Psikolog: Orang yang Percaya Konspirasi Corona adalah Orang yang Ketakutan

28 Juli 2020 7:33 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penumpang KRL terlihat berdiri di balik pintu saat PSBB transisi di Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Penumpang KRL terlihat berdiri di balik pintu saat PSBB transisi di Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
ADVERTISEMENT
Kasus virus corona di Indonesia dan dunia terus meningkat tiap hari. Namun, tidak semua orang sepakat bahwa pandemi ini benar-benar ada dan berbahaya.
ADVERTISEMENT
Meski para ilmuwan sepakat soal bahaya dan betapa menularnya virus penyebab COVID-19 itu, ada sekelompok orang yang menyangkal fakta tersebut. Bagi mereka, virus corona bisa jadi tidak ada atau tidak seberbahaya yang disampaikan ilmuwan. Atau kalaupun ada, virus itu hanya konspirasi elit global untuk menebar ketakutan.
Fenomena ini pada awalnya bisa kita lihat melalui Jerinx. Beberapa pekan terakhir, narasi yang sama juga diikuti oleh Anji. Kedua orang tersebut adalah musisi yang bersuara meremehkan virus corona, bernarasi virus itu tidak begitu mengerikan, meski masing-masing pihak tidak memiliki rekam jejak sebagai ahli epidemiologi dan virologi.
Di sisi lain, ada lebih dari 16,4 juta orang di seluruh dunia telah terinfeksi virus corona SARS-CoV-2 per Senin (27/7). Di antara mereka, sebanyak 653.322 orang meninggal. Di Indonesia sendiri, kasus virus corona telah mencapai lebih dari 100 ribu kasus dengan catatan 4.838 pasien COVID-19 meninggal. Catatan ini pun bisa jadi tidak merepresentasi jumlah aktual-nya, karena Indonesia punya tingkat tes yang rendah, hanya 5.096 tes per 1 juta penduduk.
Demo menolak rapid test yang diikuti musisi Jerinx SID, Minggu (26/7/2020). Foto: Ach Fawaidi/Kanal Bali
Menurut Ketua Satgas Ikatan Psikolog Klinis Indonesia untuk Penanganan COVID-19, Annelia Sari Sani, penyangkalan terhadap bahaya virus corona disebabkan oleh sikap tidak peduli (ignorant) seseorang atas pandemi yang ada di depan mata. Meski informasi valid mengenai bahaya virus corona tersedia secara luas, sikap tidak peduli menjadikan mereka tidak terinformasi (un-informed).
ADVERTISEMENT
”Ini kembali juga kepada ciri pribadi orang tersebut yang kita sebut ignorant, ketidakpedulian,” kata Annelia kepada kumparan, Senin (27/7). ”Orang-orang ignorant ini umumnya tidak termotivasi untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya dan informasi yang valid.”
Annelia menambahkan, sikap tidak peduli itu tidak memandang status pendidikan seseorang. Kata dia, orang yang berpendidikan juga bisa terperangkap dengan hoaks dan penyangkalan virus corona karena dia tidak berminat mencari tahu informasi faktual yang benar.
Senada dengan Annelia, Meredith Matson, seorang profesor psikologi di Horry-Georgetown Technical College, juga menyebut bahwa ketidakseriusan seseorang dalam menghadapi virus corona disebabkan oleh kelelahan belas kasih (compassion fatigue).
Matson mengatakan, kelelahan belas kasih adalah kondisi ketika orang bosan peduli tentang sesuatu. Dalam hal ini, orang bisa jadi penat mengikuti pedoman kesehatan yang dibuat oleh para ahli epidemiologi, yang sebenarnya pedoman itu bisa mencegah diri sendiri dan orang lain terinfeksi virus corona.
Kepadatan penumpang di jam sibuk di Stasiun Tanah Abang saat PSBB transisi di Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
"Harus memikirkan, 'Apakah saya punya masker wajah? Apakah saya membersihkan tanganku? Haruskah saya membersihkan bahan makananku sekarang atau tidak?' Itu benar-benar luar biasa dan orang-orang kelelahan karenanya,” kata Matson kepada ABC 15 News.
ADVERTISEMENT

Ketakutan bikin orang yang percaya konspirasi virus corona menjadi 'buta'

Tak hanya sikap tidak peduli, Annelia juga menyebut bahwa salah satu faktor orang menyangkal bahaya virus corona dan menganggapnya sebagai konspirasi adalah karena mereka takut.
Ketakutan tersebut menjadikan mereka ’buta’ untuk melihat setiap fakta dari bahaya virus corona, hingga menjadikan mereka tidak berpikir secara rasional.
Untuk mencapai kesimpulan itu, Annelia menjelaskan bahwa ada tiga tahapan dalam otak manusia ketika kita mengambil keputusan dari informasi yang kita dapat. Ketiga tahapan tersebut terdiri dari tahapan primitif, emosional, dan rasional.
Wisatawan memadati Pantai Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Minggu (28/6/2020). Foto: Fauzan/ANTARA FOTO
Tahap primitif lebih dikenal sebagai fight or flight response, yang merupakan cara berpikir cepat untuk mengambil keputusan segera. Dalam hal ini, ketika informasi yang kita dapat tidak begitu mengancam kita, umumnya kita akan menerimanya begitu aja.
ADVERTISEMENT
Setelah melalui tahap primitif, informasi yang kita dapat itu akan disaring di fase emosional. Ketika informasi itu tidak mengancam emosi kita, kata Annelia, maka informasi tersebut akan masuk ke tahap berikutnya, yakni fase rasional.
Dalam tahap rasional, manusia akan menyaring sebuah informasi berdasarkan akal sehat. Jika informasi tersebut rasional, maka kita akan menerimanya. Sebaliknya, jika informasi yang kita terima tidak masuk akal, maka kita akan mengabaikannya.
Adapun orang yang menyangkal bahaya virus corona atau menganggapnya sebagai konspirasi adalah orang yang gagal melewati ketiga tahap tersebut, kata Annelia. Mereka mengalami disonansi kognitif (cognitive dissonance), di mana pikirannya tidak selaras dengan kenyataan yang ada.
“Jadi, ada disonansi, ada ketidakselarasan berpikir,” kata Annelia. “Terlepas dari bahwa ini sedemikian banyak dan nyata dan buktinya banyak, tapi dia tetap berpikir sebaliknya. Jadi, kan tidak selaras tuh antara pemikiran dia dengan kenyataan yang ada.”
Suasana di area Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau Car Free Day (CFD) di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Annelia mengatakan, orang yang meremehkan corona atau menganggapnya sebagai konspirasi itu belum menyaring informasi yang mereka dapat ke dalam tahap rasional. Hal tersebut, kata Annelia, disebabkan oleh rasa takutnya dari informasi yang dia dapat.
ADVERTISEMENT
Karena informasi yang mereka dapat belum masuk ke dalam tahap rasional, keputusan yang mereka ambil pada akhirnya tidak rasional. Salah satu contohnya adalah berkerumun tanpa masker dan jarak aman dengan sengaja, meski para peneliti telah membuktikan bahwa virus corona dapat menyebar lewat udara.
“Nah, dugaan saya, informasi mengenai COVID-19 ini sedemikian menakutkannya sehingga dia terjegal di level emosi. Jadi, dia nggak bisa masuk nih ke tahap rasional,” kata Annelia.
“Dia mondar-mandir aja tuh di antara bagian otak yang memfilter atau mengolah emosi dengan reaksi sesaat. Karena sedemikian menakutkannya, maka respons sesaatnya adalah ditolak saja, itu dianggap nggak benar,” sambungnya.

Takut dan tidak peduli virus corona

Penjelasan mengenai rasa tidak peduli dan ketakutan bukanlah dua hal yang terpisah, menurut Annelia. Orang yang takut juga bisa memiliki rasa tidak peduli untuk mencari tahu informasi yang benar.
Ilustrasi teori konspirasi illuminati. Foto: pixabay
Annelia menambahkan, orang yang meremehkan corona bisa jadi telah mengetahui bahaya sebenarnya dari virus tersebut. Meski demikian, karena ketakutan yang dia miliki, khususnya pada aspek ekonomi, dia akhirnya tidak memutuskan tindakannya berdasarkan cara pikir rasional.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita analisis di level sistem lagi, ada juga orang yang sampai ke level rasional, tapi karena ada kepentingan dia yang lain, biasanya ekonomi, ini yang bikin yang tadinya di level rasional dia balikin lagi ke emosinya,” kata Annelia.
“Karena gen privasi ekonomi lebih menakutkan daripada penyakitnya, akhirnya dia melakukan rasionalisasi yang justru nggak rasional. Seolah-olah rasional, tetapi sebenarnya nggak rasional. Fallacy, sesat berpikir lagi” sambungnya, sembari menambahkan bahwa analisis ketakutan karena ekonomi ini perlu pengujian psikologis secara langsung.
Sama seperti penjelasan Annelia, Matson juga menganggap fallacy atau sesat pikir sebagai penyebab orang tidak menyikapi pandemi corona secara serius. Secara spesifik, dia menyebut bahwa orang semacam itu mengalami bias konfirmasi (confirmation bias).
ADVERTISEMENT
Bias konfirmasi sendiri adalah kecenderungan untuk memilih dan melihat sesuatu dengan cara yang hanya kamu inginkan benar, terlepas bahwa faktanya tidak demikian. Menurut Matson, orang yang tidak peduli sering menjustifikasi diri mereka dengan bias konfirmasi tersebut.
"Saya pikir orang ingin kembali normal, apakah itu untuk kembali bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarga mereka atau hanya untuk pergi dan menikmati waktu bersama teman-teman mereka, mereka menginginkannya. Jadi, mereka mencari hal-hal untuk mengkonfirmasi hal itu dan mereka bias pada apa yang mereka lihat. Mereka melihat orang-orang yang keluar di restoran dan melakukan hal-hal seperti normal dan itu menegaskan apa yang mereka yakini benar," pungkasnya.