SD-PAUD di Zona Hijau Corona Dibuka Terakhir, Benarkah Anak Sulit Jaga Jarak?

16 Juni 2020 7:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mendikbud Nadiem Makarim saat melakukan rapat kerja dengan Komisi X DPR RI. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mendikbud Nadiem Makarim saat melakukan rapat kerja dengan Komisi X DPR RI. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah berencana membuka kembali sekolah yang berada di zona hijau penyebaran virus corona pada Juli 2020 mendatang. Namun, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memutuskan belum akan membuka kegiatan belajar mengajar di level sekolah dasar (SD) dan pendidikan anak usia dini (PAUD) dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT
Meski berada di zona hijau, SD dan PAUD menjadi sektor yang paling akhir dibuka. Pembukaan SD baru dapat terjadi dua bulan setelah level sekolah menengah. Sementara PAUD dapat dibuka dua bulan setelah SD dibuka.
Menurut Nadiem Makarim, level pendidikan terbawah menjadi yang paling akhir dibuka karena siswa SD dan PAUD merupakan kategori umur yang paling sulit menjaga jarak. Selain itu, ia mengungkapkan jumlah siswa yang berada di zona hijau baru mencapai 6 persen. Sementara 94 persen sisanya berada di zona merah, kuning, dan oranye.
"Kenapa yang paling muda itu kita terakhirkan? Karena bagi mereka lebih sulit lagi melakukan social distancing untuk SD, apalagi PAUD," ujar Nadiem dalam paparannya secara virtual, Senin (15/5).
Tahapan pembukaan sekolah di zona hijau. Foto: Kemendikbud
Apa yang disampaikan oleh Nadiem terkait anak sulit melakukan social distancing atau menjaga jarak aman turut didukung oleh studi yang dilakukan di Wuhan dan Shanghai, China. Menurut riset yang diterbitkan di jurnal Science, sepertiga anak-anak rentan tertular virus corona seperti orang dewasa.
ADVERTISEMENT
Tapi ketika sekolah mulai dibuka kembali, anak-anak disebut peneliti tiga kali lebih banyak melakukan kontak fisik ketimbang orang dewasa. Hal tersebut menyebabkan risiko anak-anak tertular COVID-19 meningkat sebesar tiga kali lipat.
Berdasarkan data itu, para peneliti menyatakan, penutupan sekolah mungkin tidak cukup untuk dapat menghentikan penyebaran COVID-19, namun kebijakan tersebut bisa menurunkan dan memperlambat angka penularan sekitar 40 hingga 60 persen.
“Simulasi ini menunjukkan, jika pemerintah membuka kembali sekolah angka reproduksi penularan akan meningkat,” ujar Marco Ajelli, ahli epidemiologi matematika yang terlibat dalam penelitian itu seperti diberitakan The New York Times.
Anak-anak dari PAUD Bina Insani Foto: PZ Cussons Indonesia
Selain dianggap sulit melakukan jaga jarak, sejumlah penelitian juga menungkap bahwa anak-anak tetap rentan tertular virus corona. Studi yang dilakukan tim ilmuwan Jerman, misalnya, menemukan anak-anak yang terinfeksi COVID-19 memiliki jumlah virus yang sama dengan yang dimiliki orang dewasa.
ADVERTISEMENT
“Membuka kembali sekolah dengan argumen bahwa anak-anak tidak menularkan virus adalah sesuatu yang bodoh,” ujar Jeffrey Shaman, ahli epidemiologi Columbia University.
Tim peneliti yang dipimpin Christian Drosten ahli virologi asal Jerman ini juga menemukan bahwa sebagian besar anak-anak kemungkinan tidak menunjukkan gejala terinfeksi COVID-19. Dari 47 anak-anak yang mereka teliti, 32 di antaranya menderita COVID-19 tanpa gejala, sementara 15 sisanya dirawat di rumah sakit. Anak-anak tanpa gejala itu juga memiliki jumlah virus yang sama dengan yang terdapat pada tubuh orang dewasa yang terjangkit COVID-19.
Drosten mengatakan kadar virus yang terdapat pada tubuh seseorang berpengaruh pada penularan. Semakin tinggi jumlah virus, maka orang itu makin mudah menularkan pada orang lain.
ADVERTISEMENT
“Jadi saya agak khawatir jika politisi memutuskan membuka kembali sekolah dan tempat perawatann anak,” ujar Drosten.
Studi lain dari tim ilmuwan China yang dipublikasi di jurnal The Lancet pada April lalu menemukan, bahwa anak-anak berusia di bawah 10 tahun punya peluang terinfeksi yang sama besar dengan orang dewasa. Namun, anak-anak kemungkinan besar tidak menunjukkan gejala.
“Penelitian itu sangat menakutkan bagi semua orang karena menunjukkan anak-anak dapat menyebarkan infeksi tanpa kita ketahui,” ujar Alasdair Munro, ahli penyakit infeksi di University Hospital Southampton seperti diberitakan Nature.