Dylan Alcott, Atlet Penyandang Disabilitas Super Sibuk Asal Australia

3 Desember 2018 19:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dylan Alcott di Paralimpiade 2016. (Foto: Bob Martin for OIS / IOC / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Dylan Alcott di Paralimpiade 2016. (Foto: Bob Martin for OIS / IOC / AFP)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selamat Hari Disabilitas Internasional! Ya, harinya penyandang disabilitas sedunia ini jatuh pada 3 Desember setiap tahun. Di Indonesia, alarm pentingnya menempatkan penyandang disabilitas dalam masyarakat alias sikap inklusif sudah bergaung jelang dan selama Asian Para Games 2018 di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Saat multiajang terbesar se-Asia bagi atlet disabilitas itu berlangsung pertama kalinya di Tanah Air, publik khususnya warga Ibu Kota, mendapat kesempatan menyaksikan aksi para pebulu tangkis dari atas kursi roda, pecatur buta, hingga atlet voli duduk, yang bertanding sama sengitnya seperti atlet normal lain.
Selama perhelatan Asian Para Games pada 6-13 Oktober itu, cerita dari para atlet disabilitas ikut mengalir. Dari skuat 'Merah-Putih', ada kisah Jendi Pangabean yang terlahir normal, lantas kehilangan kaki, dan bangkit lewat olahraga renang yang dicintainya. Ada juga Ni Nengah Widiasih, powerlifter andalan Indonesia yang medali perunggunya dari Paralimpiade 2016 menjadi inspirasi medali Asian Para Games 2018.
Dari cerita para atletnya, tak sedikit pula yang melontarkan fakta bahwa kehidupan sebagai penyandang disabilitas di Tanah Air masih cukup sulit. Selain di kota besar, jangan harap banyak fasilitas mudah akses, terutama bagi pengguna kursi roda. Minimnya lift disabilitas maupun jalur landai membuat penyandang disabilitas pengguna kursi roda merasa terkurung di rumah.
ADVERTISEMENT
Tapi, lain halnya dengan kisah inspiratif dari negeri seberang, sedikit melintasi Samudera Hindia, tepatnya bersumber dari Australia, negara asal seorang Dylan Alcott. Dylan, adalah pemuda kelahiran Melbourne, 4 Desember 1990 yang berstatus petenis profesional. Sudah enam gelar Grand Slam tunggal putra yang direngkuhnya.
Australia Terbuka 2018. (Foto: Reuters/Toru Hanai)
zoom-in-whitePerbesar
Australia Terbuka 2018. (Foto: Reuters/Toru Hanai)
Namun, kisahnya tak hanya sebatas tenis. Selain menyukai olahraganya, Dylan menjadikan lapangan hijau tenis ini sebagai bukti bahwa penyandang disabilitas bisa berprestasi. Ya, 'Dylan 1990' ini adalah penyandang disabilitas pengguna kursi roda. "Saya akan membuang-buang waktu dalam hidup jika hanya ingin memenangi 20 Grand Slam dan cuma itu yang saya lakukan," ujar Dylan mengawalinya ceritanya, dikutip dari The Guardian, Senin (3/12/2018).
"Saya tidak bangun dari tempat tidur setiap harinya hanya untuk bermain tenis. Saya memang melakukannya karena suka, tapi selain itu, tenis memberikan saya kesempatan untuk mengubah persepsi tentang disabilitas," katanya menambahkan.
ADVERTISEMENT
Maka, berlarianlah Dylan dengan kursi rodanya. Dari setiap penampilannya di turnamen tenis, Dylan membawa pesan bahwa setiap orang punya hak yang sama. Dulunya, dia hanya seorang anak bertubuh tambun yang begitu pemalu dan hanya menghabiskan waktu terdiam di kursi panjang rumahnya. Sang pemilik nama lalu menunjukkan bahwa difabel bisa berbuat banyak, mulai berolahraga, menulis buku, hingga memandu acara.
Kini, Dylan adalah atlet, pembawa acara televisi dan radio, motivator, pebisnis, dan pengacara, juga seseorang yang pernah makan siang bersama Duke & Duchess of Sussex dari Kerajaan Inggris. Kesempatan terakhir didapatnya kala mewawancarai Pangeran Harry, Duke of Sussex, saat Invictus Games Oktober lalu di Sydney.
Kesibukannya itu justru menjadi hal yang dicintai Dylan. Terlahir sebagai penyandang paraplegia, kondisi penurunan motorik yang membuat anggota tubuh bagian bawah lumpuh, Dylan tidak bisa hidup tanpa tujuh pekerjaannya, yang segera berganti menjadi delapan seiring terbitnya autobiografi Dylan berjudul 'Able'.
ADVERTISEMENT
"Ini tidak bisa dipercaya. Saya adalah orang yang haus akan kesempatan, saya suka melakukan banyak hal. Tiap kali ada kesempatan, saya akan melakukannya. Saya beruntung dan tentunya menyukai kehidupan saya saat ini," ujarnya kepada Linda Pearce, jurnalis olahraga The Guardian.
Namun, dari kehidupan super sibuk Dylan, satu yang diutamakannya memang tenis. Terbukti, fokusnya ini sudah berbuah dua emas Paralimpiade 2016, multiajang atlet disabilitas terbesar di dunia. Di Rio de Janeiro, Brasil, Dylan menyumbang emas dari nomor wheelchair quad tunggal dan ganda.
Musim ini, dua titel tunggal Grand Slam diborong Dylan usai penampilan apiknya di Australia Terbuka dan Amerika Serikat Terbuka. Di Australia, Dylan bersama Heath Davidson juga menyegel gelar ganda. Sayangnya Dylan yang berpasangan dengan Bryan Barten harus puas menjadi runner-up di Amerika Serikat Terbuka.
ADVERTISEMENT
Selain sapu bersih dua nomor Grand Slam di tanah kelahirannya edisi 2018, Dylan punya momen tak terlupakan lain musim ini. Pemain yang menjadi profesional pada 2014 ini akhirnya mendapat kesempatan dari All England Club untuk tampil di Wimbledon, London, Inggris, dalam pertandingan ekshibisi nomor wheelchair quad ganda putra.
Wimbledon 2019 akan menambah kesempatan Dylan untuk menyempurnakan gelar dengan masuknya nomor tunggal wheelchair quad yang dipertandingkan secara resmi. Semua itu, dilakukan setelah lobi sana-sini selama enam tahun bersama ikon divisi wheelchair quad lainnya, Andy Lapthorne dan David Wagner.
"Bermain di Wimbledon dan termasuk berada di sana adalah hal yang sangat berarti bagi saya. Ini masih menjadi hal terkeren yang pernah saya lakukan. Penggemar tenis, tentunya sangat menyukai Wimbledon. Jadi mengenakan seragam putih, berada di lapangan, dan bermain, semua tidak bisa dipercaya!" seru Dylan.
ADVERTISEMENT
Mentas di turnamen Grand Slam, sudah enam gelar tunggal, satu gelar ganda putra, dan tujuh runner-up ganda putra diraihnya. Dan ajaibnya, tak cuma tenis. Bahkan dalam wawancaranya, Linda Pearce menyebutkan bahwa sang atlet saat ditemui itu baru saja berlatih dengan sesi olahraga tinju selama 90 menit dan latihan dua jam di lapangan tenis. "Saya pekerja keras," seperti itu omongan Dylan kepada The Guardian tentang dayanya yang tak pernah padam.
Sebelum tenis, rapor emas si Sibuk Dylan disumbang dari cabor basket kursi roda. Sama suksesnya, Dylan pernah mempersembahkan emas di nomor wheelchair beregu Paralimpiade 2008 Beijing saat berusia 18 tahun. Dua tahun kemudian, dia mewakili Australia di 2010 IWBF World Wheelchair Basketball Championship di Inggris. Di Paralimpiade 2012 London, Dylan mendapat perak bersama tim basket kursi roda Australia di nomor beregu.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, Dylan sempat menghilang dari dunia olahraga. Barulah pada 2014, Dylan kembali unjuk gigi, masih dari atas kursi rodanya, kali ini di lapangan hijau tenis dunia. Saat itu, Dylan mengaku ingin mencari pengalaman baru. "Saya menanti perubahan. Ini memberikan saya kesempatan lain untuk menantang diri sendiri dan melihat sejauh mana kemampuan saya," ujarnya di laman resmi Australian Paralympic Committee (APC).