Pelajaran yang Bisa Kita Petik dari Rentetan Gempa Lombok

27 Agustus 2018 6:33 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, sejak terjadinya gempa utama berkekuatan 7,0 magnitudo pada 5 Agustus 2018, hingga 21 Agustus pukul 09.00 WIB sudah ada 1.005 gempa susulan yang mengguncang Lombok.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sejak terjadinya gempa baru berkekuatan 6,9 magnitudo pada 19 Agustus, hingga 26 Agustus pukul 08.00 WIB telah tercatat pula 377 gempa susulan lainnya yang mengguncang Pulau Seribu Masjid itu. Dari 377 gempa susulan itu, 19 di antaranya merupakan gempa yang dapat dirasakan penduduk setempat.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono mengatakan gempa susulan masih akan terus terjadi di Lombok dalam beberapa bulan ke depan. Oleh karena itu, Daryono mengimbau kepada masyarakat Lombok agar tetap tenang, waspada, dan bersabar sampai rentetan Gempa Lombok ini berakhir.
“Kepada masyarakat Lombok kami mengimbau agar tetap tenang dan waspada terkait dengan aktivitas gempa susulan yang terjadi. Karena gempa susulan merupakan proses alamiah yang lazim terjadi pasca terjadinya gempa besar,” ujar Daryono saat ditemui kumparan sekitar sepekan lalu.
Daryono, Kabid Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG (Foto: Utomo P/kumparan)
Pemegang gelar doktor bidang ilmu geografi Universitas Gadjah Mada itu menjelaskan, gempa susulan merupakan fenomena yang terjadi ketika batuan yang telah mengalami patahan besar saat terjadi gempa utama, sekarang sedang berproses ingin kembali kepada posisi semula. Menurutnya ini adalah proses geologi yang lazim terjadi dan bukan sesuatu yang aneh.
ADVERTISEMENT
Selain diimbau untuk tetap tenang, waspada, dan bersabar, masyarakat Lombok juga diimbau untuk untuk tidak menempati rumah-rumah yang sudah retak ataupun rusak akibat gempa-gempa sebelumnya. Sebab, jika nantinya ada gempa susulan, bangunan-bangunan tersebut dikhawatirkan akan mengalami kerusakan lebih lanjut dan roboh sehingga bisa menimpa penghuninya.
“Kemudian masyarakat diimbau untuk tidak berada di tebing-tebing yang rawan longsor. Karena jika ada gempa susulan yang signifikan, yang bisa dirasakan oleh orang, (tebing tersebut) bisa mengalami longsoran,” tambah Daryono.
Kerusakan akibat gempa di Lombok. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
Tak bisa diprediksi secara pasti
Di samping memberi imbauan di atas, Daryono juga berpesan kepada masyarakat agar tidak percaya kepada berita-berita bohong yang banyak beredar selama terjadinya rentetan Gempa Lombok.
“Masyarakat kami imbau untuk tidak percaya kepada berita bohong atau hoaks yang banyak beredar pada masa-masa sekarang ini yang tujuannya untuk menciptakan kecemasan, situasi yang tidak kondusif, dan ingin menjadikan segala sesuatunya tidak stabil, tidak tenang,” ujar pria asal Salatiga itu.
ADVERTISEMENT
Belakangan ini memang banyak beredar hoaks terkait prediksi gempa besar yang akan mengguncang Lombok dengan menyebutkan kekuatan gempa tersebut dan bahkan waktu kejadiannya. Berulang kali berita semacam itu beredar, berulang kali pula BMKG membantahnya.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati pernah menegaskan, hingga saat ini belum ada teknologi yang bisa memprediksi gempa secara pasti dan akurat terkait waktu dan kekuatannya.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati (Foto: Sayid Muhammad Mulki Razqa)
Sejarah mencatat, Gempa Haicheng di China yang terjadi pada 4 Februari 1975 merupakan satu-satunya gempa yang sukses terprediksi. Alhasil, meskipun 90 persen bangunan di kota Haicheng hancur oleh gempa besar ini, tetapi penduduk kota tersebut telah dievakuasi sebelum kejadian. Hampir 90.000 penduduk selamat berkat evakuasi ini.
Meski begitu, setahun setelahnya, 1976, China gagal memprediksi Gempa Tangshan yang menewaskan lebih dari 240.000 orang. Pada tahun-tahun berikutnya China juga tetap kesulitan memprediksi gempa-gempa yang akan terjadi wilayah mereka.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini negara komunis itu tetap saja masih mengalami gempa-gempa yang berdampak merenggut korban jiwa.
Bukan hanya China. Jepang sebagai negara dengan teknologi dan kajian terdepan terkait gempa bumi, juga masih belum bisa memprediksi secara pasti kapan gempa akan terjadi. Oleh karena itu, negara yang wilayahnya rawan diguncang gempa seperti Indonesia ini, memilih berfokus untuk meningkatkan upaya mitigasi atau pengurangan risiko bencana akibat gempa di wilayah mereka.
Wilayah Indonesia rawan gempa
Jepang dan Indonesia sama-sama merupakan wilayah rawan gempa karena kedua negara ini berada di wilayah yang disebut sebagai Cincin Api Pasifik.
Cincin Api Pasifik merupakan daerah berbentuk tapal kuda yang memiliki banyak patahan atau zona rekahan yang memanjang sekitar 40 ribu kilometer mulai dari Chile, Jepang, dan kemudian berhenti di Asia Tenggara.
Wilayah Cincin Api Pasifik (Foto: USGS via Wikimedia Commons)
Gempa bumi biasanya terjadi di sepanjang patahan-patahan ini. Tercatat, sekitar 90 persen gempa bumi di dunia dan 80 persen gempa bumi terbesar di dunia terjadi di sepanjang wilayah Cincin Api Pasifik ini.
ADVERTISEMENT
Rentetan Gempa Lombok sendiri merupakan gempa-gempa yang dipicu oleh pergerakan Patahan Naik Flores yang berada di utara Lombok. Patahan Flores ini hanyalah satu dari sekitar 295 patahan aktif yang ada di wilayah Indonesia.
Dalam siaran pers BMKG yang diterima kumparan, Dwikorita pernah menuturkan bahwa setiap harinya Indonesia memang mengalami gempa bumi dengan kekuatan yang bervariasi. Hal ini terjadi karena kondisi geologis Indonesia yang dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng kulit bumi, yakni Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur.
Jadi sesungguhnya gempa tidak hanya rawan terjadi di Lombok, tetapi bisa mengguncang wilayah Indonesia lainnya, di mana pun dan kapan pun.
Patahan Naik Flores Pemicu Gempa Lombok (Foto: Muhammad Faisal N/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pentingnya bangunan tahan gempa dan kesiapsiagaan warga
Indonesia tampaknya perlu meniru Jepang. Sebab, Negeri Matahari Terbit itu merupakan negara yang sangat sadar akan pentingnya upaya mitigasi gempa. Selama ini mereka diketahui telah berupaya keras dalam mendirikan konstruksi-konstruksi bagungan tahan gempa serta membangun masyarakat yang siap siaga terhadap gempa.
Mereka secara rutin mengadakan pendidikan dan simulasi dalam menghadapi gempa kepada berbagai pihak, termasuk anak-anak sekolah dasar. Hal ini penting karena salah satu penyebab timbulnya korban jiwa saat terjadinya gempa adalah kepanikan dan ketidaktahuan penduduk setempat terkait langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi situasi gempa.
Selain itu Jepang juga menerapkan standar bangunan tahan gempa. Menurut regulasi yang berlaku di sana, setiap perusahaan konstruksi harus memenuhi standar bangunan tahan gempa dalam mendirikan setiap bangunan.
ADVERTISEMENT
Peraturan ini tentu sangat penting mengingat penyebab terbesar timbulnya korban saat terjadi gempa bukanlah akibat guncangan gempa terhadap manusia itu sendiri, melainkan akibat bangunan yang roboh dan menimpa penghuninya.
Sejumlah orang melintas di areal parkir ruang tunggu yang retak akibat gempa, di Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur, NTB, Senin (20/8). (Foto: Antara/Ahmad Subaidi)
Daryono dari BMKG berulang kali pernah menyarankan, jika masyarakat Indonesia belum mampu mendirikan bangunan beton tahan gempa, maka ada pilihan lain, yakni dengan membangun rumah berbahan kayu dan bambu dengan dampak risiko runtuh lebih kecil yang didesain secara menarik.
Menurutnya, mendirikan bangunan tembok dengan mutu rendah atau bahkan tanpa besi tulangan, seperti yang banyak ditemui di Indonesia, justru akan membuat penghuninya menjadi korban saat terjadinya gempa.