Riset Oxford: 18 Persen Pasien Corona Alami Penurunan Kesehatan Mental

12 November 2020 16:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gangguan mental pada anak. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gangguan mental pada anak. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Sebuah riset terbaru dari Oxford University di Inggris mengungkap suatu hal yang mengkhawatirkan. Sekitar 18 persen pasien COVID-19 ditemukan memiliki penyakit mental beberapa bulan setelah positif terinfeksi.
ADVERTISEMENT
Beberapa penurunan kesehatan mental yang ditemukan antara lain berupa demensia, depresi, anxiety, hingga insomnia. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam jangka 90 hari sejak pasien pertama kali terinfeksi.
Selain itu, penelitian juga mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki penyakit psikis, sekitar 65 persen, lebih mungkin tertular COVID-19. Penelitian ini dilaporkan para ilmuwan melalui jurnal The Lancet pekan ini.
“Penemuan ini sangat tidak terduga dan memerlukan investigasi lebih lanjut,” ujar salah satu peneliti, Max Taquet, kepada The Guardian. “Sementara saat ini, pengidap kelainan psikis harus ditambahkan dalam daftar faktor (yang meningkatkan) risiko (tertular) COVID-19.”
Ilustrasi Oxford University. Foto: AFP
Sebelumnya, penelitian lain telah mengungkap gejala yang tidak biasa pada sistem saraf pasien corona. Gejala yang dimaksud meliputi lupa ingatan dan stroke.
ADVERTISEMENT
Penelitian dari NYU School of Medicine juga menemukan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 berpotensi merusak sistem saraf manusia. Sebanyak 1 dari 7 pasieng positif terinfeksi ditemukan mengalami gejala kebingungan hingga kejang.
“Masyarakat telah khawatir pasien sembuh COVID-19 akan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental, dan penemuan kami menunjukkan bahwa hal ini kemungkinan benar,” ujar profesor psikiatri dari Oxford, Paul Harrison, kepada Reuters.
Harrison juga menyampaikan bahwa penyedia layanan kesehatan harus mempersiapkan diri. Ia mengutarakan bahwa “hasil penelitian kami kemungkinan akan diremehkan” oleh masyarakat.
Seorang kerabat mengenakan alat pelindung bereaksi setelah mengubur jenazah pasien corona di New Delhi, India, Selasa (14/4). Foto: REUTERS/Danish Siddiqui
Riset ini dilakukan dengan menganalisis sekitar 69 juta orang di Amerika Serikat. Sekitar 62 ribu orang di antaranya adalah pasien terkonfirmasi COVID-19.
Namun, peneliti masih belum memastikan bahwa virus corona dan kesehatan mental memiliki hubungan secara langsung. Kepada BBC, peneliti mengatakan bahwa penelitian lanjutan perlu dilakukan termasuk menganalisis pengaruh obat-obatan dan kondisi sosial-ekonomi pasien.
ADVERTISEMENT
Harrison tetap mengingatkan bahwa hasil penelitian ini tetap menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan. Pasalnya, ia tidak menutup kemungkinan virus SARS-CoV-2 dapat secara langsung menyebabkan penurunan kesehatan mental terjadi.
“Tidak sepenuhnya tidak mungkin COVID-19 memiliki dampak langsung kepada otak dan kesehatan mental Anda,” ujarnya kepada The Guardian.
Dokter Jan Claire Dorado merawat pasien yang terinfeksi virus corona di East Avenue Medical Center, di Quezon City, Metro Manila, Filipina. Foto: Eloisa Lopez/REUTERS
Ilmuwan lain di luar penelitian ini juga mengungkapkan hal yang serupa. Para ilmuwan sepakat bahwa penelitian ini harus membuat kita lebih hati-hati terhadap virus mematikan tersebut.
Stres yang dialami masyarakat karena hidup di tengah pandemi global juga mungkin turut berperan dalam penurunan kesehatan mental. Pembatasan sosial menyebabkan banyak orang mengalami depresi dan stres ketika harus terus berada di dalam rumah.
“Ini mungkin tidak mengagetkan ketika hal ini terjadi lebih banyak pada pasien COVID-19, yang dapat dipahami bahwa mereka sangat khawatir akan menjadi sangat sakit dan harus menjalani periode isolasi yang panjang,” ujar profesor dari University College of London, David Curtis.
ADVERTISEMENT
(EDR)