Perbedaan PCR, Rapid Test Antigen, dan Antibodi, untuk Deteksi Corona

22 Oktober 2020 7:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang tenaga kesehatan yang mengenakan alat pelindung diri lengkap memberikan sample tes usap (swab test) milik warga ke dalam mobil tes polymerase chain reaction (PCR). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Seorang tenaga kesehatan yang mengenakan alat pelindung diri lengkap memberikan sample tes usap (swab test) milik warga ke dalam mobil tes polymerase chain reaction (PCR). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Tes dan pelacakan kasus sangat penting di tengah pandemi corona. Bersama dengan isolasi, ketiganya merupakan strategi utama penanganan wabah corona, menurut para ahli epidemiologi.
ADVERTISEMENT
Saat ini, setidaknya ada tiga metode yang dipakai untuk mendeteksi apakah seseorang terinfeksi virus corona SARS-CoV-2. Ketiga metode tersebut terdiri dari tes swab PCR, rapid test antigen, dan rapid test antibodi.
Meski demikian, ketiganya punya metode yang berbeda untuk mengidentifikasi seseorang positif corona atau tidak. Lantas, apa sih perbedaan ketiganya?
Tanpa panjang lebar lagi, kumparanSAINS telah merangkum perbedaan metode diagnosis tes swab PCR, rapid test antigen, dan rapid test antibodi untuk mendeteksi virus corona di tubuh seseorang. Kamu bisa simak penjelasannya berikut ini.

Rapid test antibodi

Rapid test antibodi memberikan hasil yang cepat dibanding tes swab PCR. Ia umumnya hanya memerlukan waktu 15 menit untuk hasilnya keluar. Di Indonesia, tes ini juga cukup terjangkau dengan harga berkisar Rp 150 ribu.
Suasana saat BIN gelar Rapid Test di Kantor BPN Bogor, Jawa Barat. Foto: Dok. Istimewa
Tes antibodi, atau biasa disebut sebagai tes serologi, dilakukan dengan mengambil sampel darah dari partisipan. Nantinya, sampel tersebut diuji untuk menentukan apakah partisipan telah mengembangkan antibodi untuk melawan virus.
ADVERTISEMENT
Meski cepat, para ahli skeptis kalau tes antibodi akurat untuk mengidentifikasi orang positif corona. Menurut penjelasan badan pengawas obat dan makanan AS (FDA), tes antibodi hanya mendeteksi antibodi yang dikembangkan sistem kekebalan tubuh sebagai respons terhadap virus. Artinya, tes antibodi tidak mengidentifikasi virus itu sendiri.
Sistem kekebalan tubuh sendiri biasanya memproduksi antibodi pada 1-2 pekan setelah infeksi dimulai. Oleh karena itu, tes antibodi ini sebenarnya ditujukan untuk mencari tahu apakah orang telah terinfeksi corona pada masa lalu. Tes antibodi tidak bertujuan untuk menunjukkan partisipan sedang terinfeksi corona atau tidak saat tes berlangsung.
Karena metodenya tersebut, orang yang baru terpapar virus corona bisa menunjukkan hasil negatif di tes ini. Sebab, sistem tubuhnya belum memproduksi antibodi. Hasil negatif dari tes antibodi tidak secara pasti menunjukkan kalau kamu negatif corona.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tes antibodi juga memiliki keterbatasan perihal spesifisitas-nya, meski tes ini punya tingkat sensitivitas yang cukup akurat. Padahal, keduanya diperlukan agar tes bisa akurat memeriksa orang.
Rapid test COVID-19 di Universitas Hasanuddin, Makassar. Foto: Dok. Istimewa
Sensitivitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi keberadaan virus secara akurat, jika memang ada. Semakin kurang sensitif suatu tes, semakin besar kemungkinan untuk memberikan negatif palsu (false-negative).
Adapun spesifisitas adalah kemampuan tes untuk secara akurat mengesampingkan keberadaan virus jika tidak ada. Semakin tidak spesifik suatu tes, semakin besar kemungkinan untuk memberikan hasil positif palsu (false-positive).
Menurut data sejumlah rapid test antibodi yang disetujui FDA, sensitivitas tes ini umumnya punya tingkat akurasi 90-an persen. Namun, tes antibodi cuma punya tingkat akurasi spesifisitas sebesar 60-an persen. Artinya, hasil tes antibodi punya potensi yang besar untuk false-positive.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan AS, pengawasan alat rapid test antibodi di Indonesia berada di bawah naungan Kementerian Kesehatan, dan bukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Hingga saat ini, belum ada data komprehensif mengenai akurasi alat rapid test yang ada di Indonesia.
Karyawan Senayan City Mall mengikuti rapid test saat mal mulai dibuka kembali. Foto: Senayan City Mall
Perlu dipahami, walaupun tes antibodi itu kurang dapat diandalkan untuk memeriksa orang terinfeksi corona secara real-time, tes antibodi berguna untuk mengidentifikasi bagian dari populasi yang sebelumnya terpapar virus corona dan telah mengembangkan herd immunity. Selain itu, tes antibodi dapat digunakan untuk mengidentifikasi orang yang baru saja sembuh dari infeksi virus corona dan memenuhi syarat untuk mendonorkan darah untuk terapi plasma convalescent.

Tes Swab PCR

Real-time reverse transcription polymerase chain (RT-PCR), atau yang secara umum dikenal sebagai tes swab atau tes PCR, merupakan kelompok tes diagnostik yang menunjukkan apakah seseorang memiliki virus atau tidak.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan tes serologi yang mendeteksi antibodi, tes PCR ditujukan untuk secara langsung menyelidiki keberadaan virus. RT-PCR merupakan tes molekuler. Artinya, tes ini berupaya mendeteksi material genetik dari virus corona.
Tes PCR sendiri masih dianggap standar emas untuk diagnostik corona. Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan lembaga riset nirlaba Foundation for Innovative New Diagnostics (FIND), tes PCR punya sensitivitas mencapai 100 persen dan spesifisitas 96 di lingkungan terkontrol.
Meski demikian, di dunia nyata sensitivitas tes ini cuma sekitar 66-80 persen saja. Penurunan ini disebabkan oleh sejumlah faktor, mulai dari sampel yang diambil sedikit, hingga keberadaan virus yang sedikit karena waktu tes yang terlalu cepat atau terlalu lambat.
Pemain Persib Bandung, Kim Jeffrey Kurniawan mengikuti pengetesan swab PCR untuk para pemain Persib Bandung. Foto: Instagram/@ridwankamil
Prosedur RT-PCR dimulai dari pengambilan sampel melalui hidung (nasofaring) atau mulut (orofaring) partisipan tes. Proses pengambilan sampel ini kurang lebih hanya memakan waktu 15 detik dan tidak meninggalkan rasa sakit. Selanjutnya, sampel tersebut akan dibawa ke laboratorium.
ADVERTISEMENT
Nah, karena virus corona adalah virus RNA (ribonucleic acid), peneliti perlu mengubah RNA virus menjadi DNA (deoxyribonucleic acid) agar bisa dibaca di mesin PCR.
DNA dan RNA sendiri adalah material pembawa informasi genetik yang dimiliki setiap makhluk hidup. Perbedaannya, DNA adalah material genetik rantai ganda, sedangkan RNA material genetik rantai tunggal.
Untuk mengubah RNA virus corona jadi DNA agar bisa dianalisis mesin PCR, peneliti memakai enzim reverse-transcriptase. Oleh karena itu, metode tes ini disebut reverse transcription polymerase chain.
Menurut penjelasan FDA, nantinya mesin PCR akan melakukan amplifikasi (perbanyakan) jutaan salinan DNA untuk dibaca. Jika mesin PCR mendeteksi keberadaan material genetik dari sampel, maka hasilnya akan dikatakan positif.
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutter Stock
Tes RT-PCR sendiri sebenarnya bisa dihasilkan dalam waktu beberapa jam. Namun, karena banyaknya spesimen di tengah kapasitas lab yang kurang mencukupi, hasil tes swab PCR di Indonesia sering memakan waktu 1-3 hari.
ADVERTISEMENT
Selain itu, biaya tes ini terbilang kurang bersahabat karena bisa mencapai Rp 1-2 juta, tergantung kapan hasil diagnostiknya keluar. Pemerintah sendiri sudah memberikan batas atas Rp 900 ribu untuk tes PCR non-subsidi.

Rapid test antigen

Rapid test antigen boleh dibilang merupakan jalan tengah antara tes PCR dan rapid test antibodi. Tes ini menawarkan waktu yang cepat (15-30 menit) dan biaya yang murah seperti tes antibodi, tapi dengan akurasi yang lebih baik.
Caption: Infografik perbedaan rapid test antibodi dan antigen. Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan
Sama seperti tes PCR, rapid test antigen dimulai dengan pengambilan sampel dari hidung dan mulut. Ia juga merupakan kelompok tes diagnostik yang langsung menyasar untuk mendeteksi virus seperti PCR. Bedanya, rapid test antigen hendak mendeteksi protein yang ada di permukaan virus corona.
ADVERTISEMENT
Karena metodenya tersebut, rapid test antigen tak seperti rapid test antibodi yang perangkatnya bisa dibeli dan dipakai secara mandiri. Rapid test antigen mirip seperti PCR di mana prosedurnya perlu dilakukan oleh tenaga ahli.
BIN gelar Rapid Antigen Test di Pondok Pesantren Asshidiqiyah, Jakarta Barat. Foto: BIN
Dalam hal akurasi, rapid test antigen punya spesifisitas yang cukup baik. Namun, sensitivitas tes ini umumnya cuma berkisar 50 persen, berdasarkan laporan Harvard Health Publishing.
Oleh karena itu, tes antigen sangat mungkin menunjukan hasil false-negatif, yakni di mana orang yang positif corona justru dianggap tak terinfeksi corona. Untuk mengatasi ini, tenaga medis bakal merekomendasikan orang negatif tes antigen untuk melakukan tes PCR, jika orang tersebut mengalami gejala COVID-19.
Meski punya kekurangan, rapid test antigen dianggap dapat menjadi jalan keluar bagi negara yang punya tingkat tes PCR yang rendah, seperti Indonesia.
ADVERTISEMENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah mengumumkan kalau mereka akan membagikan 120 juta alat rapid test antigen ke 133 negara. Alat itu akan dibagikan ke negara berpenghasilan menengah dan rendah, yang dibanderol mulai dari 5 dolar AS atau Rp 75 ribu.
"Rapid test kualitas tinggi ini akan menunjukkan kepada kami di mana virus itu bersembunyi, dan ini merupakan kunci untuk melacak dan mengisolasi kontak sehingga bisa memutus rantai penularan," kata Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus di situs resmi WHO.
WHO juga menyatakan, penyediaan rapid test antigen sudah disepakati oleh Yayasan Bill & Melinda Gates dengan produsen alat tes tersebut, Abbott dan SD Biosensor.
Salah seorang warga melakukan pemeriksaan Rapid Test Antigen di Kelurahan Tidore, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Kamsi (15/10/2020). Foto: Adwit B Pramono/ANTARA FOTO