Studi: Daging Ular Piton Bisa Jadi Makanan Pengganti Ayam dan Sapi di Masa Depan

20 Maret 2024 11:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi ular piton Burma. Foto: Cherdchai Chaivimol/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ular piton Burma. Foto: Cherdchai Chaivimol/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sebuah studi baru menemukan daging ular piton bisa menjadi makanan ramah lingkungan di masa depan. Ia bisa menjadi pengganti daging ayam, sapi, dan babi yang kembangbiakkan di peternakan.
ADVERTISEMENT
Peternakan sapi, babi, dan ayam saat ini diketahui dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berdampak buruk pada lingkungan. Tim ilmuwan berpendapat di riset terbarunya bahwa ular piton dapat memberikan alternatif yang lebih fleksibel dan efisien dibandingkan dengan ternak konvensional lainnya.
Ini karena ular piton menawarkan daging yang tinggi protein, namun rendah lemak jenuh. Kalau soal rasa, daging ular piton katanya mirip seperti ayam.
Terlepas dari rasanya yang masih jarang orang ketahui, para peneliti menemukan ular piton ternyata sangat cocok untuk diternakkan. Hewan raksasa ini bisa tumbuh cepat mencapai kematangan dalam waktu tiga tahun, ditambah lagi mereka sangat subur dan mampu menghasilkan 100 telur setiap tahun selama dua dekade.
Peternakan ular piton sendiri sebenarnya sudah banyak di wilayah Asia. Beberapa ular yang diternakkan termasuk spesies sanca batik (Malayopython reticulatus) dan piton Burma (Python bivittatus). Ular-ular ini diambil dagingnya untuk dikonsumsi.
Ular mati yang diawetkan di dalam toples di peternakan ular di desa Zisiqiao, Zhejiang, China. Foto: REUTERS / Aly Song
Untuk mengetahui lebih lanjut seberapa besar peternakan ular bisa menjadi alternatif pasokan daging di masa depan, para peneliti dari Macquarie University dan University of Oxford mempelajari lebih dari 4.600 ular piton di dua peternakan di Asia Tenggara: Satu di Provinsi Uttaradit di Thailand tengah, dan satu lagi di dekat Kota Ho Chi Minh, Vietnam bagian selatan.
ADVERTISEMENT
Di peternakan, piton disimpan di gudang raksasa dengan desain semi terbuka sebagai ventilasi dan memberikan suhu lingkungan alami bagi hewan tersebut. Piton diberi makan dengan hewan pengerat yang ditangkap di alam liar. Beberapa peternakan bahkan membuat sosis sendiri dari limbah protein olahan untuk dijadikan pakan piton.
Meski hanya diberi makan seminggu sekali, piton bisa tumbuh hingga 46 gram per hari. Di antara piton Burma, 1 gram dagingnya dapat dipanen untuk setiap 4,1 gram makanan yang dikonsumsi, jauh lebih efisien dibandingkan hewan ternak lain. Selain itu, peternakan piton juga menghasilkan lebih sedikit gas rumah kaca dibandingkan peternakan hewan berdarah panas, seperti sapi, babi, dan unggas.
“Reptil berdarah dingin… jauh lebih efisien dalam mengubah makanan yang dikonsumsi menjadi daging dan jaringan tubuh dibandingkan makhluk berdarah panas mana pun,” kata Dr. Daniel Natusch, penulis utama studi dan Peneliti Kehormatan di Macquarie University sebagaimana dikutip IFLScience.
Ilustrasi daging ular Foto: dok.shutterstock/Boyloso
Piton yang mampu bertahan hidup lama tanpa makanan menjadi pengetahuan penting bagi wilayah yang menderita kerawanan pangan. Tim menemukan bahwa 61 persen piton Burma bisa berpuasa antara 20 hingga 127 hari, dan hanya sedikit kehilangan massa tubuh. Ular juga jarang mengonsumsi air, ini merupakan hal positif lain bagi keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
“Ular hanya membutuhkan sedikit air dan bahkan bisa hidup dari embun yang menempel di sisiknya di pagi hari. Mereka hanya membutuhkan sedikit makanan dan akan memakan hewan pengerat serta hama yang menyerang tanaman pangan. Dan secara historis, daging piton adalah makanan lezat di banyak tempat,” tambah Dr. Natusch.
Mengingat banyaknya manfaat ini, para peneliti percaya bahwa negara di dunia harus mulai mempertimbangkan budidaya piton untuk dikomersialkan. Mereka berharap ini menjadi usaha yang cocok untuk beberapa negara berpendapatan rendah yang sudah menghadapi kerawanan pangan dan kekurangan protein.
“Perubahan iklim, penyakit, dan berkurangnya sumber daya alam meningkatkan tekanan terhadap peternakan konvensional dan tanaman pangan, dengan dampak yang mengerikan pada banyak orang di negara-negara berpenghasilan rendah yang sudah menderita kekurangan protein akut,” papar Dr. Natusch.
ADVERTISEMENT