan AS juga mendukung ide serupa. Sebagai contoh, Stanley Plotkin, seorang pediatri dari University of Pennsylvania, juga menggagas ide serupa dalam artikelnya yang dipublikasi jurnal Vaccine pada 20 April 2020.
Petugas rumah sakit mengecek kesehatan para pengendara di Indian Wells, California, AS, 26 Maret 2020. Foto: REUTERS/Lucy Nicholson
Artikel berjudul 'Extraordinary diseases require extraordinary solutions' itu ditulis bersama Arthur Caplan, seorang bioetikus dari New York University. Bagi kamu yang kurang familiar, bioetikus adalah seorang pakar bioetik, yakni cabang studi etika yang membahas soal biologi dan medis.
"Dengan mempertimbangkan penyebaran cepat virus corona SARS-2 dan tingkat kematiannya, yang melebihi epidemi influenza 1918-19, vaksin sangat dibutuhkan. Beberapa kandidat telah diusulkan dan banyak yang dalam uji klinis, tetapi pertanyaannya tetap apakah penggunaan darurat vaksin SARS-2 harus mengumpulkan data terkontrol dari populasi besar yang mengalami epidemi penyakit SARS-2 atau apakah akan mempercepat vaksinasi dengan bergerak cepat melalui studi hewan dan melakukan studi tantangan manusia pada sukarelawan," tulis Plotkin dan Caplan dalam artikelnya.
ADVERTISEMENT
"Penelitian tantangan sukarelawan manusia telah dilakukan sebelumnya dengan beberapa agen, menghasilkan informasi penting. Tentu saja, penelitian semacam itu menempatkan relawan pada risiko penyakit dan kematian dan kematian telah terjadi dalam studi obat. Etika uji coba tersebut, serta penerimaannya kepada regulator sebagai langkah menuju penggunaan darurat dari kandidat vaksin adalah yang terpenting dan memerlukan diskusi segera," sambung mereka.
Plotkin dan Caplan menegaskan, akselerasi standar proses diperlukan guna memangkas waktu penemuan vaksin. Kalau tidak, tulis mereka, vaksin COVID-19 bisa memakan waktu tahunan dengan jutaan orang meninggal karena virus corona.
Polemik obat corona. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Permasalahannya, Challenge Trial tak pernah digunakan dalam menemukan vaksin penyakit baru. Metode ini pernah digunakan untuk uji coba vaksin malaria, tetapi hal tersebut dilakukan saat obat malaria telah ditemukan.
ADVERTISEMENT
COVID-19 sendiri saat ini belum memiliki obat yang terbukti lolos uji klinis. Dengan ketiadaan obat, serta calon vaksin yang belum terbukti aman dan efektif, Challenge Trial bisa jadi berisiko bagi nyawa relawan yang ikut di dalamnya.
"FDA sedang menjajaki semua opsi yang memungkinkan untuk memajukan pengembangan vaksin yang aman dan efektif secara paling efisien yang akan mencegah COVID-19," kata Michael Felberbaum, juru bicara FDA, kepada The Hill.
"Studi tantangan manusia yang digunakan untuk mengembangkan vaksin COVID-19 dapat memberikan masalah etika dan kelayakan yang bisa dihindari dengan penggunaan model hewan," sambungnya.
Bagaimanapun, Challenge Trial tetap memikat anak muda yang mau berkontribusi di tengah pandemi corona, meskipun itu membahayakan nyawa mereka. Menurut laporan The Hill, situs untuk mendukung Challenge Trial bernama 1 Day Sooner telah memiliki 2.000 orang yang menyatakan siap menjadi relawan bagi metode penemuan vaksin kontroversial itu.
ADVERTISEMENT
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! Bantu donasi atasi dampak corona.