Saat Pandemi Corona, Virus dengan Tingkat Kematian 75% Ancam Asia

15 Januari 2021 16:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Virus Corona. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Virus Corona. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi virus corona yang menyebar ke seluruh dunia dan menginfeksi lebih dari 90 juta orang, Asia bakal menghadapi ancaman serius dari virus baru dengan tingkat kematian lebih tinggi dari COVID-19.
ADVERTISEMENT
Nipah, virus RNA yang berasal dari kelelawar seperti SARS-CoV-2 telah menjadi wabah di sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, India, dan Australia bagian utara, selama 20 tahun terakhir. Sekarang para peneliti memperingatkan bahwa virus itu berpotensi memengaruhi lebih banyak orang jika manusia tidak belajar dari pandemi COVID-19.
Virus Nipah pertama kali ditemukan pada tahun 1999 setelah mewabah di Malaysia. Selama wabah berlangsung, tercatat 265 kasus ensefalitis akut atau radang otak yang dimulai di peternakan babi. Kasus-kasus tersebut awalnya dikaitkan dengan kasus ensefalitis yang ada di Jepang. Namun, setelah diteliti lebih lanjut, ensefalitis disebabkan oleh virus Nipah.
Ilustrasi Virus. Foto: geralt via pixabay
Sejak saat itu, kasus virus Nipah kerap ditemukan di hampir setiap tahunnya dari 2000 hingga 2020 dengan angka kematian hingga 75 persen. Banyak yang bertanya kenapa virus dengan tingkat kematian tinggi dianggap berisiko menjadi pandemi? Bukankah virus ini akan membunuh pengidapnya sebelum mereka menularkan ke orang lain?
ADVERTISEMENT
Justru di sinilah perbedaan virus Nipah. Walau gejala muncul antara 4 hingga 14 hari pascainfeksi, terkadang virus dapat berinkubasi dalam waktu yang sangat lama, bahkan hingga 45 hari. Artinya, gejala bisa timbul setelah 45 hari orang terinfeksi virus Nipah. Ini memungkinkan penularan dalam waktu sangat lama.
Ketika inkubasi selesai, orang yang terinfeksi virus Nipah akan mulai mengalami gejala seperti demam, sakit kepala, muntah, dan gejala lain mirip influenza. Pengidap juga bisa mengalami gejala lain seperti pusing, gangguan neurologis, dan ensefalitis akut.
The Giant Golden-crowned Flying Fox atau Kelelawar Mahkota Emas Raksasa. Foto: needpix
Ironisnya, belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit ini. Pasien biasanya diberikan pengobatan suportif untuk mengurangi gejala yang mereka alami. Jika orang itu bertahan hidup, beberapa di antaranya bisa mengalami gangguan neurologis jangka panjang, termasuk perubahan kepribadian dan kejang.
ADVERTISEMENT
Virus Nipah sendiri tidak ditularkan melalui aerosol atau udara sehingga kemungkinan tidak akan menimbulkan risiko tinggi pandemi seperti virus corona. Adapun penularan biasanya terjadi melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi oleh hewan yang terinfeksi, khususnya kelelawar dan kotoran babi yang terinfeksi. Beberapa penelitian juga telah mengamati adanya penularan antarmanusia.
Studi lebih lanjut dari virus Nipah memungkinkan dunia untuk lebih siap dalam menghadapi ancaman virus yang bisa muncul sewaktu-waktu. Sekarang para ahli memperingatkan negara-negara di dunia untuk belajar dari pandemi COVID-19 agar jika terjadi wabah di masa depan, negara sudah siap dan bisa menanganinya lebih baik.
***
Saksikan video menarik di bawah ini.