news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Berkaca pada Negara dan Kota Ramah Difabel

4 Oktober 2018 14:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jepang, salah satu negara yang ramah difabel. (Foto: Jezael Melgoza/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Jepang, salah satu negara yang ramah difabel. (Foto: Jezael Melgoza/Unsplash)
ADVERTISEMENT
Di negara mana pun, penyandang disabilitas bukan warga kelas kesekian, karena memang tak seharusnya ada perbedaan kelas. Negara seharusnya menjadi rumah bagi setiap warganya, tak peduli difabel atau tak difabel.
ADVERTISEMENT
Semuanya berhak atas kesetaraan, semuanya pantas untuk hidup dengan kualitas terbaik. Berangkat dari pemahaman itu, negara seharusnya menjadi rumah yang ramah bagi setiap difabel.
Indikator paling mudah yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah suatu negara ramah atau tidak bagi para difabel adalah ketersediaan fasilitas yang dapat menunjang keseharian mereka.
Asian Para Games, Paralimpiade, dan turnamen-turnamen sejenis seharusnya tak menjadi klimaks apalagi epilog. Multiajang seperti ini seharusnya menjadi prolog untuk melahirkan aksesibilitas tinggi bagi para difabel.
Dalam tulisannya untuk The Guardian yang berjudul “What would a Truly Disabled Accessible City Look Like”, Saba Salman mewawancarai seorang tunanetra asal Melbourne, Australia, bernama David Meere. Dalam wawancaranya itu, Meere menjelaskan bahwa salah satu tantangan bagi para difabel yang jarang dibicarakan adalah ketakutan.
ADVERTISEMENT
“Ketakutan karena tidak dapat menavigasi lingkungan yang sibuk, semrawut, dan berorientasi pada penglihatan adalah penghalang yang besar untuk bisa berpartisipasi dalam kehidupan normal. Hal-hal sederhana seperti pergi berbelanja, jalan-jalan di taman, pergi ke tempat kerja, mencari pekerjaan atau bersosialisasi bisa menjadi hal yang begitu menakutkan.”
Ketakutan seperti inilah yang pada akhirnya membuat inovasi di Stasiun Southern Cross Australia menjadi begitu penting untuknya. Secara sederhana inovasi di stasiun itu dapat diartikan sebagai sistem navigasi suar (isyarat) yang mengirimkan sensor audio kepada pengguna melalui ponsel cerdas mereka.
Isyarat itulah yang pada akhirnya dapat memberikan petunjuk arah, menandai eskalator yang dapat digunakan oleh para difabel, hingga memberi tahu area yang tidak dapat dilewati oleh difabel seperti Meere.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak lagi harus bergantung kepada orang lain atau mengharapkan keberadaan petugas stasiun yang berbaik hati dan tangkas untuk menolong saya secara langsung. Sistem yang seperti ini, yang langsung berhubungan dengan saya, memungkinkan orang-orang difabel untuk menggunakan transportasi utama di salah satu kota terbesar di Australia ini dengan kepastian dan kemandirian. Bagi kami, inovasi seperti inilah yang pantas untuk disebut sebagai game-changer sesungguhnya,” jelas Meere kepada Salman.
Meere adalah satu dari sekian banyak penduduk urban yang bisa disebut sebagai difabel. Menurut data olahan PBB, jumlah difabel diperkirakan akan mencapai 940 juta orang hingga tahun 2050. Atau sekitar 15% dari 6,25 miliar masyarakat urban yang tersebar di seluruh dunia.
Bagi para difabel, halangan untuk terlibat aktif dalam kehidupan bermasyarakat bisa bermacam-macam. Mulai dari tidak memadainya jalur kursi roda (Meere bahkan menyebut bahwa jalur kursi roda yang terhalang oleh fasilitas non-difabel bisa disebut sebagai sumber masalah), ketiadaan lift di gedung-gedung, toilet tanpa aksesibilitas difabel, ataupun ketiadaan jalur khusus di pusat-pusat perbelanjaan.
ADVERTISEMENT
Lantas, halangan ini akan semakin menjadi-jadi bila kita berbicara tentang kehidupan perkotaan yang begitu sibuk, yang dipadati oleh orang-orang yang berjibaku dengan kepentingan mereka sehari-hari.
Transportasi penyandang disabilitas. (Foto: ANTARA/Aprilio Akbar)
zoom-in-whitePerbesar
Transportasi penyandang disabilitas. (Foto: ANTARA/Aprilio Akbar)
Jepang boleh disebut-sebut sebagai negara maju yang begitu sibuk. Namun, sesibuk-sibuknya Jepang, mereka tetap memiliki waktu untuk menyediakan ruang dan memberikan kesempatan yang setara kepada para difabel.
Komitmen untuk merawat prinsip kesetaraan bagi orang-orang difabel ini mewujud dalam ketersediaan fasilitas umum yang menunjang keseharian mereka. Yang disediakan Jepang bukan teknologi-teknologi ajaib seperti mobil terbang, tapi fasilitas umum yang biasa digunakan oleh orang normal yang disesuaikan dengan kebutuhan para difabel.
Contoh sederhananya adalah toilet. Dibandingkan dengan toilet pada umumnya, toilet untuk difabel berukuran lebih luas dan dilengkapi dengan banyak pegangan di pinggiran tembok, pinggiran wc, dan pinggiran wastafel.
ADVERTISEMENT
Tak cuma toilet, tempat parkir khusus pun disediakan bagi para difabel di pusat pertokoan, Rumah sakit, rest area, supermarket, taman, dan fasilitas umum lainnya. Parkir khusus ini biasanya ditempatkan di depan atau di pinggir pintu masuk gedung.
Ketiga, tenji blocks (tactile paving). Sebenarnya, tak sulit untuk menemukan tenji blocks di sejumlah negara, bahkan di Indonesia. Silakan cek trotoar-trotoar, maka dapat ditemukan jalur khusus berwarna kuning dengan dot characters di permukaannya. Yang menjadi masalah adalah kesadaran fungsi oleh masyarakat.
Pada dasarnya, tenji blocks berfungsi untuk memudahkan tunanetra mengenali jalan yang sedang dilaluinya. Bahkan, di Jepang sana, tak sulit untuk menemukan tenji blocks di depan pintu supermarket yang langsung diarahkan ke zebra cross.
ADVERTISEMENT
Disabilitas. (Ilustrasi) (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Disabilitas. (Ilustrasi) (Foto: Unsplash)
Uniknya, yang disediakan oleh supermarket-supermarket Jepang bukan hanya kursi roda, tapi juga bel khusus untuk para difabel dan manula. Bel ini ditempatkan di pintu masuk supermarket. Jadi, para difabel dapat menekan tombol khusus pada bel ini yang akan menjadi penanda bagi para karyawan supermarket untuk memberikan bantuan khusus. Tujuannya, agar para difabel juga dapat menikmati momen belanja.
Inovasi fasilitas umum untuk para difabel tak hanya dilakukan oleh kota-kota di Jepang, tapi juga di salah satu kota di Amerika Serikat, Seattle. Dibandingkan dengan kota lainnya, Seattle termasuk daerah yang cenderung berbukit-bukit. Yang menjadi masalah, daerah demikian bukan wilayah yang memberikan kemudahan untuk dilewati oleh para difabel.
Nah, sebagai solusinya, Taskar Center for Accessible Technology yang dikelola oleh Universitas Washington menyediakan aplikasi navigasi khusus untuk para difabel yang diberi nama AccessMap.  
ADVERTISEMENT
Aplikasi berbasis peta ini memungkinkan orang dengan mobilitas terbatas untuk merencanakan rute yang dapat diakses. Pengguna AccessMap dapat memasukkan tujuan, dan menerima rute yang disarankan tergantung pada pengaturan yang disesuaikan, seperti membatasi kemiringan menanjak atau menurun.
Singapura menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang dinilai paling ramah terhadap difabel. Pernyataan ini bukan sekadar asumsi, karena Singapura telah memenangi penghargaan sebagai negara dengan tingkat aksesibilitas tinggi oleh PBB pada 2016.
Fasilitas Difabel. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fasilitas Difabel. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Tingkat akesesibilitas ini bahkan terlihat di CapitaGreen yang terletak di pusat bisnis Singapura. Gedung 40 lantai ini dilengkapi dengan ruangan yang bebas sekat dan memiliki meja konter (seperti meja resepsionis atau teller di bank) yang lebih rendah sehingga dapat memudahkan para difabel.
ADVERTISEMENT
Pintu-pintu lift gedung ini terbuka lebih lama dibandingkan dengan pintu lift pada umumnya. Pada setiap tangga, pegangannya dilengkapi dengan petunjuk dengan huruf Braile —tak hanya ada di satu sisi, tapi kedua sisi. Itu belum ditambah dengan ketersediaan sarana hearing induction loop yang memudahkan tunarungu untuk bisa berkomunikasi dengan baik.  
Sebagai salah satu moda transportasi favorit, MRT Singapura tak ketinggalan. Tenji blocks dan gerbang yang lebih luas bukan barang langka. Semua stasiun MRT dilengkapi dengan fasilitas bebas hambatan seperti jalur landai, lift, toilet yang dapat diakses kursi roda yang dapat digunakan oleh manula dan penyandang disabilitas.
Bahkan, terdapat dua gerbong yang dapat diakses pengguna kursi roda di setiap kereta. Untuk menemukan gerbong tersebut, penumpang hanya perlu mencari stiker petunjuk kursi roda pada pintu kereta.
ADVERTISEMENT
Penumpang tunanetra dapat menggunakan plat Braille di lift stasiun dan mengikuti petunjuk pada permukaan lantai yang dapat diraba dan akan membimbing mereka dari pintu masuk ke peron. Di ujung peron, petunjuk ini juga berfungsi sebagai tanda. Sementara di dalam kereta, nama stasiun dan petunjuk audio mengenai pergantian kereta diumumkan di setiap halte.
Penyandang tunarungu dapat menemukan petunjuk waktu kedatangan dan tujuan dari kereta berikutnya pada Sistem Informasi Perjalanan Kereta Api atau Rail Travel Information System (RATIS) yang terletak di peron. Saat bepergian di jalur Utara-Selatan dan Timur-Barat, Sistem Informasi Peta Rute Aktif SMRT atau SMRT Active Route Map Information System (STARiS) yang ditampilkan akan memberitahukan stasiun kedatangan. Lampu yang berkedip merah juga dipasang pada pintu kereta untuk memperingatkan penumpang sebelum pintu menutup.
ADVERTISEMENT
Petunjuk menuju toilet untuk disabilitas. (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Petunjuk menuju toilet untuk disabilitas. (Foto: Unsplash)
Kabar baiknya, bukan hanya MRT yang dilengkapi dengan fasilitas seperti ini, tapi juga bus kota. Bahkan di Singapura juga beroperasi taksi yang dikhususkan untuk pengguna kursi roda. Adapun, taksi ini dikenal dengan nama London Taxi ataupun SPACE Taxi. Ukurannya lebih luas sehingga dapat memuat kursi roda. Pilihan lainnya, kursi roda bisa dilipat dan disimpan di bagasi. Yang menyenangkan, tak ada biaya tambahan untuk fasilitas penyimpanan dan penggunaan kursi roda ini.
Yang menarik, fasilitas macam ini tidak hanya tersedia di beberapa area tertentu di Singapura, tapi di seluruh area. Penyeragaman ini berkaitan dengan regulasi Universal Design yang diberlakukan oleh Otoritas Konstruksi Bangunan Singapura (SBCA).
Artinya, Singapura tak pandang bulu. Tak peduli difabel ataupun tidak, semua orang dapat memakai fasilitas yang sama, semua kepentingan dinilai sama pentingnya.
ADVERTISEMENT
Segala fasilitas yang diberikan oleh sejumlah negara dan kota maju tersebut pada dasarnya bukan untuk membeda-bedakan. Fasilitas-fasilitas tersebut diberikan sebagai bentuk komitmen untuk melayani penduduk dan warganya.
Bagi negara-negara atau kota-kota tadi, setiap orang setara, tanpa memandang kondisi fisik. Keberadaan fasilitas tersebut menjadi pintu gerbang bagi para difabel untuk berfungsi dalam kehidupan sosial dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Prinsipnya, menjadi ramah terhadap difabel tidak sama dengan membeda-bedakan, tapi bersikap adil. Lantas, yang menjadi pertanyaan, seramah apa Indonesia terhadap difabel?
====
*Simak pembahasan mengenai perhelatan Asian Para Games 2018 dan fasilitas publik untuk difabel di konten khusus “Ramah Difabel”.