Video Ini Buktikan Ngobrol Jarak Dekat Berisiko Tinggi Tularkan Corona

18 Oktober 2020 9:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi restoran penuh oleh pengunjung Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi restoran penuh oleh pengunjung Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian dari Jepang menunjukkan potensi tinggi penularan corona ketika mengobrol dalam jarak dekat. Penelitian ini menggunakan sebuah komputer super canggih untuk menyimulasikan pergerakan droplet.
ADVERTISEMENT
Pada simulasi tersebut, empat orang terlihat tengah duduk mengitari meja seperti di meja makan. Salah satu orang disimulasikan berbicara kepada rekan-rekan di seberang dan sebelahnya.
Ketika disimulasikan, tiga rekan atau orang yang mendengarkan pembicara dapat terpapar droplet yang mengandung virus SARS-CoV-2. Namun, jumlah paparannya berbeda bagi setiap orang.
“Ketika seseorang berbicara ke lawan bicara yang duduk di depannya, sekitar 5 persen droplet mencapai lawan bicara tersebut,” ungkap peneliti ihwal simulasi tersebut. “Ketika berbicara ke seseorang yang berada pada jarak diagonalnya, hanya seperempat (dari 5 persen droplet) yang mencapai lawan bicara.”
“Tetapi, ketika pembicara menengok dan berbicara ke rekan di sebelahnya, lebih dari 25 persen droplet dipaparkan ke lawan bicara tersebut.”
Pengusaha restoran di Ukraina berunjuk rasa dengan menggelar meja dan kursi restoran di depan Kantor Presiden Ukraina. Foto: Reuters/VALENTYN OGIRENKO
Riset ini membuktikan bagaimana mengobrol tanpa jarak, sangat berbahaya dalam konteks penularan COVID-19. Perlu dicatat bahwa peneliti menyimulasikan percakapan tanpa masker.
ADVERTISEMENT
Artinya, mengenakan masker dan menjaga jarak (physical distancing) menjadi sangat krusial dalam mencegah penularan. Jumlah droplet yang tersebar ke udara dan mencapai lawan bicara tentu akan menurun ketika masker dan physical distancing diterapkan.
Kepala penelitian ini, Mokoto Tsubokura, sebelumnya pernah melakukan penelitian serupa dengan model ruang kelas dan kantor. Riset tersebut digunakan sebagai acuan bagi pemerintah dan perusahaan yang ingin melonggarkan pembatasan sosial.
Riset ini juga mengungkapkan hal yang lain. Peneliti berhasil menemukan hubungan antara kelembaban udara dengan potensi penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Menurut ilmuwan, kelembaban udara yang rendah dapat mengakibatkan peningkatan penyebaran virus. Jika kelembaban udara berada pada angka 30 persen, jumlah droplet yang teraerosolisasi dapat meningkat dua kali lipat.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu mengkhawatirkan bagi negara-negara empat musim yang akan memasuki musim dingin. Selama musim dingin, kelembaban udara di banyak negara akan menurun drastis. Oleh karena itu, penggunaan humidifier dapat membantu menyelesaikan masalah ini.
(EDR)