Peneliti UI Kritik Penerapan PSBB yang Masih Berskala Daerah

8 April 2020 13:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di Masjid Hablul Muttaqin, Jalan Pejambon, Jakarta, Jumat (6/3). Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di Masjid Hablul Muttaqin, Jalan Pejambon, Jakarta, Jumat (6/3). Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
ADVERTISEMENT
Setelah mendapat restu dari Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, akhirnya akan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayahnya. Anies mengatakan PSBB di Jakarta mulai berlaku efektif pada Jumat 10 April 2020.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, juga tengah mengajukan permohonan penerapan PSBB di beberapa daerah, seperti Bogor, Depok, dan Bekasi ke Menkes Terawan. Tiga daerah tersebut dinilai berdekatan dengan DKI Jakarta yang kini menjadi episentrum pandemi di Indonesia.
Hal tersebut tampaknya menuai kritik dari peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dr. Pandu Riono, MPH, Ph.D. Sebab, menurutnya, PSBB harus diterapkan dalam skala nasional, bukan lagi per wilayah.
“Kalau PSBB itu sebenarnya sifatnya nasional, tidak perlu ada wilayah lagi. tidak perlu gubernur atau kepala daerah yang minta izin menkes mau PSBB. Itulah deklarasi PSBB nasional,” papar dr Pandu, dalam wawancara secara live streaming bersama kumparan, Senin (6/4).
Pejalan kaki melintas di trotoar Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (7/4). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Menurutnya, PSBB berskala nasional harus segera diterapkan mengingat penyebaran virus corona yang telah mencakup seluruh provinsi. Menurut dr Pandu, hal ini terjadi karena mobilitas orang Indonesia yang cukup tinggi.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, jika pemerintah ingin benar-benar mengakhiri wabah COVID-19, maka fokus penyelesaian masalah bukan lagi tertuju di Jakarta, melainkan seluruh wilayah Indonesia.
“Saya tekankan, PSBB itu harusnya bersifat nasional, jangan memikirkan wilayah lagi. Sekarang sudah terjadi kasus yang tadinya hanya di Jakarta, sebenarnya sudah melebar ke seluruh wilayah Indonesia,” paparnya.
dr Pandu kemudian menjelaskan, dalam penerapan PSBB, ada beberapa skenario yang bisa dilakukan untuk menekan laju penyebaran virus. Salah satunya dengan memberlakukan PSBB selama 90 hari ke depan hingga kasus pandemi mencapai puncaknya. Dalam rentang waktu 90 hari tersebut, akan terbentuk herd immunity atau kekebalan kelompok.
Pada saat itulah, kata dr Pandu, penurunan kasus virus corona terjadi. Setelah kasus menurun, langkah selanjutnya bukan mencabut PSBB, tetapi terus melakukan pemantauan dan intervensi tinggi di wilayah-wilayah yang rawan terjadi penularan.
ADVERTISEMENT
“Kadang-kadang kan kita melihat, ketika kasus mulai mereda, maka PSBB sudah tidak dilakukan, jangan seperti itu. Kita harus terus dua langkah di depan virus, jangan mengikuti virus. Karena permasalahan transmisi dalam virus corona adalah mereka yang tidak bergejala,” ujar dr Pandu.
Maka untuk menjawab kapan pandemi virus corona berakhir, jawabannya tergantung bagaimana intervensi yang dilakukan pemerintah dalam menekan penyebaran virus. Semakin ketat intervensi dilakukan, semakin cepat pandemi berakhir.
Warga beraktivitas di Masjid Istiqlal, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Adapun pelaksanaan PSBB tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Dengan poin-poin sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!