Riset: Perokok Lebih Berisiko Alami Gejala Buruk saat Positif Virus Corona

10 April 2020 8:21 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gambar mikroskop elektron pemindaian ini menunjukkan SARS-CoV-2 (biru bundar) Foto: NIAID Integrated Research Facility (IRF) via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Gambar mikroskop elektron pemindaian ini menunjukkan SARS-CoV-2 (biru bundar) Foto: NIAID Integrated Research Facility (IRF) via REUTERS
ADVERTISEMENT
Kehadiran virus corona SARS-CoV2 penyebab pandemi penyakit COVID-19 telah dirasakan dampaknya di lebih dari 200 negara. Berdasarkan kemiripan dengan virus corona sebelumnya yaitu SARS-CoV yang menyebabkan penyakit SARS pada tahun 2002-2003 silam, virus ini menginfeksi melalui suatu reseptor di permukaan sel yang disebut Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2).
ADVERTISEMENT
Dilansir laman farmasi.ugm.ac.id, ACE2 adalah enzim yang menempel pada permukaan luar (membran) sel-sel di beberapa organ, seperti paru-paru, arteri, jantung, ginjal, dan usus.
ACE2 kerap dikaitkan dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), penyakit peradangan paru yang berkembang dalam jangka waktu panjang. Sebuah studi yang diterbitkan European Respiratory Journal pada 9 April 2020 berhasil mengungkap, tingkat molekul enzim yang lebih tinggi ditemukan di paru-paru orang yang merokok.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ACE2, yang berada di permukaan sel paru-paru, adalah 'titik masuk' yang memungkinkan virus corona untuk masuk ke dalam sel-sel paru-paru dan menyebabkan infeksi.
Studi terbaru yang dipimpin Dr. Janice Leung dari University of British Columbia dan St. Paul's Hospital, Vancouver, Kanada, itu juga menunjukkan bahwa kadar ACE-2 pada mantan perokok lebih rendah dibandingkan mereka yang saat ini masih memiliki kebiasaan merokok.
Ilustrasi merokok. Foto: AFP PHOTO/ OSCAR SIAGIAN
“Data yang muncul dari China menunjukkan bahwa pasien yang menderita PPOK berada pada risiko lebih tinggi mengalami gejala yang lebih buruk saat mengidap COVID-19,” tulis Leung, seperti dikutip dari Medical Express.
ADVERTISEMENT
Menurut hipotesis peneliti, hal itu kemungkinan disebabkan karena tingkat ACE-2 di saluran pernapasan mereka yang meningkat dibandingkan dengan orang yang tidak menderita PPOK sebelumnya. Tingginya tingkat ACE-2 bisa jadi membuat virus lebih mudah menginfeksi saluran pernapasan seseorang.
Tim peneliti mempelajari sampel yang diambil dari paru-paru 21 pasien PPOK dan 21 orang yang tidak memiliki PPOK. Mereka menguji sampel untuk mengukur tingkat ACE-2 dan membandingkannya dengan faktor lain, seperti apakah mereka adalah orang yang tidak pernah merokok, perokok aktif atau mantan perokok. Peneliti tidak hanya menemukan tingkat ACE-2 yang lebih tinggi pada pasien PPOK, tetapi juga menemukan tingkat yang lebih tinggi pada perokok.
Para peneliti kemudian memeriksa temuan baru mereka terhadap dua kelompok studi yang ada, yang bersama-sama berisi data pada 249 orang lebih lanjut - beberapa non-perokok, beberapa masih menjadi perokok dan beberapa mantan perokok. Sekali lagi, mereka menemukan kadar ACE-2 lebih tinggi pada perokok tetapi lebih rendah pada non-perokok dan pada mereka yang mantan perokok.
ADVERTISEMENT
"Kami menemukan bahwa pasien dengan PPOK dan orang-orang yang masih merokok memiliki kadar ACE-2 yang lebih tinggi di saluran pernapasan mereka, yang mungkin menempatkan mereka pada peningkatan risiko terkena infeksi COVID-19 yang parah. Pasien dengan PPOK harus dinasihati untuk mematuhi secara ketat jarak sosial dan kebersihan tangan yang tepat untuk mencegah infeksi,” papar Leung.
Para peneliti juga menemukan bahwa mantan perokok memiliki tingkat ACE-2 yang serupa dengan orang yang tidak pernah merokok. Hal ini menurut Leung menunjukkan bahwasekarang adalah waktu yang baik untuk berhenti merokok demi melindungi diri Anda dari COVID-19.
Pekerja medis membawa seorang pasien yang diduga menderita penyakit coronavirus (COVID-19) di sebuah rumah sakit di Pristina, Kosovo. Foto: REUTERS / Laura Hasani
Profesor Tobias Welte, pakar infeksi dari European Respiratory Society, dan merupakan koordinator untuk gugus tugas nasional COVID-19 Jerman yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan bahwa studi terbaru ini memberikan beberapa wawasan yang menarik tentang mengapa beberapa orang berisiko pada gejala COVID-19 yang lebih parah daripada yang lain.
ADVERTISEMENT
“Apa yang tidak kami ketahui sebelumnya berhubungan dengan apakah mungkin untuk memanipulasi tingkat ACE-2 untuk meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien yang terinfeksi COVID-19 atau apakah ini akan membuat perbedaan pada pasien PPOK yang tertular infeksi virus corona," ujar Welte.
Dari kasus wabah SARS 17 tahun lalu, para peneliti telah menemukan bahwa virus SARS-CoV (penyebab SARS) dapat masuk ke dalam sel inangnya dengan berikatan dengan ACE2 sebagai reseptornya.
Protein spike (yang berbentuk seperti paku-paku yang menancap pada permukaan) virus SARS-CoV memiliki afinitas ikatan yang kuat dengan ACE2 manusia berdasarkan studi interaksi biokimia dan analisis struktur kristal. Ikatan dengan reseptor ACE2 inilah yang akan membantu virus SARS-CoV masuk ke dalam sel inangnya.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan, ternyata protein spike SARS-CoV-2 (penyebab COVID-19) memiliki 76,5% kesamaan sekuen asam amino dengan SARS-CoV (penyebab SARS), dan protein spike mereka benar-benar homolog. Dengan kata lain, kedua virus corona ini memiliki cara yang sama untuk menginfeksi sel inangnya. Penemuan menarik selanjutnya adalah virus SARS-CoV-2 tampaknya juga dapat mengenali reseptor ACE2 manusia secara lebih efisien daripada SARS-CoV, yang menyebabkan lebih tingginya kemampuan SARS-CoV-2 untuk menular dari manusia ke manusia.
Hal tersebut kemudian dibuktikan dengan sangat mudahnya virus COVID-19 ini menyebar ke seluruh dunia sampai menyebabkan pandemi dibandingkan SARS-CoV. Adapun adanya ekspresi ACE2 yang berlebihan pada manusia akan meningkatkan keparahan dari penyakit infeksi COVID-19.