Studi: Warga Jabar Senang Dengar Ceramah Agama Negative Exemplar

2 November 2021 6:40 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ustaz Evie Effendie. Foto: Instagram/@evieefendie
zoom-in-whitePerbesar
Ustaz Evie Effendie. Foto: Instagram/@evieefendie
ADVERTISEMENT
Sebuah studi yang dilakukan oleh Guru Besar bidang Kajian Indonesia di Monash University, Australia, Prof. Julian Millie, menyebut bahwa tingkat partisipasi masyarakat Jawa Barat pada aktivitas ceramah keagamaan amatlah tinggi. Salah satu penyebabnya adalah keterampilan komunikasi dai yang mampu menarik hati para pengikutnya.
ADVERTISEMENT
Dalam studinya, Millie meneliti ceramah keagamaan di beberapa daerah di Jabar. Hasilnya, ia menemukan salah satu keterampilan yang dimiliki sebagian besar dai Jabar adalah penggunaan konsep negative exemplar alias contoh kebalikan.
“Audiens sangat antusias terhadap ceramah yang menggunakan konsep negative exemplar,” papar Millie saat memberi kuliah umum “Kesundaan dan Regionalisme” yang digelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran secara virutal, sebagaimana dikutip di situs resmi unpad.ac.id.
Antropolog yang menekuni studi Islam di Indonesia ini menuturkan, ceramah dengan konsep negative exemplar lebih mampu diterima oleh masyarakat ketimbang metode formal. Konsep ini secara nyata bisa mengidentifikasi audiens.
Umat muslim mendengarkan ceramah usai salat Idul Fitri 1442 Hijriah di Masjid Raya Provinsi Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/5/2021). Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO
Adapun contoh konsep negative exemplar yang ditemukan Millie adalah ketika dai menyampaikan riwayat dari kebaikan kehidupan Nabi. Di akhir ceramah, dai menjelaskan ihwal contoh-contoh buruk yang kerap terjadi di masyarakat. Semua ceramah itu dikemas dengan bahasa yang jenaka, dan efeknya, partisipasi masyarakat sangat luar biasa.
ADVERTISEMENT
Julian Mille juga menemukan, konsep negative exemplar seringkali disampaikan dalam bahasa sunda. Meski secara umum ceramah disampaikan dalam bahasa Indonesia, tapi terjadi alih bahasa yang dilakukan dai saat menyampaikan contoh kebalikan dengan menggunakan bahasa sunda.
Menanggapi temuan ini, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Unpad, Prof. Dr. Cece Sobarna, M.Hum., mengatakan bahwa bahasa Sunda selain punya keuniversalan, juga memiliki keunikan. Bagi orang Sunda, pengungkapan perasaan akan lebih mudah disampaikan dengan menggunakan bahasa Sunda ketimbang Indonesia.
“Humor orang Sunda kalau pakai bahasa Indonesia mungkin tidak akan tergambarkan. Karena itu, penguasaan bilingual menjadi penting. Hal ini sangat efektif kalau digunakan di daerah,” katanya.