Atlet Squash Nomor 2 Dunia Geram: Jangan Cuma Ukraina, Bahas Palestina Juga

14 Maret 2022 15:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ali Farag, atlet squash asal Mesir. Foto: Pedro Costa Gomes/CIB
zoom-in-whitePerbesar
Ali Farag, atlet squash asal Mesir. Foto: Pedro Costa Gomes/CIB
ADVERTISEMENT
Atlet squash nomor 2 dunia, Ali Farag, buka suara soal konflik Rusia-Ukraina. Menurutnya, jangan cuma melihat apa yang dialami Ukraina saat ini, tapi tengok juga Palestina yang sudah menderita karena dijajah Israel 74 tahun lamanya.
ADVERTISEMENT
Rusia mulai melancarkan invasi ke Ukraina pada 24 Februari 2022. Sejak saat itu, dunia gotong royong mengulurkan bantuan untuk Ukraina. Bahkan, segala yang berhubungan dengan Rusia diboikot. Hal tersebut juga masuk ke ranah olahraga yang selama ini dianggap terpisah dengan segala urusan politik.
Imbas paling nyata dirasakan oleh klub sepak bola Chelsea. Klub asal London Barat itu 'dimiskinkan' Inggris karena pemiliknya, Roman Abramovich, masuk dalam daftar oligarki Rusia.
Spanduk bertuliskan Roman Abramovich pada laga Chelsea melawan Newcastle United pada pertandingan lanjutan Liga Inggris di Stamford Bridge, London, Inggris. Foto: David Klein/REUTERS
Timnas dan klub-klub Rusia juga dikucilkan oleh FIFA dan UEFA usai dicoret dari seluruh kompetisi resmi di bawah naungan mereka. Tak hanya sepak bola, gerakan dukungan untuk Ukraina dengan cara memboikot Rusia juga hadir di cabang olahraga lain, termasuk di Paralimpiade 2022, yang juga merembet ke negara pendukung Rusia, Belarusia.
ADVERTISEMENT
Hal itu nyatanya membuat geram Ali Farag. Atlet squash asal Mesir yang sebelumnya menduduki peringkat 1 dunia itu lantas memanfaatkan momen kemenangannya di final Optasia Championship untuk memberikan sindiran kepada media Barat.
"Kami tidak pernah diizinkan berbicara tentang politik dan olahraga, tetapi tiba-tiba sekarang diizinkan. Jadi jika kami diizinkan, saya berharap orang-orang juga melihat penindasan di mana-mana di dunia," kata Farag, dikutip dari NDTV.
Farag juga mengatakan bahwa konflik Palestina tidak menonjol dalam berita karena tidak sesuai dengan narasi media Barat. Hal itu yang turut membuat Farag geram dan menyeru pada dunia untuk membahas Palestina juga.
"Tapi sekarang kita bisa bicara tentang Ukraina dan jadi kita bisa bicara tentang Palestina," ajak Farag.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, pemberitaan media Barat tentang invasi Ukraina juga telah dikritik oleh Asosiasi Jurnalis Arab dan Timur Tengah (AMEJA). Mereka menganggap ada liputan rasis yang menormalkan perang di wilayah non-Eropa.
"Jenis komentar ini mencerminkan mentalitas yang meresap dalam jurnalisme Barat tentang normalisasi tragedi di beberapa bagian dunia seperti Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Latin," kritik AMEJA.
"Itu tidak manusiawi dan menjadikan pengalaman mereka dengan perang sebagai sesuatu yang normal dan diharapkan," kata kelompok jurnalis tersebut.
Sebuah pemandangan menunjukkan mobil yang hancur setelah penembakan baru-baru ini selama konflik Ukraina-Rusia di Kharkiv, Ukraina, Senin (7/4/2022). Foto: Oleksandr Lapshyn/REUTERS
Pasukan pro-Rusia terlihat di atas tank di pemukiman Buhas (Bugas) yang dikuasai separatis, di wilayah Donetsk, Ukraina, Selasa (1/3/2022). Foto: Alexander Ermochenko/REUTERS
Terlepas dari itu, aksi berani Ali Farag menjadikannya orang kedua dari tokoh olahraga Mesir yang buka suara soal standar ganda dunia terhadap konflik Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina. Sebelumnya, legenda sepak bola Mesir, Mohamed Aboutrika, meminta FIFA dan UEFA juga menghukum Israel.
ADVERTISEMENT
"Keputusan penangguhan tim sepak bola Rusia di semua kompetisi harus disertai dengan larangan mereka yang berafiliasi dengan Israel," ucap Aboutrika kepada Quds News Network, dikutip dari Sports Brief.
"Seperti yang telah diketahui, Israel membunuh anak-anak dan wanita di Palestina selama bertahun-tahun. Kalian menggunakan standar ganda!" tegasnya.
Berbicara soal konflik Israel-Palestina, konflik ini bermula dari berdirinya Israel menjadi suatu negara yang berawal dari konsep Tanah Israel (Eretz Yisrael), sebuah konsep pusat Yudaisme sejak zaman kuno yang juga merupakan pusat wilayah Kerajaan Yehuda kuno.
Orang-orang menghadiri pemakaman warga Palestina yang tewas dalam pertempuran Israel-Palestina, di Khan Younis, di Jalur Gaza selatan, Jumat (21/5). Foto: Ibraheem Abu Mustafa/REUTERS
Gedung media di Jalur Gaza Palestina diserang Bom Israel. Foto: AFP/Mahmud Hams
Warga Yahudi yang setuju membentuk negara pun mulai berdatangan ke Palestina. Mereka membeli tanah dari warga Arab yang tinggal di sana. Setelah Perang Dunia I, ketika tanah Palestina sudah dikuasai Inggris, Liga Bangsa-Bangsa menyetujui dijadikannya Mandat Britania atas Palestina sebagai negara orang Yahudi.
ADVERTISEMENT
Hingga pada 1947, PBB menyetujui pembagian Palestina menjadi dua negara, yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab. Selanjutnya pada 14 Mei 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaannya yang kemudian menyulut konflik. Peperangan dengan negara-negara Arab di sekitar tanah Palestina yang menolak rencana pembagian ini akhirnya pecah dan terus berkepanjangan hingga saat ini.